Halaman

Senin, 25 April 2011

Peledakan demi peledakan... Inikah Jihad ??

Peledakan demi peledakan terjadi di negeri kita. Yang satu belum terlupakan dan bekasnya masih ada, duh yang lain terjadi lagi. Terakhir masyarakat Indonesia Raya dikagetkan lagi oleh sebuah ledakan di Hotel JW Marriott pada tanggal 17 Juli 2009 M.
Sebagian orang yang terpengaruh dengan paham Khawarij menyangka bahwa semua tindak teror tersebut adalah ibadah jihad yang mendapatkan ganjaran pahala yang amat besar di sisi Allah -Azza wa Jalla-. Tapi, demikiankah jihad??!
Para pembaca yang budiman, apa yang dilakukan oleh para teroris tersebut bukanlah jihad sedikitpun!! Bahkan ia adalah sebuah bentuk pemberontakan kepada pemerintah muslim, dalam hal ini Bapak SBYsemoga Allah selalu memberinya petunjuk dan kekuatan-. Sedangkan pemberontakan kepada seorang pemerintah muslim adalah amat haram!!!
Kalian jangan tertipu dengan pengakuan batil mereka yang menyatakan bahwa perbuatan mereka adalah JIHAD, walaupun mereka menghiasi perbuatan batil mereka dengan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang JIHAD. Demikianlah kebiasaan buruk mereka dari zaman ke zaman, mereka senantiasa berdalih dengan ayat atau hadits, padahal ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut menjadi bumerang atas diri mereka yang tidak menempatkannya pada tempatnya. Sebab ayat-ayat atau hadits-hadits JIHAD menjelaskan bahwa jihad yang dimaksudkan adalah JIHAD bersama pemerintah dan atas izinnya, bukan kembali kepada ide dan hawa nafsu setiap orang, walaupun ia melantik dirinya sebagai "MUJAHIDIN"!!!
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thohawiy-rahimahullah- berkata saat menyebutkan aqidah Ahlus Sunnah, "Haji, dan jihad akan terus berjalan bersama pemerintah dari kalangan kaum muslimin, yang baik maupun yang fajir sampai tegaknya hari kiamat, tak akan dibatalkan dan digugurkan oleh sesuatu apapun". [Lihat Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (hal. 50)]
Para teroris menganggap perbuatan mereka merupakan perbaikan yang membawa kemaslahatan. Ini adalah sangkaan batil, sebab bagaimana mungkin suatu perusakan dikatakan perbaikan. Cukuplah kerusakan dari tindak jahat mereka tersebut, jauhnya manusia dari Islam, dan banyaknya persangkaan buruk kepada Islam beserta pemeluknya. Belum lagi akibat buruk lainnya, berupa sempitnya gerak dakwah Islam di berbagai tempat. Mereka inilah yang disebutkan oleh Allah -Azza wa Jalla- di dalam firman-Nya,
"Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya dalam kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya. Padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan membinasakan tanaman-tanaman dan binatang ternak. Sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan. Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", maka bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah baginya neraka jahannam. dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya". (Al-Baqoroh : 204-206)
Ketika menafsirkan ayat ini, Ahli Tafsir Jazirah Arab, Al-Imam Abdur Rahman Ibn Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata, "Di dalam ayat ini terdapat dalil bahwa ucapan-ucapan yang muncul dari orang-orang, bukanlah dalil tentang kejujuran atau kedustaan, kebajikan atau kefajiran sampai ada perbuatan yang membenarkan ucapannya atau membersihkannya. Seyogyanya menguji kondisi orang-orang yang memberi kesaksian, para pejuang kebenaran, dan para pejuang kebatilan dari kalangan manusia dengan meneliti perbuatan-perbuatan mereka, memperhatikan korelasi-korelasi dari kondisi mereka, serta jangan tertipu dengan kecohan mereka, dan penyucian mereka terhadap diri mereka sendiri". [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman min Kalam Al-Mannan (hal. 94) oleh As-Sa'diy]
Seorang teroris (walaupun ia mengaku sebagai "mujahid") jika niatnya ingin melakukan perbaikan di muka bumi dengan tindak terornya, maka ucapannya tidak boleh kita benarkan begitu saja, sebab apa yang mereka lakukan bukanlah sesuatu yang benar, bahkan perbuatan batil. Mana ada dalil dalam Al-Qur’an atau Sunnah yang menyatakan bahwa jihad boleh dikumandangkan tanpa ada izin dari pemerintah muslim?! Mana hujjahnya (dalil) bahwa membunuh orang kafir mu’ahad atau musta’min atau kafir dzimmi adalah sesuatu yang dibenarkan?! Tolong datangkan dalilnya -wahai para teroris- bahwa jihad adalah membunuh kaum muslimin?!
Semua pertanyaan-pertanyaan ini tidak akan mampu dijawab oleh kaum KHAWARIJ-TERORIS, kecuali mereka harus berdusta dan menipu kaum muslimin dengan silat lidah mereka yang licik.
Membunuh orang-orang kafir di luar medan jihad, dan tanpa ada izin dari pemerintah adalah perbuatan kezhaliman di sisi Allah, sebab perbuatan itu akan melahirkan kerusakan besar bagi kaum muslimin. Inilah yang pernah dikatakan oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam firman-Nya,
Oleh Karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi". (QS. Al-Maa’idah: 32)
Inilah hukum yang Allah tetapkan bagi Bani Isra’il, suatu kaum yang suka membunuh manusia. Perlu diketahui bahwa hukuman dan ancaman dalam ayat ini tidak terkhusus bagi Bani Isra’il, tapi mencakup semua umat. Hanya saja Allah mengaitkan ayat ini dengan Bani Isra’il, karena mereka adalah kaum jahat yang amat gemar membunuh manusia, sampai para nabi-nabi pun mereka bunuh.
Ulama Negeri Yaman, Al-Imam Muhammad Ibn Ali Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata, "Allah menyebutkan Bani Isra’il secara khusus, karena konteks ayat menyebutkan kejahatan-kejahatan mereka (Bani Isra’il); karena mereka umat pertama yang turun atasnya ancaman dalam hal pembunuhan jiwa. Lantaran itu, lahirlah kecaman keras atas mereka, karena seringnya mereka menumpahkan darah, dan seringnya membunuh para nabi". [Lihat Fath Al-Qodir (2/298)]
Jika orang-orang kafir tinggal bersama kaum muslimin (kafir dzimmi) atau masuk ke negeri kita (kafir mu’ahad atau musta’min) dan mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintah kita, maka kita tidak boleh menzhalimi mereka dan menyakitinya, kecuali jika ia melakukan pelanggaran, maka ia diberi hukuman setimpal dengan perbuatannya. Namun hukuman tersebut tidak dilakukan oleh orang perorangan, tapi kembali kepada pemerintah.
Selain kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin), orang-orang kafir tersebut di atas (kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’min) tidak boleh kita bunuh, dan tidak boleh pula dizhalimi. Inilah yang pernah dipraktekkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya -radhiyallahu anhum-. Kaum kafir di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- banyak yang keluar masuk ke negeri Madinah dan Makkah, tapi tak ada sejarahnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- membunuh atau menzhalimi mereka. Adapun kafir harbi atau kaum Yahudi (Bani Isra’il) yang suka membatalkan isi perjanjian, maka Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memerangi mereka demi mencapai kemaslahatan dan menciptakan keamanan. Sebab mereka adalah kaum yang suka berbuat onar sebagaimana juga yang anda lihat sampai hari ini di Negeri Palestina –semoga Allah membersihkannya dari cengkeraman zhalim Bani Isra’il-.
Di dalam sebuah hadits, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda dalam menjelaskan bahwa orang-orang kafir (selain kafir harbi) tidak boleh dibunuh,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
" Barangsiapa yang membunuh kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan 40 tahun " . [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (3166)]
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَدًا أَوْ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ingatlah, siapa yang menzholimi seorang kafir mu’ahad, merendahkannya, membebani di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya, tanpa keridhoan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (3052). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (445)]
Hadits ini adalah dalil bantahan atas para teroris yang semena-mena mengganggu orang-orang kafir, seperti menyakitinya, menakut-nakutinya, menghalalkan harta mereka, bahkan membunuh mereka sebagaimana yang terjadi di Legian, Bali, dan daerah lainnya.
Abdur Ra’uf Al-Munawiy Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata ketika menerangkan hadits yang semakna dengan hadits di atas, "Orang kafir yang diberi jaminan keamanan (oleh pemerintah muslim), dan orang mukmin, tidak boleh diganggu jiwa, anggota badan, dan hartanya selama masih ada ikatan perjanjian dan jaminan keamanan. Bagi permasalahan ini ada syarat-syarat dan hukum-hukumnya yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab furu’ (fiqih)". [Lihat Faidhul Qodir (6/318)]
Jadi, menganggu, dan menzhalimi kaum kafir tersebut –apalagi membunuhnya- adalah perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Bukan seperti yang dipahami oleh para teroris-Khawarij bahwa semua jenis orang kafir boleh dibunuh. Demi Allah, ini adalah bukti kedunguan dan kedangkalan akal mereka. [Lihat Badzl An-Nushhi wa At-Tadzkir li Baqoya Al-Maftunin bi At-Takfir wa At-Tafjir (hal. 42-43) karya Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad, cet. Mathba'ah Safir, 1426 H]
Para pembaca budiman, para teroris dalam aksi kejinya, bukan hanya menzhalimi dan membunuh orang kafir saja, tapi KAUM MUSLIMIN pun tak lepas darinya. Membunuh seorang muslim dengan sengaja, dan tanpa alasan syar’iy merupakan dosa besar yang mendapatkan lima ancaman dalam sebuah nas ayat,
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An-Nisa`: 93)
Ibnu Nashir As-Sa’diy berkata, "Tak ada ancaman yang lebih besar dalam semua jenis dosa besar, bahkan tidak pula semisalnya dibandingkan ancaman ini, yaitu pengabaran bahwa balasan orang yang membunuh adalah Jahannam. Maksudnya, cukuplah dosa yang besar ini saja untuk dibalasi pelakunya dengan Jahannam, beserta siksaan yang besar di dalamnya, kerugian yang hina, murkanya Al-Jabbar (Allah), luputnya keberuntungan, dan terjadinya kegagalan, dan kerugian. Kami berlindung kepada Allah dari segala sebab yang menjauhkan dari rahmat-Nya". [Lihat Taisir Al-Karim (hal.193-194)]
Lihatlah pembaca yang budiman!! Allah mengancamnya di dalam ayat ini dengan neraka Jahannam dan tidak sampai disitu saja, bahkan ia akan lama di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutuknya dan menyediakan siksa yang pedih baginya. Tak heran jika Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَزَوَالُ لدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Sungguh hancurnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada membunuh seorang muslim”. [HR. At-Tirmidzy dalam As-Sunan (1399), dan An-Nasa`iy dalam As-Sunan (7/82). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ghoyatul Maram (4390)]
Para pembaca yang budiman, saking bodohnya para teroris tersebut, mereka rela membunuh diri dengan bom. Padahal Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ فِي الدُّنْيَا عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka kelak ia akan disiksa dengan sesuatu tersebut pada hari kiamat". [HR. Al-Bukhoriy (no. 6047), dan Muslim (no. 176)]
Semua ayat-ayat dan hadits-hadits di atas meruntuhkan persangkaan batil para teroris-Khawarij yang menyatakan bahwa tindak teror dan peledakan yang mereka lakukan adalah JIHAD!!! Padahal bukan jihad, bahkan perusakan, bunuh diri dan mati konyol !!!
Ulama Negeri Madinah, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad -hafizhohullah- berkata setelah peledakan di kota Riyadh yang dilakukan oleh para teroris, "Peristiwa peledakan yang telah terjadi termasuk perkara yang amat buruk dalam hal kejahatan dan perusakan di muka bumi. Perkara yang lebih buruk lagi, setan menghias-hiasi bagi para teroris yang telah melakukan perbuatan itu bahwa perbuatan jahat itu adalah JIHAD. Berdasarkan akal dan agama apakah sehingga JIHAD bisa berupa bunuh diri, membunuh kaum muslimin, dan kaum kafir yang mendapatkan jaminan keamanan, menakut-nakuti masyarakat, membuat para wanita menjadi janda, anak-anak menjadi yatim, merobohkan bangunan bersama orang-orang ada di dalamnya". [Lihat Bi Ayyi Aqlin wa Diin Yakunu At-Tafjir wa At-Tadmir Jihadan?! (hal. 16), oleh Syaikh Al-Abbad]
Mereka berteriak ketika kaum kuffar AS dan sekutunya membantai jutaan kaum muslimin dengan menyatakan bahwa nyawa seorang muslim itu sangat mahal di sisi Allah. Namun di sisi lain, mereka sendiri ternyata juga turut menumpahkan darah kaum muslimin. Parahnya lagi, kesalahan tersebut berusaha ditutupi dan dibenarkan dengan berjuta dalih: “Ini kan jihad”, dan “Mereka mati syahid”. Seorang yang membunuh dirinya, membunuh kaum muslimin, atau kaum kafir yang tak layak dibunuh, merusak harta benda orang lain, dan membangkang melawan pemerintah. Demikiankah jihad?! Sama sekali bukan jihad, tapi ia adalah teror dan pemberontakan yang diharamkan dalam Islam!!
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 125 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Sururiyyah terus melanda muslimin Indonesia

Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
.: :.
(Dimulai dengan Khutbatul Haajjah)

Alhamdulillah, ama ba’du

Ikhwani fiddin a’azakumullah...
Disini ada pertanyaan yang berkaitan dengan fitnah Sururiyyah. Dan berkaitan pula dengan tokoh-tokohnya dan orang-orangnya. Ditanyakan disini dari mulai Abu Qatadah (Da'i Al Sofwah Jakarta, red), Abu Haidar (As Sunnah, Bandung, red),Yazid Jawwas (rekan Abdul Hakim Abdat, da'i Al Sofwah/Al Haramain, red), Abu Nida' (At Turots, Jogjakarta red), Aunurofiq Gufron (Ma'had Al Furqan, Gresik, red), Yusuf Bai’sa (Ma'had Al Irsyad, Tengaran, Salatiga, red), Abdurrahman Abdul Kholiq, Ainul Harits, Arifin, Abdul hakim Abdat (da'i Al Haramain/Al Sofwah), dan lain-lainnya. dan kemudian ditanyakan pula Al-Sofwa, At Turots, Al Irsyad, dan lain-lain.

Tentunya lebih tepat kalau saya jawab dari belakang dulu, dari organisasinya dulu, dan lebih bagus lagi kalau saya menerangkan pada antum tentang fikrohnya dulu, ya’ni fikroh sururiyyah dulu . Ya’ni Sururiyyah berasal dari kata Surur atau dari nama Muhammad Surur Nayif Zainal Abidin. Muhammad Surur adalah seorang yang tadinya Ikhwanul Muslimin (IM), kemudian dia keluar dari IM, dan kemudian mengaku Salafy. Orang yang sejenis Muhammad Surur ini banyak, seperti Abdurrohman Abdul Khaliq itupun dari IM kemudian keluar dan kemudian mensyiarkan dirinya sebagai salafy. Atau mengaku salafy.

Orang-orang jenis ini mereka keluar Ikhwanul Muslimin dari Harokah IM, atau partai politik IM atau keluar dari kelompok firqoh IM, dan menyatakan taubat dari IM, dan menyatakan taubat "saya keluar dan saya taubat" seperti juga Muhammad Quthub itu juga mengaku kelauar dan kembali kepada salaf , tetapi dalam perjalanan mereka yang katanya mau kembali kepada Salaf, ternyata masih memiliki fikroh ikhwaniyyah. Fikrohnya Ikhwanul Muslimin atau prinsip cara berfikir Ikhwanul Muslimin. Yang tentunya kita harus tahu bahwasannya prinsip IM ini berarti atau prinsip Sururiyyah ini berari sama dengan prinsip IM sesungguhnya, hanya beda istilah saja.

Apa yang dikatakan oleh para IM juga diucapkan pula oleh Sururiyyin, hakikatnya. Dengan cara dan bentuk istilah yang berbeda tapi intinya sama maka. Kalau begitu sururiyyah sama dengan ikhwaniyah dan kita perlu menerangkan tentang Ikhwanul Muslimin itu sendiri. Ikhwanul Muslimin, prinsip bid’ah mereka yang menjadikan mereka menjadi kelompok sempalan yang keluar dari Ahlus Sunnah adalah karena mereka memiliki prinsip “Nata’awan fima tafakna wa na’dziru ba’dina ba’don fi makhtalahna”, kata mereka, "Kita saling kerjasama apa yang kita sepakati dan kita hormat-menghormati saling memaklumi apa yang kita berbeda".

Iini prinsipnya IM, saya ulangi Nata’awan fima tafakna, "Kita saling kerja sama saling bantu membantu dalam apa yang kita sama, kita sepakati dan kita memaklumi hormat menghormati, dengan apa yang kita berbeda". Dengan prinsip ini IM tidak menganggap ada ahlil bid’ah sama sekali, semuanya kawan tidak ada lawan. "Ahlil bid’ah mereka sama-sama sholat dengan kita, maka kita tolong menolong dalam apa yang kita sepakati, mereka sama-sama…", pokoknya apa yang kita sama kita kerja sama, ini IM. Sehingga Hasan Al-Banna, At-Turobi, dan sekian banyak tokoh-tokoh mereka selalu berusaha menggabungkan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan mereka mengatakan yel-yel "Laa Syarqiyyah, Laa Gharbiyyah, Laa Sunniy, wa Laa Syi’ah, Islamiyyah, Islamiyyah," itu yel-yel yang selalu mereka dengungkan anasid dengan sair, dengan nyanyi dengan ikrar, "Tidak Timur tidak Barat, tidak Sunni tidak Syi’ah yang penting Islam" - kata mereka -, ini prinsip mereka yang kemudian ditebarkan pada masyarakat. "Kalian jangan ribut terus, sudahlah jangan saling menyalah-nyalahkan, semuanya apakah dia salaf apakah dia sufi, apakah dia mutazili, syiah, semua itu saudara, semua muslimin. Apa yang kita sama kita tolong menolong dan apa yang kita beda, kita hormat-menghormati", katanya begitu. Ini sepintas kilas perkaranya agak masuk akal, "Iya ya, kalau nggak gini gak akan bersatu ? ". Ya, sepintas kilas kalau kalau dipikir akal saja.

Padahal kata para ulama prinsip ini akan meruntuhkan agama secara keseluruhan dan prinsip ini menggugurkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. [ketika kamu] mau mengingkari kebid’ahan, [mereka katakan: ] “...jangan ya akhi kita harus saling menghormati, kita jangan menyalahkan mereka." Begitulah, sehingga tidak ada amar ma’ruf nahi munkar. Dan berarti membolehkan manusia berjalan di jalan bid’ah manapun, ini sudah jelas sesatnya. Sehingga di dalam Ikhwanul Muslimin, jangan kamu kira mereka sama statusnya, fikirannya, aqidahnya.

Di kalangan IM ada Sufi, Syi’ah,ada semua ahli bid’ah kecuali Salafy. Kenapa? Yang Salafy dalam masalah Aqidahnyapun prinsipnya tetap prinsip ikhwan. Prinsip Aqidahnya yang katanya Salafy, tetapi tetap menghormati Ahlul Bid’ah. Dan ternyata ini adalah yang namanya Sururiyyin. Dalam aqidah katanya mempelajari aqidah Salaf - katanya -, tetapi prinsipnya sama, sesama ahlul bid’ahpun harus saling menghormati dan sebagainya. Ini prinsip utamanya.

Namun sekarang ketika orang-orang yang dulunya keluar dari IM tadi apakah Muhammad Surur apakah Abdurrahman Abdul Kholiq apa Muhammad Qutub dan menyatakan "IM itu salah, IM itu sesat kami kembali kepada Salaf". Ternyata mereka mengajarkan aqidah Salaf, mengajarkan aqidah Salaf sehingga sama dengan Salafiyyin, tetapi mereka tetap mengatakan bahwa, "...ahlul bid’ah juga punya kebaikan, jadi jangan dimusuhi 100 persen, mereka juga punya kebaikan, kita bisa ambil kebaikan dari mana saja." Nah ini lihat, kalimat, "mereka juga punya kebaikan, kita bisa ambil kebaikan dari mana saja". Itulah sesungguhnya terjemahan dari apa yang dikatakan Ikhwanul Muslimin, yaitu saling hormat-menghormati, inilah yang akhirnya menjadi masalah.
Akhirnya segala macam orang-orang yang keluar dari IM yang dielu-elukan taubat - masya Allah-, sebagai seorang Salafy sekarang. Ternyata warnanya kok lama kelamaan agak berbeda kok aneh, kok agak beda, ketika tambah jauh, tambah kelihatan berpisahnya antara para Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, Salafiyyun dengan tokoh-tokoh mereka. Agak berbeda, terus begitu, kemudian dalam masalah sikap pemerintah juga berbeda, dalam masalah politik juga berbeda, mereka sama seperti IM.

Sekali lagi sama, cuma istilah-istilahnya yang berbeda. Mereka mengatakan pentingnya Tsaqofah Islamiyyah, ini Ikhwanul Muslimin. Tsaqofah Islamiyah adalah wawasan. Kata Ikhwanul Muslimin, "Kita jangan terpaku dengan Quran Sunnah saja, tetapi tidak mengerti situasi dan kondisi politik yang ada, kita harus ikut menyaksikan kondisi politik sepaya kita bisa bersikap supaya kita bisa berjuang dengan jihad politik", katanya. Itu IM, terang-terangan mengatakan jihad politik. Makanya banyak istilah-istilah yang dipakai oleh para politikus sekarang ini, ada jihad politik, ada apa segala macam itu, itu karena diantaranya mereka banyak terbawa dengan tokoh-tokoh IM di dalam partai Keadilan dan sejenisnya. Kemudian mereka yang telah keluar dari IM, ternyata fikrah-fikrah itu masih ada, tetapi istilahnya agak ganti dengan bahasa Fiqhul Waqi’. Salman Audah, A’idh Al Qorni, kemudian siapa lagi … Muhammad Surur dan sebagainya semuanya mengelu-elukan, “Jangan kita selalu Kitab Sunnah, Kitab Sunnah, tetapi tidak memperhatikan lingkungan kita, lingkungan situasi-kondisi kita tidak tahu, kita harus tahu, kita harus belajar satu ilmu namanya Fiqhul Waqi’, memahami kenyataan yang terjadi". Sama toh dengan yang tadi? Kalau tadi dengan istilah Tsaqofah, sekarang dengan istilah Fiqhul Waqi.

Abdurrahman Abdul Khaliq ketika Fiqhul Waqi’nya dibahas oleh para Ulama, lain lagi dia istilahnya bukan Fiqhul Waqi’, tetapi setali tiga uang, persis. Kata Abdurrahman Abdul Kholiq, "Kita dalam memahami, dalam berdakwah ini selain ini, kita harus punya Shifatul ‘Asr". Ini istilahnya Abdurrahman Abdul Kholiq. Apa shifatul ‘Ashr ? Al ashriyah dengan gaya bahasa dia bilang "Ashriye, kita harus tahu Al Ashriye", yakni 'keadaan kondisi situasi politik yang ada', begitu, sama ternyata. Dan ingat bukan berarti Ahlussunnah wal jamaah dan para Ulamanya menentang perlunya fiqhul waqi’ atau tsaqofah atau shifatul Ashr bukan menolak perlunya. Perlu tetapi itu berada di bawah, di bawah dan di bawahnya dan hukumnya fardu kifayah. Bukan harus apalagi wajib apalagi diutamakan di atas ilmu-ilmu lain. Ini mereka menggembar-gemborkan dengan keras dan mereka mengangkat setinggi-tingginya, ilmu yang besar, ilmu yang tinggi yaitu fiqhul waqi’, shifatul ashriye dan seterusnya.

