Halaman

Sabtu, 31 Maret 2012

Eksploitasi Wanita dalam Lapangan Pekerjaan

الظلم هو وضع الشيء في غير موضعه – وأعظمه الشرك بالله لأنه وضع للعبادة في غير موضعها، ومنه ظلم العبد لنفسه بالمعاصي لأنه وضعها في غير موضعها الذي هو طاعة الله، ومنه ظلم العبد للناس في دمائهم وأعراضهم وأموالهم بالاعتداء عليهم في ذلك، ومن ذلك ظلم المرأة في وضعها في غير موضعها اللائق بها، لأن موضعها في المجتمع أن تكون زوجة وأماً وسيدة ومربية أولاد هذا عملها المنتج والمريح والنافع لأسرتها وللمجتمع والحافظ لكرامتها ومكانتها ومتى ما سلب منها هذا العمل ووليت غيره من أعمال الرجال فقد ظلمت لأنها وضعت في غير موضعها. وقد أوجب الله على زوجها الإنفاق عليها لتتفرغ لمهمتها العظيمة فالرجل هو الكاسب خارج البيت له ولها ولأولادهما.
وبهذا تعمر البيوت وتقوم الأسر ويحصل التعاون بين أفرادها بقيام كل منهم بما يختص به، أما إذا جردت المرأة من عملها داخل بيتها ومن تربية أولادها ومن سكن الزوج إليها وسكنها إليه فهذا خلاف الفطرة التي فطر الله الناس عليها ولن تقوم بعمل الرجل فيخسر المجتمع عمل الرجل الذي أسند للمرأة وعمل المرأة الذي سلب منها في آن واحد وولاة أمورنا حفظهم الله يهتمون برعاية مصالح بلدهم وعلماؤنا وعقلاؤنا لن يسمحوا بذلك فليبق كل من الرجل والمرأة على عمله اللائق به والواجب عليه لتقوم بذلك مصالح المجتمع، ولن نلتفت إلى نعيق الذين يريدون تغريب المجتمع دون تفكير ودون نظر إلى مصالحه ودون نظر في العواقب، والعاطلون عن العمل من الرجال كثير

وأرجو الله أن يوفق الجميع لما فيه صلاح الإسلام والمسلمين والعباد والبلاد
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه

كتبه
صالح بن فوزان الفوزان
عضو هيئة كبار العلماء
01/02/1433هـ


Oleh: Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah

Kezhaliman adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Bentuk yang paling besar dari kezhaliman adalah perbuatan syirik kepada Allah, karena hal itu meletakkan ibadah tidak pada tempatnya. Di antaranya juga adalah seseorang menzhalimi dirinya dengan kemaksiatan, karena dia menempatkan dirinya tidak pada tempatnya yaitu pada ketaatan kepada Allah. Di antaranya juga adalah kezhaliman seorang hamba kepada manusia dalam perkara darah, kehormatan, dan harta mereka dengan melanggar hak mereka dalam perkara itu.

Di antaranya juga kezhaliman terhadap wanita (perempuan), dengan menempatkannya tidak pada tempat yang layak dengannya. Karena posisinya dalam masyarakat adalah sebagai seorang istri, ibu, serta pendidik anak-anak. Inilah tugasnya yang menghasilkan, menyenangkan, bermanfaat untuk keluarganya dan masyarakat, serta menjaga keluarganya dan kedudukannya. Kapanpun dirampas darinya perkerjaan ini dan dia diberi pekerjaan lain dari pekerjaan para lelaki, maka wanita itu telah dizhalimi karena dia diposisikan tidak pada tempatnya.

Allah telah mewajibkan atas suaminya untuk memberi nafkah kepada si istri agar sang istri konsentrasi pada tugasnya yang agung, maka suamilah yang berusaha mencari nafkah di luar rumah untuk dirinya, istrinya, dan anak-anaknya. Sehingga dengan demikian rumah-rumah akan menjadi hidup dan juga keluarga akan tegak. Dan akan terjadi saling kerjasama (ta’awun) di antara aggota-anggota keluarga agar masing-masing menunaikan yang menjadi kekhususannya (spesialisasinya). Adapun jika wanita dilepaskan dari perkerjaannya di dalam rumah dan dari tarbiyahnya (pendidikannya) kepada anak-anak, serta dari rasa sakinah (ketenangan) suami istri kepada yang lain, maka ini menyelisihi fitrah yang telah Allah tetapkan manusia padanya.