Kenapa sih? Ada apa sih? Kok mereka menggembar-gemborkan itu. Sama dengan Salaf mereka, Salaf mereka lho ya, yang tidak shalih yaitu Ikhwanul Muslimin. Sama yaitu ingin mengangkat tokohnya tapi tidak punya ilmu yang menonjol, mau mengangkat tokohnya ini, ingin mengangkat Sayyid Qutub, dari sisi apa? Dia ahli dalam bidang apa? Ibn Katsir ahli dalam bidang tafsir sehingga disebut sebagai ahli tafsir dan seterusnya. Kemudian para Ulama, Syaikh Utsaimin, Syaikh Bin Baz, fuqoha ahli faqih - masya Allah-. Dan para ulama terkenal dengan ilmu mereka sehingga ada yang disebut sebagai Faqih, Ahli Tafsir, Muhadits seperti Syaikh Al-Albany, ada yang disebut sebagai Mufassir ahli tafsir, dan sebagainya. Lantas, mereka mau mengangkat tokoh-tokonya ini, mau mengangkat Sayyid Quthub. Ini mau dimasukkan ke golongan mana ? kepada Mufassirin, bukan ahli tafsir, mau digolongkan Muhaditsin, bukan ahli hadits, mau digolongkan Fuqoha bukan ahli fiqih, ini ahlinya apa? Akhirnya mereka muncul ide, 'ini orang walaupun dalam masalah itu tidak menonjol', tetapi ia memiliki ilmu yang penting, yaitu memahami situasi dan kondisi politik, situasi dan kondisi masyarakat dan sebagainya, ini ahli ini orang, jadi kita harus angkat Fiqhul Waqi.

Jadi kata syaikh Robi dan kata ulama lain yang mengatakan bahwa istilah Fiqhul Waqi, adalah untuk mengangkat tokoh-tokohnya, jadi diapun ‘alim minal ulama'. Ahli di bidang apa? Ahli di bidang Fiqhul Waqi’. Jadi kamu 'ngertinya' fiqhul syari’ah, fiqhul ahkam, ini fiqhul waqi’ ??? Dan - subhanallah - ini diikuti oleh para sururiyyin.

Diantaranya Haddatsana Umar Jawwas, qola sami’tu Abdul Malik (seorang Surury yang belajar di Riyadh sama tokoh sururi disana namanya Abdul Karim, yang ini turunannya membikin pondok 'Alamus Sunnah di Bogor dan As-Sunnah di Cirebon), katanya : "Bahwasanya Ulama itu ada dua, ada Ulama Syumul, ada Ulama Takhossus". Dan ada sanad lain, sanadnya saya dengar dari Yahya Ba’adil (kakak Yazid Ba’adil, Jember), ini sanadnya lebih 'ali (tinggi), dia pulang dari Riyadh, duduk sepesawat dengan Abdul Karim (tokoh yang tadi itu), setelah tanya jawab, dia masih belum kenal betul siapa dia. Terus cerita kepada saya : "Kemarin ketemu orang namanya Abdul Karim, begini-begini… "; [ana bilang: ] "Hah, ente ketemu, ngomong apa dia [Yahya Ba'adil] ?", dia bilang katanya : "Ulama itu ada dua ada ulama Takhosus dan ada ulama Syumul".

Ulama Takhosus itu ulama dalam bidang fiqih, ya (yang diketahui) fiqih saja, ahlu tafsir, tafsir saja, ahli hadits, hadits saja, tapi tidak mengerti yang lain. Adapun Ulama Syaamil (katanya), ulama lengkap, yaitu ulama yang mengerti semuanya itu dan mengerti Fiqhul Waqi'. Jadi ...? Ustadz Muhammad : "Siapa yang dimaksud itu, ente nggak tanya?", jawab Yahya : "Iya saya nggak tanya". Ustadz Muhammad, "Coba tanya…". Ustadz Muhammad :"Ana bilang, sesungguhnya kalau dia ditanya yang dimaksud takhosus tuh, Syaikh Albani hadits saja, Syaikh bin Baz,… karena sudah dikatakan dalam majlis-majlis lain mereka bilang begitu, "Syaikh bin Baz itu ngerti apa tentang politik", begitu katanya. "Mereka tuh ngerti apa, sehingga percuma fatwanya gak diterima", jadi mereka menganggap ulama yang Syumul itu Qaradlawi (Yusuf Qardlawi, red), Muhammad Ghozali, Sayyid Qutub (pengarang Fi Dhilalil Qur'an, red) dan sebagainya itu tadi.

(Ulama yang) dikatakan lengkap, karena dia mengikuti apa yang terjadi. sedangkan ulama-ulama tadi itu ulama Takhosus khusus itu saja di bidangnya, sehingga, kata orang tadi, "Kalau kita meminta fatwa tentang politik jangan sama mereka, jangan tanya sama mereka karena fatwanya nggak bisa diterima, mereka nggak ngerti Fiqhul Waqi', karena mereka nggak ngerti shifatul 'ashr, karena mereka nggak, mengerti apa itu tadi, tsaqofah".

Jadi tanyanya sama… akhirnya ditulislah buku Dalilut-Tholibah oleh Muhammad Kholaf, judul bukunya Dalilut Tholibah, Bimbingan untuk pelajar Putri, isinya ? Ketika masalah ahkam dan sebagainya dari Syaikh Muhammad Al Utsaimin yang dinukil, dan habis itu ada tanya jawab dalam masalah Da’wah dijawab oleh Salman bin Fahd Al Audah. Ini menunjukkan prinsipnya dia Muhammad Khalaf adalah pendiri Al-Sofwa, nah terjawablah (apa dan siapa itu) Al Sofwah.

Jadi dia menulis buku itu dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tidak tahu apa judulnya dalam bahasa Indonesia. Jadi begitu ketika masalah fiqih, syaikh Utsaimin, ketika masalah dakwah, nggak terima Syaikh Utsaimin, "Salman Audah yang lebih mengerti Fiqhul Waqi'". Inilah model-model sururiyin. Apakah Ikhwanul Muslimin, ataupun Sururiyyin, atau nanti ada nama lainnya, jenis lainnya, maka mereka semua prinsipnya sama bahwa mereka akan menjauhkan para Salafiyyin dari Ulamanya dan mereka berusaha mentaqrib (mendekatkan) Ahlus Sunnah dengan Ahlul bid’ah. Maka kamu lihat tokoh-tokohnya, satu-satu tadi itu, bagaimana keadaannya, bagaimana Yazid Jawwas dengan tokoh-tokoh Dewan Da’wah (DDII, red) dan tokoh-tokoh IM, bagaimana Yusuf Ba’isa dengan Salim Bajri, yang mu’tazilah yang menolak Hadits Shahih Bukhari.Katanya (Salim Bajri) : “Jangan taqlid dengan Imam Bukhari!”. Ini (si Salim) masih tetep bareng dengan Yusuf Ba'isa sekarang ini. Lalu, apa lagi yang lebih besar dari itu !!?.

Kita yang kemarin terpaksa ketemu dengan ahlul bid’ah itu gemetarnya sampai hari ini belum hilang."Wa atuubu ilallah", karena masalah kemarin sampai Laskar Jihad yang sudah besar kita beberkan, karena masalah itu tadi yang kita takuti. Bagaimana kita bergaul dengan ahlul bid’ah, "Tidak !!!, coret !!?. Silang!!! Habis.!!!" Masa-masa itu kita tutup!. Kalau sampai jihad membawa kita kepada pergaulan dengan ahlul bid’ah seperti itu, tidak ada jihad-jihadan. Bathil (keliru), bubar, khan begitu !!! Ini…? Tidak dalam keadaan jihad atau bukan jihad bukan dalam perjuangan, bukan perang, bukan dalam keadaan apapun, sama mereka 'ahlan-ahlanan' (lemah-lembut, red). Buat acara bersama, bikin pertemuan bersama dan seterusnya!!?.

Dan kemudian, baru setelah kita jawab beberapa tokoh, Muhammad Sururnya, Abdurrahman Abdul Kholiqnya, dan kemudian Salman Audah, kemudian Abdul Karim Al Katsiri dari Riyadh, nah ini mereka !. Kemudian dari sisi politiknya, mereka membolehkan masuk ke dalam parleman atau masuk dalam partai-partai. Tidak mesti diantara mereka sampai masuk ke dalam marhalah ini. Diantara mereka masih marhalah satu, ada yang marhalah dua ada yang ketiga ada yang sudah keempat. Tetapi ciri yang umum adalah itu tadi, yaitu mereka bergampang-gampang dengan dengan Ahlul Bid’ah, meremehkan ahlul bid'ah, maksudnya meremehkan itu, meremehkan bahayanya.

Bukan artinya kita mengecilkan, jelas kita juga mengecilkan mereka, tetapi yang dimaksud adalah mereka meremehkan bahayanya ahlul bid'ah. "Mereka juga punya kebaikan, mereka juga punya suatu kelebihan, kita diperintahkan oleh Allah untuk mengambil ilmu dari mana saja, jangan lihat siapa yang berbicara, lihat ucapannya bagaimana ?" Jadi ucapannya yang kita lihat, orangnya siapa saja ahlul bid'ah atau Ahlus Sunnah", begitu ? Ini sudah terucap dari Yusuf Ba'isa banyak, entah dari yang lain saya belum tahu. Maka mereka ini ada ternyata turunannya Abdul Karim Al Katsiri turunannya mendirikan pondok, membiayai di 'Alamus Sunnah Bogor dan di Cirebon ini, As Sunnah. Kemudian Abdurrahman Abdul Khaliq, Tengaran, membiayai, membantu, mengirimkan orangnya dan datang ke Tengaran. Jadi sudah tidak bisa diingkari lagi, tidak bisa diingkari lagi, kalau mereka ini grupnya Abdurrahman Abdul Kholiq yang sudah dibantah oleh para Ulama.

Bukan satu-dua Ulama, tetapi para Ulama, termasuk Syaikh Muqbil yang di Yaman atau Syaikh Rabi' Ibn Hadi yang di Saudi, yang (keduanya) berjauhan, keduanya membantah Abdurrahman Abdul Kholiq. Demikian pula ulama yang lain, banyak. Ini…??? Datang ke indonesia ke Tengaran itu disambut diberi tempat dan dibikin dauroh oleh Yusuf Utsman Ba’isa - yang sesungguhnya masih misan saya - anaknya paman saya. Seperti itu, (Abdurahman) datang, dikasih tempat, dikasih kesempatan untuk bicara, (lantas) diundang semua para da'i. Waktu itu kita sudah tahu Abdurrahman Abdul Kholiq, tetapi ada berita dia taubat menulis surat kepada Syaikh bin Baz dan menyatakan pernyataan taubatnya, maka pada waktu itu (Ustadz) Ja’far menyuruh saya, "Coba kamu lihat, betulkah sudah taubat !". Maka saya hadir dalam keadaan bertanya-tanya benar sudah taubat atau tidak. Saya duduk dia berbicara, ini pada da’i semua nih, da'i kumpul semua, Abu Nida ada, Sholeh Su’aidi ada, siapa lagi…, semua... Yusuf yang mengundangnya, Ahmas Faiz ada, lengkap, Abu Haidar ada. Kemudian bertanya,"Syaikh, bagaimana mengatakan Yusuf Qardhawi dengan Yusuf Al-Quradly, apa boleh itu ?" - maksudnya ingin menjelekkan Ustadz Ja'far yang pada waktu itu menyebut Yusuf Qordhowi dengan Yusuf Al Qurodly- . Abdurrahman Abdul Khaliq ngamuk, ngamuk besar, saya sampai bengong, dibela mati-matian Yusuf Qordowi. "Afna hayatahu fi da'wah".

Saya mendengar sendiri, ya'ni tidak pakai sanad, sami'tu, tinggal kalian percaya sama saya atau tidak. "Asma biudinayya", saya mendengar dengan telinga saya sendiri. Dia (Abdurahman) mengatakan,"Afna hayatahu fi da'wah, Yusuf Qardhawy ini menghabiskan umurnya dalam dakwah, kemudian kamu cela seperti itu? Wallahi hadza adalah perbuatan Khawarij", kata dia, khawarij itu adalah kafir, kemudian disebutkan tentang kafirnya Khawarij !!!

Saya bingung, satu pembelaannya terhadap Qardhawi mati-matian padahal Qaradhawi adalah aqlani. Sampai Syaikh Muqbil menulis kitab "Iskatu kalbun awi fi roddi ala Yusuf Qordowi, “Mendiamkan anjing yang mengonggong, sebagai bantahan kepada Yusuf Qardhawy”. Disebutkan 'Iskatu kalbun awi fi roddi ala Yusuf Qordowi', ini dibela mati-matian oleh Abdurrahman Abdul Kholiq. Itu yang pertama !!! Dan kemudian yang kedua dia mengkafirkan Khawarij, padahal Ali bin Abi Thalib sendiri mengatakan 'minal kufri farru', justru dari kekufuran mereka lari, kata Ali bin Abi Thalib ketika ada yang mengatakan kufar. Tidak, justru karena takut kafir sampai mereka ekstrim, sampai melampaui batas, kemudian yang ketiga celaannya terhadap Salafiyyin sehabis itu, "Memang salafiyyin itu kaku…" dan seterusnya.

"Wallahi, demi Allah saya mengeluarkan air mata waktu itu, nangis, kenapa ?" Bukan hanya ucapan Abdurrahman Abdul Kholiq yang bejat, tetapi dengan senyum-senyumnya para du'at, kenapa mereka koq senyum senyum melihat ucapan yang kayak gini ini, melihat ini kenapa? Sholeh Su'aidi, kemudian Abu Nida dan sebagainya, seakan-akan tidak ada masalah dan merasa menang bisa mengalahkan Ustadz Ja’far dan Ustadz Muhammad. Nah…, kena lo!!, seakan-akan begitu, senyum-senyum dengan jawaban Qordowi sambil gini-gini, sambil gerakkan badannya, Ajib (aneh, red). Ini juga yang membikin kita sedih. Maka ini dosanya Yusuf Ba’isa menyebarkan kesesatan melalui Abdurrahman Abdul kholiq dan mengundang orang-orangnya. Lantas da'i itu pulang, da'i pulang itu akan disampaikan kepada murid-muridnya, itu Tengaran !!! (markas Al Irsyad, Tengaran, Salatiga, red)

Dan juga termasuk turunannya dari Abdurrahman Abdul Khaliq, karena dia pemimpin organisasi dana bantuan Ihya ut Turots, maka diapun mengucurkan dananya kepada berbagai macam pihak untuk menjadi corongnya, diantaranya Abu Nida cs di Yogya yang kemudian bikin pondoknya, "Bin Baz atau apa ? Kemudian yang di Solo, Ponpes Imam Bukhari dan seterusnya. Kkemudian membiayai untuk menerbitkan majalah As-Sunnah, Al-Furqon, kalau Al Furqon dengan majalahnya mereka, mereka punya majalah Al Furqon, majalahnya sururi Abdurrahman Abdul Kholiq, Abdurrahmaniyun.

Kemudian yang ketiga, turunannya Muhammad Surur. Muhammad Surur punya yayasan di London, di Birmingham, Punya Yayasan namanya Al-Muntada, grupnya, kalau bukan Muhammad Sururnya grupnya, ya.. dan menerbitkan majalah As-Sunnah, sama (namanya) dengan yang di Solo.

Kemudian As-Sunnah ini pertama dipuji oleh Ulama, karena biasa, sururiyun pertama menyebutkan yang bagus-bagus, salafi semua salaf, wah… bagus, dan kemudian bergeser kepada apa yang mereka mau sampai pada titik puncaknya ucapan mereka yang jahat kepada Ulama, yaitu mengatakan bahwa Taghut itu bermacam-macam, ini kata muhammad Surur di dalam majalah As Sunnah, Toghut itu bertingkat tingkat. Toghut yang paling adalah Clinton dan sebentar lagi Bush katanya, menujukkan kalau mereka tahu Fiqhul Waqi’. Jadi setelah Clinton itu pasti Bush, padahal belum diganti pada waktu itu!! Dan Toghut tingkat keduanya adalah para pimpinan-pimpinan negara Arab !! Apa semua pimpinan negara Arab kufar semua ? Atau ada yang kufar? Atau tidak kufar semua? Kok dikatakan Toghut !!? Toghut itu lebih dari kafir sudah. Dikatakan toghut selanjutnya adalah para raja-raja Arab, karena apa? Karena mereka menyembah taghut Bush atau Clinton itu tadi, dan mereka berkiblatnya adalah ke Gedung Putih, bukan ke Kab’ah katanya, termasuk raja Saudi yang dimaksud ? Dan kemudian tingkatan yang ketiga dari Toghut adalah para Ulama-ulamanya, Ulama-ulama Arab, ini yang dimaksud adalah Saudi, kelihatan... Yaitu yang mencarikan fatwa untuk para thaghut-thagutnya. Kalau Toghutnya ingin halal, maka mencarikan dalil untuk menghalalkannya, kalau mereka ingin haram, maka mereka mencari dalil-dalil untuk mengharamkannya. Kalau mereka sedang bertikai dengan Iran maka mereka para ulama-ulamanya mengumpulkan dalil tentang jeleknya Syi'ah, jelaskan maksudnya kemana walaupun disebutnya Arab.

Akan tetapi jelas maksudnya adalah Saudi dan berarti ulamanya adalah ulama yang kita kenal, apakah Syaikh Bin Baz, apakah Syaikh Utsaimin itui yang dimaksud dan lain-lainnya. Kalau berseteru dengan Iran mereka cari dalil tentang jeleknya Syi'ah, dan kalau berseteru dengan Irak, nah ini mulai tambah dekat, karena pada waktu itu kejadian Irak, baru, maka mereka ramai-ramai mencari dalil jeleknya Ba’tsi, dst, Sosialisme. "Mereka ini adalah para penjilat-penjilat munafiqun", katanya.

Dengan tulisan inilah hancur As-Sunnah dan grupnya, sampai para Ulama membantah dengan keras, habis sudah, ditahdzir. Setelah ditahdzir, sebagaimana biasanya mereka selalu berganti pakaian. Ditahdzir ganti pakaian itu biasa. Maka mereka mengatakan, " Memang As-Sunnah itu jelek, As-Sunnah itu ekstrim,… " dan sebagainya.

Akhirnya (mereka) bikin yayasan baru, namanya nama baru, bikin majalah, majalah baru. Yayasannya Al-Muntada, majalahnya adalah Al-Bayan, bukan lagi As-Sunnah tetapi Al Bayan. Sehingga Salafiyyin di Saudi kalau sedang menjelekkan Sururiyyin, mengatakan 'Lakumul Bayan was Sunnah wa lanal Kitab was Sunnah !' “Kamu itu punya Al-Bayan dan As-Sunnah, sedangkan kami berpegang kepada Al-Kitab dan Sunnah.” Maksudnya Al Bayan dan As-Sunnah artinya majalah Al-Bayan, kemudian As-Sunnah. Dan yayasan Al-Muntada London ini membuka cabang di Indonesia. Dan ini tidak pakai sanad lagi, dan saya langsung diajak untuk mendirikannya. Pada saat itu saya tidak tahu apa-apa sama sekali nggak ngerti. Karena seperti biasa mengaku Salaf, saya tidak pernah denger yang namanya Al-Muntada sama sekali, wala (tidak) di London wala di indonesia wala dimanapun !!?

"Ana gak paham makanan apa itu, gak tau". Orangnya. "kita, dakwah Salafiyah di Indonesia perlu diberi dukungan dan sebagainya, kita perlu bikin yayasan dana bantuan untuk membantu Ssalafiyin, untuk membantu salafiyin." Thoyyib (baiklah) kita bikin, saya termasuk pendirinya. Namanya Al-Muntada, persis sama dengan apa yang di London jadi jangan pura-pura, saksinya masih hidup sampai sekarang. Kemudian dalam keadaan saya masih di situ, mereka ganti menjadi Al-Sofwa, lho kok diganti Al-Sofwa ??? Padahal saya gak pernah ikut rapat dan sebagainya. "Tidak, mereka minta ganti nama", selalu demikian setiap ada keputusan. "Apa kita tidak bisa punya pendapat ?". Padahal kita pendiri waktu itu, tetapi semua keputusan Muhammad Kholaf yang bilang, "mereka…, mereka…." Atau dia istilahkan dengan "Ashabi…, ashabi….". “Sahabat-sahabatku minta begini, sahabat-sahabatku minta begini…”, Siapa? Saya berfikir berarti ini ada atasannya, berarti ini adalah cabang dari sana.

Sampai kemudian saya datang kepada Syaikh Rabi’, waktu saya tugas di Qosim di Unaizah saya ada kesempatan ke Madinah mampir, saya ke tempat syaikh Rabi' tanya langsung tentang Al-Sofwah. Dulunya namanya Al-Muntada, " Ah…, Al Muntada?", "Ya, terus ganti dengan Al-Sofwa" . "Al-Muntada sama dengan yang di London?". "Na'am, ya syaikh, katanya begini dan begini", saya terangkan, "Kalau itu betul dari mereka, lihat nanti, mereka akan menjadi penghalang pertama dakwah Salafiyyah". Dan saya tidak ke sana lagi selamanya abadan, abidiina. Dan saya bukan lagi pendirinya Alhamdulillah. Karena dulu kita mendirikan Al-Muntada, kemudian dirubah oleh mereka diganti dan entah tidak mengerti lagi saya pada waktu itu, sudah lain sama sekali.

Dan didalamnya, waktu saya di situ saja pernah kita tegur adanya orang dari IM," Syaikh ini orang dari ikhwan?", "La (tidak, red).., kita tarik supaya jadi Salafy", katanya. Ya sampai hari ini dia masih tetap. Orang Lampung, pada waktu itu da’i Ikhwani, di Lampung digaji oleh Al-Sofwa. Kenapa tahu? Ya, karena sama saya sekelas orang itu di LIPIA dan tahu betul dia ini IM !!?

Sehingga Ikhwana fiddin a'azzakumullah
Sudah ada tiga jalur. Jalurnya Abdul Karim jalurnya ke Alamus Sunnah dan As Sunnah Cirebon dan Abdurrahman Abdul Khaliq, ke Tengaran dan kemudian ke Jogja dan Solo itu, Abu Nida dan Ahmas Faiz. Kemudian Muhammad Surur nya langsung dengan As-Sunnah dan Al-Bayannya masuk ke Al-Sofwah, dan kemudian dari Al-Sofwah ini disebarkanlah majalah Al-Bayan tadi. Dan itu terang-terangan, bundelnya Al-Bayan di Al-Sofwa itu lengkap dan disebarkan di seluruh Indonesia, termasuk ke Solo ke grupnya Ahmas Fais dan grupnya Abu Nida termasuk yang dikirimi, entah itu apakah masih berlanjut, karena saya tidak tahu, ataukah tidak.

Kemudian ternyata mereka juga membantu dana kepada segala macam Ahlul bid’ah, termasuk Ngruki (Ponpes AL Mu'min, Ngruki, kelompok Abu Bakar Ba'asyir, red), Ngruki yang jelas-jelas seperti itu ya'ni pemikirannya pemikiran NII. Kalaupun apakah asli ataukah pecahan saya gak tahu, pokoknya pemikirannya seperti itu, pemikiran Khawarij, KGB, Khawarij Gaya Baru. Itu dibantu, sampai kita tegur, waktu itu.

Itu dalam keadaan masih kita tegur oleh kita, apalagi ketika sudah diboikot, sudah ditahdzir mungkin tambah bebas mereka. Dengan alasan "O.. tidak, kita tidak menyumbang gerakannya mereka, kita hanya menyumbang kitab. Jadi menyumbang kitab itu supaya mereka baca kitab". Ternyata ketika ada seorang yang ke sana, ada gedung baru, gedung perpustakaan bertingkat, gedung besar, tanya : “Ini dibangun dari mana dananya?”, "Anu… dikasih sama Al-Sofwa". Ternyata bukan buku tapi dikasih betul-betul berupa gedung yang alasannya buat perpustakaan. Ini juga dari kedustaan dia, membangun masjidnya ahlul bid'ah, banyak ya…. Hadza Al-Sofwah!!!