Wanita itu tidak akan bisa menegakkan pekerjaan lelaki, sehingga masyarakat akan kehilangan pekerjaan lelaki yang disandarkan kepada wanita dan kehilangan pekerjaan wanita yang dicabut darinya dalam satu waktu. Dan ulil amri kita –semoga Allah menjaga mereka- perhatian dengan pemeliharaan kepentingan/kemaslahatan negeri mereka. Para ulama dan orang yang berakal dari kita tidak akan membiarkan hal itu. Maka masing-masing dari lelaki dan wanita hendaknya tetap pada pekerjaan yang sesuai dan wajib atas dia agar tegak dengan hal itu kemaslahatan masyarakat. Kita tidak akan mempedulikan teriakan orang yang menginginkan untuk mem-barat-kan masyarakat tanpa memikirkan dan memperhatikan kemaslahatannya dan tanpa memperhatikan akibatnya, padahal pengangguran dari para lelaki itu banyak.
Aku memohon kepada Allah untuk memberi taufik semuanya kepada perkara yang di dalamnya ada kemaslahatan untuk Islam, kaum muslimin, warga dan negeri. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabatnya.

Ditulis oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzohullah
Anggota Haiah Kibar Ulama
1 Shafar 1433 H
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=125680

Bahaya dan Hukum Penyebaran Fitnah (Isu) atas Ummat Islam


بسم الله الرحمن الرحيم

السؤال :
أحسن الله إليكم سؤال أيضا من مصر يقول هناك صنف من الناس يروجون الإشاعات الكاذبة التي توقع الفتنة بين المسلمين فنريد منكم حفظكم الله كلمة حول خطرترويج الشائعات الكاذبة ، وحكم من يفعل ذلك ؟


جواب الشيخ زيد المدخلي حفظه الله :
سميت شائعات لأنها ليس لها أصل صحيح وليس لها مصدر موثوق فهي شائعات يتلقاها بعض الناس عن بعض بدون تمحيص وبدون عناية كالأخبارالتي ليس لها أصل وليس لها مصادر فيجب على المسلمين أن يتجنبوا الشائعات التي تجر إلى شر ، وإلى فتن وإلى تدابر و تهاجر بين الناس وإلى إشاعة ما لا يجوزأن يشاع في المجتمعات ويترتب عليه الضرر والواجب أن الإنسان إذا أراد أن يتحدث في أمر الدين أو أمرالدنيا فليعلم أن حديثه الذي ينطق به يكتب في صحيفته والله سائله يوم القيامة عنه كما قال الله عز وجل (( ما يلفظ من قول إلا لديه رقيب عتيد )) فإما أن يتحدث الإنسان بصدق في الأخبار المتعلقة بشأن الدين أو الدنيا فإن لم يتبين له أنه صدق ترك الحديث خوفا من العقوبة الدنيوية والأخروية ، وهكذا له أن يتحدث في المباحات التي تتعلق بأمر المعيشة في حدود ما يحتاج إليه ولا حرج لكن في الأخبار وفي مسائل العلم يجب عليه أن ينظر فيما يريد أن يقول فإن كان خيرا أمضاه وتحدث به ، فإن كان في نشره نفع نشره وإن كان في إخفاءه النفع أخفاه ينساه ، لا يلقي لها بالا ولا يحسب لها حسابا وعموما الشائعات التي ليس لها مصادر صحيحة يجب أن تلغى وأن يحذر منها ولا يروج لها لما فيها من الضرر . والله أعلم



Dijawab oleh: Syaikh Zaid al-Madkhali hafizhahullah
Pertanyaan: Ada di sana sekelompok manusia yang menyebarkan desas-desus dusta yang menjadikan fitnah di antara kaum muslimin. Maka kami meminta satu kalimat dari anda tentang bahayanya menyebarkan desas-desus dusta dan hukum orang yang melakukannya!

Jawaban Syaikh Zaid al-Madkhali hafizahullah:
Disebut sebagai desas-desus (isu) karena tidak ada asalnya yang benar, tidak ada sumbernya yang bisa dipercaya, itulah desas-desus yang diterima sebagian orang dari yang lain tanpa menyaringnya, tanpa memperhatikannya, seperti berita-berita yang tidak ada asalnya.
Maka WAJIB kaum muslimin untuk menjauhi desas-desus yang bisa menyeret kepada kejelekan, kepada fitnah, kepada sikap saling membelakangi, kepada sikap saling meng-hajr di antara manusia, dan juga kepada penyebaran perkara yang tidak boleh tersebar di kalangan umum, sehingga berakibat bahaya.
Wajib seseorang jika ingin berbicara tentang satu perkara agama atau perkara dunia untuk mengetahui pembicaraan yang dia ucapkan akan dicatat dalam lembaran amalnya, dan Allah akan menanyainya pada hari kiamat tentangnya. Sebagaimana firman Allah:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)
Apakah seseorang berbicara dengan kejujuran dalam berita-berita yang berkaitan dengan perkara agama atau dunia, jika tidak jelas bagi dirinya bahwa itu benar, dia meninggalkan berbicara tentangnya karena takut hukuman dunia dan akhirat. Demikian juga dia boleh untuk berbicara perkara mubah yang berkaitan dengan perkara mata pencaharian dalam batasan yang dia butuhkan. Tidak apa-apa.
Akan tetapi tentang berita-berita dan tentang permasalahan ilmu, dia wajib untuk memperhatikan perkara yang hendak dia ucapkan, jika baik maka dia lewatkan dan dia bicarakan, jika dalam penyebarannya ada manfaat, maka dia sebarkan. Jika dalam merahasiakannya ada manfaat, maka dia rahasiakan dan lupakan. Tidak dia anggap. Umumnya desas-desus yang tidak ada sumbernya yang benar, wajib untuk diabaikan, untuk berhati-hati darinya, dan tidak menyebarkannya karena ia mengandung bahaya. Wallahu a’lam.