Dan Yazid Jawwas mengatakan "Al-Sofwah itu Salafy", padahal tadinya ketika dia masih sama kita dia mengatakan bahwa Al-Sofwa itu ikhwani, Surury, tapi ketika dia bersama mereka sudah meninggalkan Salafiyyin, terus omongnya sudah lain. Jalur apalagi yang belum saya sebut? Sudah ya?.

Dari Al-Sofwa menyebarkan kepada diantaranya yang dibangun Al-Sofwah, dengan da’i-da’inya, dengan biayanya dari A sampai Z adalah pondoknya Asmuji, di Cilacap (Ma'had Imam Syafi'i, red), bahkan sampai diadakan dauroh,yang pengajar-pengajarnya diambil dari grupnya mereka Sururiyin di Riyadh, asli !!! Ini orang Arab mengajarkan bagaimana pemikiran-pemikiran Sururiyyin, (langsung) diajarkan oleh mereka. Yang juga dibantu oleh Al-Sofwa dan dan da'inya dari Al-Sofwah, sampai diadakan dauroh yang mengisi daurohnya adalah IM, IM Arab!!!

Bayangkan yang IM Indonesia saja bahaya apalagi IM Arab, yang biasa pakai bahasa Arab dan pakai dalil-dalil, itu adalah Aunur Rofiq Ghufron, Gresik, yang sampai Sururiyyin sendiri yang hadir ngomong, “Kok yang ngisinya Ikhwan ya?”, (sudah) tahu mereka yang mengisinya adalah Ikhwanul Muslimin, yang menyampaikan adalah anak buahnya Abu Nida yang di Jogja, yang pernah di Pakistan, Abu siapa itu…? Itu yang mengatakan, "Iya, diantara mereka ada ikhwan", katanya.

Bayangkan bukan lagi sururi, tapi ikhwan ini yang mengisi, karena masalah fulus. Diberi mobil, diberi dauroh, diberi bangunan, apa lagi...? Dan ini rasanya sudah terjawab atau paling tidak tersebut semua rangkaiannya dan orang-orangnya juga kan berarti...?

Aunur Rofiq Gufron sudah, Yusuf Baisa sudah kamu tahu, Abu Nida sudah disinggung, Abu Haidar sama dengan Al-Sofwa, karena bekerjasama dengan Al-Sofwa sampai sekarang. Bahkan Al-Sofwa bikin cabang di Bandung dan yang mengurusnya Abu Haidar cs. Adapun Abdul Hakim Amir Abdat dari satu sisi lebih parah dari mereka, dan sisi lain sama saja. Bahwasannya dia ini, dari satu sisi lebih parah karena dia otodidak dan tidak jelas belajarnya, sehingga lebih parah karena banyak menjawab dengan pikirannya sendiri.

Memang (Abdul Hakim) dengan hadits tetapi kemudian hadits diterangkan dengan pikirannya sendiri, sehingga terlalu berbahaya, mengerikan, sampai-sampai dia melepas hijab ketika kajian, "Tidak ada…, mana ? Hijab itu...?", begitu ? Jadi akhwat tidak pakai hijab dengan ikhwan, kemudian dia menertawakan gamis. Ini 'ihtiza bi Sunnah !!! memperolok-olokan Sunnah !!!. Keras sekali hukumnya dalam hukum Islam. Sururiy yang tadi itu tidak sampai separah ini, dia mengatakan kepada teman-teman yang pakai jubah itu bahwa mereka pakai rok katanya. "Ada apa kamu pakai rok? Kayak perempuan"!!! Maksudnya mau membantah, kalau kamu katakan "Inikan Sunnah". Dan dia akan bantah bahwa ini bukan Sunnah, sekalian menonjolkan ilmunya, "nih saya tahu", dengan cara memperolok-olokkan Sunnah !!!

Padahal kalaupun itu adalah Jibliyyah, karena paling sedikitnya adalah Jibiliyyah (sesuatu yang dipakai oleh Rasulullah, namun tidak dianjurkan pada ummatnya dan bukan Sunnah). Itupun para Ulama mengatakan, "Tidak boleh diperolok-olokkan". Kenapa? Karena kalau memperolok-olokan berarti memperolok-olokan apa yang dipakai Rasul. "Hadza adzim, besar sekali di sisi Allah!!! Ini kekurangan ajarannya Abdul Hakim ini disebabkan karena dia menafsirkan seenak sendiri dan memahami seenaknya sendiri. Tafsirnya dengan Qultu, "saya katakan, saya katakan", begitu. "Ya.., di dalam riwayat ini…ini… dan saya katakan...", seakan-akan dia kedudukannya seperti para ulama, padahal dari mana dia belajarnya !!?

Ini yang jadi masalah sehingga banyak yang disaksikan oleh teman-teman yang perlu diteliti lagi, itu banyak berita-berita tentang Abdul Hakim, yang dia ngobrol dengan perempuan tanpa hijab sama sekali, pakai celana panjang, pakai kaos ketat, ketika ditegur, "Saya sedang menasehati", terus juga dia masih merokok, kemudian juga masih sering musbil, masih sering pakai pantalon, karena dia mencela gamis dia pakai pantalon, celana ketat yang sampai disebutkan oleh Syaikh Yahya Al Hajuri di Yaman. Ketika ditanyakan tentang Abdul Hakim, "Siapa ?" lalu diterangkan kemudian sampai pada pantalon (celana tipis yang biasa dipakai untuk acara resmi ala Barat, red). “Hah huwa Mubanthal (pemakai panthalon, celana panjang biasa yang memperlihatkan pantatnya dan kemaluannya itu) ?. Dijawab, "Iya syaikh". "Allah, yakfi, yakfi, yakfihi annahu mubanthal." Cukup kamu katakan dengan dia memakai panthalon saja untuk dikatakan 'Jangan mengaji sama dia”. Sudah cukup bagi saya, apalagi yang lebih dari itu.

Seorang da'i Seorang yang mengajarkan Sunnah maka harus dimulai dari dirinya untuk memakai yang tidak membentuk pahanya dan pantatnya, itu sudah harus. Ini ketika ditanyakan kepada Syaikh Yahya Al Hajuri, ada catatannya, ada kasetnya. Ini Abdul Hakim Abdad !!?.

Jadi ikhwana fiddin a'azzakumullah, maka untuk selebihnya kalian harus mengkaji kitab-kitab bagaimana sikap Ulama terhadap ahlul bid’ah, karena ini yang paling ditakuti oleh Sururiyyin. Kalau saja disini ada seratus orang, diantara mereka ada Surury, tapi kita nggak tahu yang mana lalu antum ajarkan kitab-kitab Manhaj, dia akan panas, gelisah seperti jin diruqyah, 'imma (bisa jadi) lari, imma membantah'. Protes, imma dia bingung, atau yang paling baiknya sadar saat itu - Alhamdulillah kalau begitu-.

Sehingga kajian manhaj itu sangat penting, atau khususnya. Karena manhaj itu luas sekali, semua kitab-kitab para Ulama semuanya manhaj. Kitab-kitab yang berbicara tentang sikap Ahlus Sunnah terhadap ahlul bid’ah. Nanti kita akan melihat betapa jahatnya tokoh-tokoh yang ditanyakan tadi ini. Jahat, sangat. Para ulama sedemikian kerasnya terhadap ahlul bid'ah dan begitu hati-hatinya sampai memperingatkan ummat untuk hati-hati terhadap mereka, ini malah mengatakan, "Tidak apa-apa, mereka punya kebaikan", sehingga terlihat 180 derajat antara para ulama dengan sururiyyin ini.

Setelah kita membaca seperti apakah kitabnya Lamuddurul Mantsur, atau kitab yang baru saya dapatkan ini Ijma’ dari Para Ulama tentang Tahdzir terhadap ahlul bid'ah terus kitab…

Bahkan sesungguhnya pada kitab-kitab para Ulama yang berbicara tentang Manhaj Ahlus Sunnah itu selalu ada bab khusus tentang Bab Wajibnya Kita untuk Menjauhi Ahlil Bid'ah. Mesti, hampir setiap kitab As-Sunnahnya Al Barbahari ada keterangan tentang masalah itu, kemudian Abu Utsman Ashabuni, Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, ada bab itu. Bahwa ciri Ahlus Sunnah adalah benci terhadap ahlul bid’ah, dan menjauhi ahlil bid'ah dan mentahdzir ahlul bid’ah.

Dalam Syarhus Sunnah dalam Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, kemudian dalam Syariah Al-Ajurry, kemudian Minhaj Firqatun Najiyah Ibnu Baththah, itu semua ada. Yang menunjukkan mereka semua sepakat untuk memperingatkan ummat dari ahlul bid'ah dan mentahdzir ahlul bid'ah, membenci mereka, menghajr mereka, memboikot mereka dan tidak bermajlis dengan mereka, itu sepakat. Sehingga apa yang mereka sebarkan dari prinsip-prinsip ikhwaniyyah dan Sururiyyah ini, adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan Sunnah Rasulullah, dan bertentangan dengan 180 derajat.

Wallahu Ta'ala A'lam bish Showab.
Subhanaka Allahuma wabihamdika, asyadu anlaa ilaaha illa anta, astaghfiruka, wa atubu ilaik.

Sekali lagi untuk lebih jelasnya dengan kajian kitab tadi.

Pertanyaan :
Bagaimana tentang subhat mereka yang menyatakan, “Bahwa mereka salafy, kenapa tidak mau menghadiri daurah di Surabaya yang mendatangkan Syaikh Ali Hasan?”. Itu syubhat yang sering mereka lontarkan kepada kita.

Jawaban Ustadz Muhammad:
Pernah ditanyakan tentang kepada Syaikh Yahya Al Hajuri tentang masalah syaikh Ali Hasan Abdul Hamid yang datang ke Surabaya. Ditanyakan, "Bagaimana Syaikh, ada suatu majelis yang didatangi Ali Hasan dan sebagainya, dari Urdun dan yang hadir disana campur, ada Ahlus Sunnah. ada ahlul bid’ah, ada berbagai macam kelompok, sururi dan sebagainya. Apakah dibenarkan kami tidak datang ke sana, karena tidak mau ketemu dengan mereka, dengan ahlil bid'ah ini?
Kata Syaikh: “Ada mereka di sana? Wallahi, saya berpendapat bahwa bukan saja boleh, tidak perlu kamu duduk disana untuk hadir di majelis seperti itu. Kamu bisa hadiri majlis-majlis lain dari para Ulama dan kamu bisa membaca kitab para Ulama, kamu bisa mendengarkan kasetnya, dengan berbagai macam cara daripada kamu duduk dengan ahlil bid'ah.” Sampai seperti itu, dan beliau terheran-heran dengan syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
Wallahu ta’ala a’lam.

Pertanyaan :
Bagaimana dengan Abu Qatadah yang sedang mereka elu-elukan?

Jawaban Ustadz Muhammad:
Abu Qatadah ini sebuah contoh yang bagus untuk menunjukkan akibat duduk dengan ahlul bid’ah. Abu Qatadah ini datang dari Yaman, dari Yaman mereka sudah sama-sama paham, sampai datang ke Indonesia, diajak kakaknya ketemu Abu Nida dan kemudian di sana ngobrol, kemudian hilang nggak balik lagi. Abu Qatadah. Jadi mereka merasa bangga punya lulusan Yaman, lulusan Syaikh ini.

Karena merasa dapat satu orang dari Yaman, karena yang belajar dari Yaman Salafiyyin semuanya, adapun Sururiyyin, tidak cocok di Syaikh Muqbil, akhirnya pindah ke tempat Abul Hasan, seperti Sholeh Su’aidi, akhirnya sekarang. Abul Hasan ditahdzir, jadi nasib mereka tetap tidak berubah, mereka ingin mendapat stempel Salafiyyin, namun setelah duduk di Syaikh tidak betah karena dibantai terus sama teman-teman, kemudian pindahnya ke Abul Hasan. Ternyata dengan bangga ditulis, akan diisi oleh Sholeh Su’aidi, murid Abul Hasan Al-Misri, na'am, daurah di Purwokerto. Ana bilang kasihan mereka nggak tahu, Abul Hasan sudah ditahdzir dengan keras oleh para Ulama, mereka mengelu-elukan orang yang sudah ditahdzir oleh para Ulama. Abul Hasan kasar sekali ucapannya terhadap Syaikh Rabi’ dan kurang ajar betul. Dan para Ulama sudah marah kepada Abul Hasan, bahkan bukan Abul Hasannya, pembela-pembelanya kena dan ikut jatuh, jatuh bareng, termasuk di antaranya adalah da’i Yordan. Wallahu a’lam siapa yang dimaksud, karena yang disebutkan hanya da’i Yordan, Urduniyyin, Yordan setelah ditinggal Syaikh Albany lemah katanya. Sedang ramai pula di tingkat tinggi para Ulama, tentang Abul Hasan.

(Ceramah ini ditranskrip oleh ikhwan Bandung, dari kaset Ustadz Muhammad Umar As Sewed yang direkam saat beliau ditanya oleh Abu Tsumamah, ikhwan Tangerang di rumah kediaman beliau, beberapa bulan yang lalu. Transkrip ini sudah dikonfirmasikan kepada Ustadz Muhammad As-Sewed seusai beliau Khutbah Iedul Adha di Perumnas Guntur, Cirebon, 10 Dzulhijjah 1424 H. Ustadz Muhammad Umar As Sewed adalah Pengajar di PonPes Dhiyaus Sunnah Cirebon. Kaset/CDnya ada di TASJILAT AS-SALAFIYYAH, Jl. Sekelimus VII No.11 Bandung, Telp. (022) 7563451). [Sumber Asli : http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=496])

Sabtu, 23 April 2011

Bahaya Pemikiran Sayyid Quthb


 bismilah
BAHAYA PEMIKIRAN SAYYID QUTHB
Oleh:
Al-Ustadz Muhammad ‘Umar As-Sewed Hafizahullah

Bukan riwayat hidup beliau yang akan saya tulis dalam kertas ini. Sudah terlalu banyak orang yang menuliskannya dengan indah, bahkan kadang berlebihan. Bukan pula perhitungan amal dan perbandingan antara kebaikan dan kejelekan yang akan saya terangkan karena perhitungan amal dan hisab akan Allah tegakkan di hari perhitungan kelak dengan teliti dan akan Allah balas dengan seadil-adilnya.
Saya hanya menukilkan nasihat untuk seluruh kaum muslimin agar berhati-hati dari pemikiran Sayid Quthb yang berbahaya dan telah dituangkan kepada kaum muslimin dengan berbagai macam bahasa. Pemikiran beliau ini laku keras di pasaran karena kekaguman kaum muslimin kepada gerakan, keberanian dan digantungnya beliau oleh tirani Mesir. Sehingga ketika mereka mendengar peringatan Ahlus Sunnah dari bahaya pemikiran Sayid Quthb, mereka tersentak kaget. Jantung mereka seakan berhenti sesaat. “Seorang pejuang Islam yang mati syahid di tiang gantungan tirani Mesir dikatakan sesat?” Seakan-akan orang yang mati di tiang gantungan tidak mungkin memiliki penyelewengan dan bahaya pemikiran.
Maka untuk Allah ‘Azza wa Jalla, kemudian untuk kebaikan dan keselamatan manhaj kaum muslimin serta untuk kebaikan Sayid Quthb sendiri yaitu agar penyelewengan dan kerancuan pemikirannya tidak diikuti oleh orang yang lebih banyak yang berarti menambah dosanya, kami akan jelaskan beberapa pemikiran beliau yang sangat berbahaya khususnya dalam masalah pengkafiran kaum muslimin. Semoga dapat bermanfaat bagi kita dan dapat berhati-hati darinya. Untuk membongkar kesesatan pemikiran Sayid Quthb, maka saya memakai kitab Adlwa’ Islamiyah ‘ala Aqidah Sayid Quthb oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah sebagai rujukan utamanya.
KERANCUAN PEMAHAMAN SAYID TERHADAP “LA ILAAHA ILLALLAH”
Pemikiran takfir Sayid Quthb merupakan akibat dari akidah dan keyakinan yang salah terhadap makna kalimat tauhid laa ilaaha illallah. Dia menafsirkan kata ilah dengan al-hakim (yang menghukumi). Penafsiran ini persis seperti pemikiran Abul A’la Al-Maududi yang ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli filsafat barat, yaitu Haigle dalam bukunya Al-Hukumah Al-Kulliyah (Pemerintahan yang Menyeluruh). Syaikh Nadzir Al-Kasymiri (seorang ulama salaf di India) berkata: “Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat barat dari buku Al-Hukumah Al-Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam.” (Adlwa’ Islamiyah hal. 59)
Sebagai contoh, kita nukilkan di sini terjemahan ucapan Sayid dalam bukunya Al-Adalah Al-Ijtima’iyah (Keadilan Sosial) hal. 182 cet. 12: “Sesungguhnya perkara yang menyakinkan dalam Dien ini adalah bahwasanya tidak akan tegak di hati ini akidah dan tidak pula dalam kehidupan dunia, kecuali dengan mempersaksikan bahwasanya laa ilaha illallah, yaitu laa hakimiyata illa lillah (tidak ada kehakiman kecuali untuk Allah), hakimiyah yang berujud qadla dan qadar-Nya sebagaimana terwujud dalam syariat dan perintahnya.”
Demikian pula ucapannya dalam menafsirkan surat Al-Qashash: Huwallahulladzi la ilaha illahuwa. Dia berkata: “Yaitu tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan dan ikhtiar.” (Fi Dhilalil Qur`an 5/2707)
Bahkan lebih jelas lagi dia berkata dalam tafsir surat An-Nas bahwa Al-ilah adalah al-musta’li, al-mustauli, al-mutasallith. (Fi Dhilal 6/4010) yang semuanya itu bermakna kurang lebih sama yaitu “Yang Menguasai”.
Demikianlah Sayid mempersempit makna ilah hanya kepada rububiyah dan melalaikan makna yang hakiki dari kata ilah yang mengandung makna uluhiyah yaitu “yang berhak untuk diibadahi”. Penafsiran Sayid ini jelas bertentangan dengan penafsiran para ulama Ahlus Sunnah.
Ibnu Jarir berkata dalam menafsirkan ayat dalam surat Al-Qashash di atas: “Allah yang Maha Tinggi sebutannya, Rabb kamu –wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam— adalah yang berhak untuk diibadahi yang tidak layak peribadatan itu diberikan kecuali kepadaNya dan tidak ada yang boleh diibadahi kecuali Dia.” (Tafsir At-Thabari 20/102)
Demikian pula dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan: “Yaitu yang menyendiri dengan uluhiyah dan tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia. Sebagaimana tidak ada penguasa yang menciptakan apa yang dikehendakinya dan memilih sekehendaknya kecuali Dia.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/398)
Demikianlah para ulama Ahlus Sunnah memahami kalimat tauhid seperti pemahaman para pendahulunya dari kalangan salafus shalih, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah (uluhiyah) yang terkandung di dalamnya makna rububiyah dan asma wa sifat. Adapun pemahaman Sayid bahwa al-ilah adalah al-hakim atau al-musta’li, al-mustauli dan al-mutasallith (penguasa), maka perlu dipertanyakan dari mana dia mendapatkan pemahaman seperti ini. Siapa yang memahami demikian dari kalangan shahabat atau para ulama salaf?
Pemahaman ini jelas menyimpang karena Ahlus Sunnah secara umum telah memahami bahwa tauhid rububiyah –yaitu mengakui bahwa Allah penguasa dan pencipta— telah diakui oleh sebagian besar orang-orang musyrik jahiliyah.
Allah berfirman tentang mereka:
قُلْ لِمَنِ الأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلاَ يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah: ‘Siapa pemilik langit yang tujuh dan pemilik ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’ (Al-Mukminun: 84-89)
Lupakah Sayid tentang ayat-ayat Allah yang menjelaskan makna kalimat tauhid dengan tauhidul ibadah, mengesakan Allah dalam beribadah kepada-Nya dan tidak beribadah kepada selain-Nya? Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’ (Al-Anbiya: 25)
Kita sama-sama mengetahui betapa luasnya makna ibadah yang mencakup keyakinan, kecintaan, ketaatan, pengabdian, pengagungan, ketundukan, kekhusyu’an, ketakutan, harapan dan juga mencakup amalan badan seperti sujud, ruku’, thawaf, doa, istighatsah, isti’anah, serta mencakup puji-pujian lisan seperti tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh hamba karena rasa butuh hamba kepada Allah dalam rangka (menghambakan diri) dan beribadah kepada Allah. Tidak diberikan jenis-jenis peribadatan ini kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Anehnya Sayid Quthb membawa nama Arab dan bahasa Arab dalam “pemahaman”nya itu. Dia berkata: “…bahwasanya mereka (orang-orang Arab) dahulu telah mengetahui dengan bahasa mereka apa makna ilah dan makna laa ilaha illallah.… Mereka mengetahui bahwa uluhiyah adalah hakimiyah yang paling tinggi.” (Fi Dhilal 2/1005).
Dia juga berkata pada halaman berikutnya: “Laa ilaha illallah sebagaimana yang dipahami oleh orang Arab yang mengerti apa-apa yang ditunjukkan oleh bahasanya yaitu: Tidak ada hakimiyah kecuali untuk Allah dan tidak ada syariat kecuali dari Allah serta tidak ada kekuasaan seseorang atas seseorang karena kekuasaan seluruhnya milik Allah.” (Fi Dhilal 2/1006).
Syaikh Rabi’ dalam membantah ucapan ini berkata: “Sesungguhnya apa yang dinisbahkan oleh Sayid kepada bahasa Arab yaitu tentang makna uluhiyah adalah hakimiyah, tidak dikenal oleh orang Arab dan tidak pula dikenal oleh pakar-pakar bahasa Arab ataupun selain mereka. Bahkan al-ilah menurut orang-orang arab adalah al-ma’bud (yang diibadahi) yang para hamba mendekatkan diri kepadaNya dengan ibadah disertai ketundukan, penghinaan diri, kecintaan dan ketakutan, … Bukan bermakna sesuatu yang mereka berhukum kepadanya.” (hal. 63)
Orang-orang Arab jahiliyah dahulu memiliki tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin yang mereka berhukum kepadanya, tetapi mereka tidak menamakannya dengan ILAH (sesembahan). Bahkan sebaliknya, mereka memiliki berhala-berhala yang mereka namakan ILAH-ILAH. Seperti LATTA yang berbentuk kuburan. UZZA yang berbentuk tempat keramat, serta patung-patung lainnya yang mereka bertawasul, berkurban dan beribadah kepadanya, tetapi mereka tidak menamakan perbuatan mereka dengan berhukum, bertahkim, atau HAKIMIYAH!
Demikian pula di masa mereka terdapat raja-raja di timur dan di barat, tetapi mereka tidak menamakannya dengan ILAH.
Ingat! Yang kita bantah di sini bukan kewajiban bertahkim kepada Allah, melainkan pemahaman sempit Sayid dengan mengatasnamakan bahasa Arab dan orang-orang Arab. Padahal sama sekali tidak dikenal dalam bahasa Arab bahwa makna ILAH adalah HAKIM.
KABURNYA PEMAHAMAN SAYID TERHADAP RUBUBIYAH DAN ULUHIYAH
Kadang-kadang Sayid menafsirkan makna uluhiyah dengan rububiyah. Terkadang pula sebaliknya. Sayid berkata dalam tafsir Surat Ibrahim ayat 52: “Makna al-ilah adalah Dzat yang berhak untuk menjadi RABB yaitu yang menghakimi, Yang memiliki, Yang berbuat, Yang membuat syariat dan Yang mengarahkan.” (Fi Dhilal 4/2114)
Bahkan dia berkata bahwa pertikaian antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin jahiliyah adalah dalam masalah rububiyah. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh seluruh ulama ahlus sunnah. Dia mengatakan: “…perkara uluhiyah sedikit sekali menjadi bahan pertikaian pada kebanyakan orang-orang jahiliyah, khususnya jahiliyah Arab. Hanya saja yang selalu menjadi bahan pertikaian adalah masalah rububiyah. Yaitu masalah penerapan Dien pada kehidupan dunia ini, berupa amal nyata yang mempengaruhi kehidupan manusia.” (Fi Dhilal)
Dari ucapan ini terlihat bahwa Sayid tidak dapat membedakan antara uluhiyah dan rububiyah. Kemudian apakah akibat dari kerancuan pemahaman Sayid terhadap rububiyah dan uluhiyah dan sempitnya pandangan Sayid terhadap laa ilaha illallah ini?!
PENGKAFIRAN SAYID TERHADAP KAUM MUSLIMIN
Akibatnya sungguh mengerikan! Dia mengkafirkan seluruh kaum muslimin dan umat Islam secara tersirat dan tersurat dan meremehkan kesyirikan dalam masalah ibadah. Perhatikanlah ucapannya: “…termasuk dalam lingkup masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang mengaku dirinya muslim. Masyarakat tersebut masuk ke dalam lingkungan ini bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah dan tidak pula karena menghadapkan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah, tetapi mereka masuk ke dalam masyarakat jahiliyah ini karena tidak beragama dengan ‘peribadatan’ kepada Allah dalam undang-undang kehidupan mereka. Maka yang demikian –walaupun mereka tidak meyakini uluhiyah seorang pun kecuali Allah— tetapi mereka telah memberikan yang paling istimewa dari keistimewaan-keistimewaan ketuhanan kepada selain Allah dan beragama dengan HAKIMIYAH kepada selain Allah….” (Fi Dhilal)
Tampak dari ucapannya bahwa masyarakat Islam hanya pengakuan, padahal sebenarnya mereka adalah masyarakat jahiliyah. Terkesan pula bahwa memberikan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah adalah masalah sepele, bahkan sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali bahwa hampir pada semua tulisan Sayid dalam Fi Dhilalil Qur`an dan yang lainnya tidak memperdulikan para penyembah kubur, orang-orang yang melampaui batas terhadap ahlul bait dan para wali, serta orang-orang yang memberikan sifat uluhiyah dan ubudiyah kepada mereka. Dia tidak menghukumi manusia kecuali dengan penyelisihannya terhadap hakimiyah. Dan penafsiran Sayid terhadap la ilaha illallah tidak keluar dari HAKIMIYAH, KEKUASAAN dan KEPEMIMPINAN semata.
Juga ucapan Sayid ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 106:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan musyrik. (Yusuf: 106)
Setelah Sayid menyebutkan syirik yang samar dia mengatakan: “Dan di sana ada syirik yang tampak jelas yaitu tunduk kepada selain Allah dalam salah satu urusan kehidupan dan tunduk kepada aturan syariat yang dijadikan (oleh manusia) sebagai hukum. Hal ini merupakan asas dalam kesyirikan yang tidak bisa dibantah. Demikian pula tunduk kepada adat-adat kebiasaan seperti mengadakan perayaan-perayaan, musim-musim yang diatur oleh manusia padahal tidak disyariatkan oleh Allah, tunduk kepada aturan pakaian yang menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Allah untuk ditutupi dan membuka aurat-aurat yang syariat Allah telah menetapkan untuk ditutup[1]. Urusan seperti ini lebih dari sekedar pelanggaran dan dosa penyelisihan syariat, karena urusan itu merupakan ketaatan dan ketundukan kepada pemahaman yang umum pada masyarakat berupa ciptaan hamba dan meninggalkan perkara jelas yang muncul dari penguasa para hamba….
Sesungguhnya ketika itu bukan lagi dia sebagai dosa melainkan pensyariatan karena yang demikian merupakan ketundukan kepada selain Allah dalam perkara yang menyelisihi perintah Allah….” (Fi Dhilal 4/2023)
Dalam ucapan Sayid di atas terdapat dua bahaya besar: Pertama, pengkafiran kaum muslimin karena dosa-dosa seperti mengikuti adat kebiasaan, berpakaian yang menyelisihi syariat dan lain-lain. Kedua, penafsiran Al-Qur`an tidak seperti apa yang dikehendaki Allah, khususnya dalam masalah kesyirikan.
Hal ini terjadi karena Sayid bersikap ghuluw pada masalah hakimiyah sampai-sampai dia berkata: “Sesungguhnya kesyirikian mereka (jahiliyah) yang asasi bukan dalam keyakinan tetapi pada masalah hakimiyah.” (Fi Dhilal 3/1492)
Sungguh aneh pemahaman Sayid ini. Bagaimana kira-kira dia menghukumi raja Najasyi yang masuk Islam dengan keyakinannya dan belum sempat mempraktekkan hukum-hukum Islam dan belum menerapkan al-hakimiyah di negerinya? Kalau menurut pemahaman Sayid berarti dia tetap kafir karena –menurutnya— kesyirikan yang hakiki adalah pada penerapan hakimiyah dan bukan keyakinan!
Adapun pemahaman Ahlus Sunnah adalah pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda kepada para shahabat ketika mendengar Raja Najasyi meninggal:
قَدْ تُوُفِّيَ الْيَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ مِنَ الْحَبَشَةِ فَهَلُمَّ فَصَلُّوْا عَلَيْهِ. (رواه البخاري)
Telah meninggal hari ini seorang yang shalih dari Habasyah. Marilah kemari! Shalatkanlah dia! (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 3/1320)
Bagaimana pendapat anda kalau raja Najasyi menerapkan hakimiyah tetapi tidak meyakini aqidah tauhid dan beribadah kepada kuburan-kuburan? Apakah Rasulullah akan menganggap dia sebagai muslim?!
ANGGAPAN SAYID BAHWA UMAT ISLAM TELAH LENYAP
Saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya Sayid Quthb tidak menganggap keberadaan kita sebagai muslimin. Dia menganggap umat Islam telah lenyap dengan lenyapnya kekhilafahan! Lihatlah dia berkata dalam bukunya Hadlirul Islam wa Mustaqbaluh (Islam kini dan esok): “Kami mengajak untuk mengembalikan kehidupan yang islami dalam masyarakat yang islami dengan hukum aqidah Islam dan pandangan yang islami, sebagaimana dihukumi pula oleh syariat Islam dan aturan yang islami. Kita telah mengetahui bahwa kehidupan Islam seperti ini telah berhenti sejak lama di seluruh permukaan bumi. Dan keberadaan Islam pun telah berhenti….”
Tenanglah sebentar! Jangan tergesa-gesa menafsirkan dengan tafsiran pembelaan, karena Sayid akan berkata lebih jelas lagi, yaitu: “…kami menampakkan kenyataan yang terakhir ini walaupun akan menyebabkan munculnya benturan keras dan keputus asaan dari orang-orang yang masih tetap menginginkan untuk menjadi muslimin.”
Lihatlah dia menyebut kaum muslimin dengan ungkapan: “Orang-orang yang ingin menjadi muslimin!”
Ucapan yang hampir sama ia ucapkan pula dalam bukunya Al-Adalah Al-Ijtima’iyah, setelah dia membawakan ayat-ayat tentang hakimiyah: “Ketika kita memperhatikan seluruh permukaan bumi hari ini, di bawah cahaya ketetapan ilahi terhadap pemahaman Dien ini, kita tidak mendapatkan keberadaan Dien ini…. Sesungguhnya keberadaan Dien telah lenyap sejak kelompok terakhir dari kaum muslimin melepaskan pengesaan Allah dalam hakimiyah dalam kehidupan manusia. Yang demikian adalah ketika mereka meninggalkan berhukum dengan syariat Allah semata dalam segala aspek kehidupan.
Kita harus mengakui kenyataan pahit ini dan harus menampakkannya. Janganlah kita khawatir munculnya “putus harapan” dalam hati-hati kebanyakan orang-orang yang suka untuk menjadi muslimin. Mereka seharusnya meyakini bagaimana mereka dapat menjadi muslimin.
Sesungguhnya musuh-musuh Dien ini telah menjalankan usaha sejak beberapa abad dan masih tetap melaksanakan usaha-usaha maksimal yang menipu dan jahat untuk merampas kehendak kebanyakan orang yang ingin menjadi muslimin?” (Al-Adalah hal. 183-184)
Di sini terlihat pemikiran-pemikiran Sayid yang berbahaya di antaranya anggapan beliau bahwa:
1. Kehidupan Islam telah tiada.
2. Bahkan wujud Islam telah berhenti.
3. Anggapan bahwa kaum muslimin adalah orang-orang kafir jahiliyah yang menginginkan Islam.
4. Inti Islam yang hakiki adalah tauhid hakimiyah.
5. Dia mengharuskan dan menegaskan untuk mengumumkan pengkafiran umat Islam.
Adakah pengkafiran yang lebih jelas daripada pengkafiran Sayid Quthb ini?! Mana yang dinamakan pengkafiran kalau ucapan seperti ini tidak dinamakan pengkafiran? Perhatikanlah wahai orang-orang yang memiliki pandangan!
UMAT ISLAM TELAH MURTAD DAN ADZAB BAGI MEREKA LEBIH KERAS DARIPADA ORANG KAFIR LAINNYA
Sayid Quthb berkata: “Telah bergeser jaman, kembali seperti keadaan pada hari datangnya Dien ini kepada manusia (yaitu masa jahiliyah, pent). Telah murtad manusia menuju peribadatan kepada hamba-hamba dan menuju kerusakan agama-agama. Mereka telah berpaling dari la ilaha illallah, walaupun sekelompok dari mereka masih tetap mengumandangkan di menara-menara adzan la ilaha illallah tanpa memahami maksudnya, tanpa mengerti apa konsekwensinya, padahal dia mengulang-ulangnya. Juga tanpa menolak pensyariatan hakimiyah yang diaku oleh para hamba untuk diri-diri mereka. Hal ini sama dengan penuhanan (uluhiyah). Sama saja, apakah diaku oleh pribadi-pribadi atau team pensyariatan ataupun oleh masyarakat….” (Fi Dhilal 2/1057)
Bahkan lebih kejam lagi dia berkata: “…yaitu kemanusiaan seluruhnya, termasuk di dalamnya mereka yang mengulang-ulang di menara-menara adzan di timur atau di barat bumi ini kalimat laa ilaha illallah tanpa maksud dan tanpa kenyataan….
Mereka paling berat dosanya dan paling keras adzabnya karena mereka telah murtad kepada peribadatan para hamba setelah jelas baginya petunjuk dan karena mereka sebelumnya berada dalam Dien Allah.” (Fi Dhilal 2/1057)
Lihatlah betapa beraninya Sayid mengkafirkan kaum muslimin dan menganggap mereka orang-orang murtad yang paling keras adzabnya. Padahal mereka masih mengumandangkan adzan dan masih shalat. Lantas apa anggapan dia tentang peribadatan mereka di masjid-masjid?
MASJID MENURUT SAYID ADALAH TEMPAT PERIBADATAN JAHILIYAH
Bertolak dari pengkafiran dia terhadap masyarakat Islam, maka Sayid menganggap masjid-masjid mereka sebagai tempat-tempat peribadatan jahiliyah. Dia berkata ketika menafsirkan ucapan Allah dalam surat Yunus:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: ‘Ambillah olehmu berdua beberapa rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat sembahyang dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman. (Yunus: 87)
Dia berkata: “…inilah pengalaman yang Allah tunjukkan kepada kelompok mukmin agar menjadi teladan. Bukan khusus bagi Bani Israil. Tapi ini adalah pengalaman iman yang murni. Kadang-kadang orang-orang beriman mendapati diri-diri mereka terusir pada suatu hari dari masyarakat jahiliyah, karena fitnah telah merata, thaghut telah bertambah sombong dan manusia telah rusak, serta lingkungan telah membusuk. Demikian pula keadaan di jaman Fir’aun pada masa kini. Di sini Allah mengarahkan kita pada beberapa perkara:
1. Memisahkan diri dari masyarakat jahiliyah, busuknya, rusaknya dan kejelekannya sebisa mungkin. Dan mengumpulkan “kelompok mukmin” yang baik dan bersih dirinya untuk mensucikan, membersihkan dan melatih serta menyusun mereka hingga datang janji Allah untuk mereka.
2. Menghindari tempat-tempat peribadatan jahiliyah dan menjadikan rumah-rumah “kelompok muslim” sebagai masjid yang di sana mereka dapat merasakan keterpisahan mereka dari masyarakat jahiliyah. Kemudian di sana mereka melangsungkan peribadatan kepada Rabb mereka dengan cara yang benar. Dan melanjutkan dengan ibadah tersebut menuju semacam keteraturan (tandhim) dalam lingkungan suasana ibadah yang suci.” (Fi Dhilal 3/1816)
Apa yang terjadi kalau dakwah Sayid yang seperti ini dibiarkan?!
Jelas penafsiran yang batil ini akan mengakibatkan ditinggalkannya masjid-masjid dan munculnya Khawarij-Khawarij gaya baru yang memisahkan diri dari masyarakat Islam dan mengkafirkan mereka. Kemudian siapa yang dimaksud “kelompok mukmin”, “kelompok muslim” dalam masyarakat jahiliyah ini? Tentu pembaca dapat menebak dengan melihat akidah dan pemikiran Sayid yang telah dijelaskan. Ya tentunya yang dia maksud adalah dirinya dan orang-orang yang mengikuti pemikirannya.
JALAN KELUAR MENURUT SAYID
Islam telah lenyap, muslimin telah murtad, masyarakat muslim telah kembali menjadi jahiliyah. Masjid-masjid telah menjadi tempat-tempat peribadatan jahiliyah….
Lalu apa yang harus kita perbuat? Dan bagaimana jalan keluar bagi yang ingin menjadi “kelompok muslim”? Dengarlah apa kata Sayid Quthb berkenaan dengan pertanyaan ini: “Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi ‘kelompok muslim’ di seluruh dunia dari adzab yang Allah sebutkan:
أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ
…atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan sebagian kamu keganasan sebagian yang lain…. (Al-An’am: 65)
kecuali jika mereka memisahkan keyakinan, perasaan dan juga prinsip hidup mereka dari masyarakat jahiliyah dan memisahkan diri dari kaumnya. Hingga Allah mengijinkan bagi mereka untuk mendirikan negara Islam yang mereka berpegang padanya. Kalau tidak, maka hendaknya mereka merasakan dengan seluruh perasaannya bahwa mereka sendirilah umat Islam dan merasakan bahwa apa dan siapa yang di sekelilingnya yang tidak masuk kepada apa yang mereka masuki adalah jahiliyah dan masyarakat jahiliyah….” (Fi Dhilal 2/1125)
Inilah jalan keluar menurut Sayid, yaitu dengan menjadi Khawarij, mengkafirkan dan memisahkan diri dari umat Islam! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tidakkah Sayid melihat dakwah Ahlus Sunnah dan para ulamanya di jazirah Arab, Yaman, India atau yang lainnya? Tidakkah dia melihat perjuangan dakwah mereka dalam memurnikan ajaran Islam? Bahkan apakah Sayid tidak melihat di sampingnya seorang ulama yang berjuang membela tauhid dan sunnah, yaitu Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib rahimahullah?!
PEMIKIRAN TAKFIR SAYID DIAKUI TOKOH-TOKOH IKHWAN SENDIRI
Sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb tidak mungkin dipungkiri lagi. Bahkan telah diakui pula oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri. Berikut ini kita dengar beberapa ucapan mereka:
1. Berkata Yusuf Al-Qardlawi dalam bukunya Awlawiyat Al-Harakah Al-Islamiyah:
“Dalam fase ini muncul buku-buku As-Syahid Sayid Quthb yang merupakan fase terakhir dari pemikirannya yang mengkafirkan masyarakat dan menunda dakwah sampai kepada keteraturan Islam dengan pembaharuan fikih dan perkembangannya. Menghidupkan ijtihad serta mengajak untuk memisahkan diri secara perasaan dari masyarakat, memutus hubungan dengan orang lain, mengumumkan jihad fisik melawan seluruh manusia….” (Awlawiyat hal. 110)
2. Berkata Farid Abdul Khaliq, salah seorang tokoh besar Ikhwan dalam kitabnya Ikhwanul Muslimun fi Mizanil Haq hal. 115: “Kita mengetahui dari apa yang telah lewat bahwa munculnya pemikiran takfir (pengkafiran) di kalangan beberapa ikhwan bermula dari penjara Qanathir di akhir tahun lima puluhan dan awal enam puluhan. Mereka terpengaruh oleh Sayid Quthb dan pemikiran-pemikirannya. Mereka mengambil pemahaman darinya bahwa masyarakat ini dalam keadaan jahiliyah dan bahwasanya dia telah mengkafirkan pemerintah yang merasa asing dengan hakimiyah Allah karena tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Juga mengkafirkan rakyatnya karena mereka ridla dengan hal itu.”
3. Berkata Ali Gharisah –juga salah seorang tokoh besar Ikhwan— sebagai berikut:
“Dalam kejadian ini, terpecah satu kelompok dari kelompok Islam yang besar ketika keberadaan mereka di penjara-penjara… bersamaan dengan itu kelompok tersebut bertameng dengan pengkafiran kelompok Islam yang besar. Mereka masih tetap dalam pendapatnya tentang pengkafiran pemerintah, penolong-penolongnya serta masyarakat seluruhnya. Kemudian kelompok tersebut berpecah kembali menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing mengkafirkan yang lain….” (Lihat kembali kitab beliau Al-Ittijahat Al-Fikriyah Al-Mu’ashirah hal. 279)
Ucapan-ucapan mereka ini menunjukkan bahwa pemikiran takfir Sayid Quthb telah dikenal oleh kawan dan lawannya. Hanya saja ketika bantahan itu dari “kawan” satu harakah, selalu diiringi basa-basi atau penyamaran agar tidak terlihat seakan-akan permasalahan ini adalah permasalahan besar. Seperti Qardlawi setelah ucapan di atas dia berkata: “…Dan buku-buku beliau tersebut memiliki keutamaan-keutamaan dan pengaruh-pengaruh positif yang besar di samping pengaruh-pengaruh negatif.” (hal. 110)
Atau seperti ucapan Ali Gharishah yang tidak menyebutkan siapa atau buku apa atau jamaah apa, dia hanya mengatakan “kelompok kecil” dan “kelompok besar”.
Saudara-saudaraku kaum muslimin, bisa jadi sikap basa-basi dan penyamaran yang menyebabkan terasa kecilnya bahaya-bahaya besar ini adalah karena mereka satu hizb. Mereka menjaga persatuan dan kesatuan Hizibnya dengan prinsip mereka yang terkenal: KITA SALING TOLONG MENOLONG ATAS APA YANG KITA SEPAKATI DAN SALING TOLERANSI ATAS APA YANG KITA BERBEDA.
Kalau begitu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah, salafiyah tetapi memiliki prinsip yang sama dengan mereka?
SIKAP SAYID TERHADAP UTSMAN BIN AFFAN radliallahu ‘anhu
Ikhwani fiddien a’azzakumullah, sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb bukan permasalahan sepele. Sikap mengkafirkan seluruh manusia hanya karena dosa-dosa sungguh sangat berbahaya. Tidakkah kita mendengar bagaimana Ali bin Abi Thalib menyikapi Khawarij, kemudian memerangi mereka? Tidakkah kita mendengar ucapan beberapa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka sejelek-jelek makhluk?
Pemikiran Sayid yang berbahaya ini juga mengakibatkan celaan dan tuduhan kepada para shahabat Nabi seperti para pendahulunya dari kalangan Khawarij dan Syiah, khususnya terhadap Utsman bin Affan dan Muawiyah radliallahu ‘anhuma.
Sayid Quthb tidak mengakui keberadaan khilafah Utsman radliallahu ‘anhu, padahal masa kekhilafahannya paling panjang. Dia berkata: “Kami condong kepada anggapan bahwa khilafah Ali radliallahu ‘anhu adalah kelanjutan dari khilafah dua syaikh sebelumnya (Abu Bakar dan Umar, pent). Adapun masa Utsman merupakan celah antara keduanya.” (Al-Adalah, hal. 206). Mengapa?
Hal ini setelah Sayid mengatakan pada halaman sebelumnya tentang Utsman sebagai berikut: “Sesungguhnya di antara kejelekan yang muncul adalah bahwa Utsman mencapai khilafah dalam keadaan tua, telah lemah semangat Islamnya dan lemah keinginannya untuk tetap tegar menghadapi tipu daya Marwan dan tipu daya Bani Umayah di dalamnya.” (Al-Adalah dalam terjemahan terbitan pustaka hal. 270)
Bahkan dengan terang-terangan dia meragukan ruh Islam yang ada pada Utsman, yaitu setelah Sayid menyebutkan cerita-cerita tentang Utsman yang membagi-bagikan harta pada keluarga dan kerabatnya (korupsi). Juga setelah menceritakan bahwa Utsman mengangkat gubernur-gubernurnya dari keluarganya sendiri, seperti Muawiyah dan Al-Hakam radliallahu ‘anhum…dst. Kemudian dia berkata: “…Dan bahwasanya para shahabat mengetahui penyelewengan dari ruh Islam ini. Maka mereka saling memanggil untuk menyelamatkan Islam dan menyelamatkan khalifah dari bencana ini. Khalifah –dengan ketuaan dan kepikunannya— tidak dapat memegang urusannya dari Marwan. Sesungguhnya sangat susah meragukan ruh Islam di dalam hati Utsman. Tetapi juga sangat sulit memaafkan kesalahan-kesalahannya yang merupakan kesalahan fatal mengenai wilayah dan khilafahnya. Sedangkan dia seorang tua renta yang dikelilingi oleh jajaran orang-orang jelek dari Bani Umayah….” (Al-Adalah hal. 187, cet kelima dan secara makna pada cet. ke 12 hal 159, dan dalam terjemahan PUSTAKA hal. 272)
Sebaliknya Sayid Quthb justru memuji dan membela para pemberontak yang membunuh Utsman. Dia berkata: “…akhirnya, terjadilah pemberontakan atas Utsman. Tercampur padanya kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan kejelekan. Tetapi bagi yang memandang perkara ini dengan “kaca mata Islam” dan merasakan urusan ini dengan ruh Islam, pasti dia akan menetapkan bahwa pemberontakan tersebut secara keumuman lebih dekat kepada ruh Islam dan arahannya daripada sikap Utsman atau lebih tepatnya sikap Marwan dan orang-orang yang di belakangnya dari Bani Umayyah.” (Al-Adalah hal. 189 cet. ke 5 dan hal. 161, 162 cet. ke 12 dengan beberapa perubahan tetapi intinya sama, hanya pada cetakan terakhir ini dia menyebut bahwa hal itu karena pengaruh tipu daya Ibnu Saba’ dan dalam terjemahan, hal. 275)[2]
Seharusnya dia mengucapkan: “Barangsiapa memandang dengan kacamata saya dan merasakan dengan ruh saya….” Karena kesimpulan dan pandangan seperti itu sama sekali bukan dari Islam. Dan saya (penulis) sudah menulis pada edisi ke-4 tentang pembelaan terhadap Utsman dan sekaligus pembelaan para shahabat terhadap Utsman. Silahkan simak kembali tulisan tersebut. Adapun pandangan Sayid adalah pandangan Khawarij, Syiah dan Ahli Bid’ah!
Semoga Allah menyelamatkan kaum muslimin dari penyelewengannya dan membuka mata kaum hizbiyah agar melihat bahayanya serta menghilangkan sikap fanatik mereka kepadanya. Amin.
Sumber: SALAFY edisi XVI/Dzulhijjah/1417/1997
——————————————————————————–
[1] Lantas bagaimana dia menghukumi dirinya yang mengikuti kebiasaan orang-orang kafir barat dengan memotong habis jenggotnya dan memakai jas dan berdasi?
[2] Terjemahan buku ini diterbitkan oleh pustaka (Salman) Bandung dengan judul Keadilan Sosial dalam Islam cet. I th. 1984M/1404 H. Semua apa yang kami nukil di sini ada dalam terjemahan ini. Walaupun kadang-kadang sedikit berbeda terjemahan dengan apa yang saya tulis. Tetapi pada intinya sama. Wallahu A’lam.