Mengingkari Orang Yang Berbuat Dosa Di Depan Banyak Orang secara Terang-terangan atau Rahasia?


Oleh: Syaikh Utaibi hafizhahullah

Penanya: Jika Aku melihat seseorang melakukan dosa kecil di depan banyak orang. Apakah benar bila aku menasehatinya di depan orang banyak, atau aku menahan diri sampai dia sendirian aku nasehati dia khususnya jika aku tidak mampu, seperti di terminal atau tempat-tempat umum yang lainnya?

Jawab:
Jika dosa kecil ini nampak terang-terangan, dan dilakukan di depan banyak orang, jika nampak terang-terangan di depan banyak orang, maka seseorang boleh untuk mengingkari secara terang-terangan, tetapi dengan cara yang lemah lembut dengan ucapan yang baik, misal: “Wahai saudaraku, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Takutlah kepada Allah, ini adalah perkara yang haram.” Kalau engkau berkata dengan terang-terangan dia tidak akan melihat.
Namun jika pelakunya adalah orang yang punya kedudukan, dan engkau kawatir nasehatmu ditolak, maka nasehati ketika kamu menyendiri dengan dia. Mencukupi orang itu pandanganmu kepada orang itu. …
Dan jika perkara haram ini diketahui (orang banyak). Mereka mengetahui bahwa hal itu haram. Maka engkau tidak wajib untuk mengingkarinya secara terang-terangan. Cukup engkau mengingkarinya secara sembunyi-sembunyi.
Namun jika perkara ini sebagian orang tidak mengetahui (itu haram), maka mengingkari dengan terang-terangan pada semisal perkara ini adalah sesuatu yang baik agar orang-orang mengetahui. Wallahu a’lam.
Intinya hendaknya seseorang bijak dalam perbuatan dia dalam amar ma’ruf dan nahi munkar.

Hukum Menulis Pelajaran, Ahkam, Tajwid, atau Asbabun Nuzul Ayat Pada Mushaf Al-Qur'an

حكم الكتابة على المصحف للتعلم وكتابة الأحكام التجويدية والتنزيلات عليه
مقتبسة من مشاركة الأخ أبو محمد عبد الدائم الأثري -جزاه الله خيراً- بموقع معرفة السنن والآثار


[السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

قد انتشرت عادة بين طلبة مراكز تحفيظ القران
وهي : كتابة الأخطاء التي أخطأ فيها في الحفظ على هامش المصحف او بوضع خط تحت الأية
وإيضا كتابة أحكام تجويدية على هامش المصحف أو تفسير كلمات للقران أو إشارة بالأرقام
إلى عدد تنزيل الآية.
وقد رأيت من النصيحة لكتاب الله أن أجمع ما تيسر لي من أقوال العلماء في ذلك
وكان جوابهم رحم الله من مات منهم وحفظ الله من كان حيا

سُئلت اللجنة الدائمة

س: نحن جماعة من طلبة العلم نود دراسة أحكام الترتيل برواية ورش من طريق الأزرق، والمصاحف التي عندنا هي كذلك، لكن دراستنا تحتاج إلى تقييم الأحكام على هامش المصحف لكي نستحضرها حال القراءة، ونتلو القرآن كما أنزل امتثالاً لقوله تعالى: وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا . ومثال ذلك: قوله تعالى: مَا لَكَ لاَ تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ ، فنضع سطرًا تحت تأمنا ونكبت مقابلها في الهامش: يوجد فيها الإشمام والرَّوم.
1 - فهل تجوز الكتابة على هامش المصحف ؟
علمًا بأننا قد قرأنا في خاتمة مصحف الملك فهد ما نقله الشيخ الحذيفي من إجماع السلف على عدم كتابة أي شيء في المصحف غير القرآن.
وقد لاحظنا في هذا المصحف عدم كتابة عدد آيات السور للسبب السابق، فإن كان ذلك غير جائز، فما هي الطريقة التي نستطيع بها تعلم أحكام الترتيل؟
2 - هل يجوز كتابة سبب نزول بعض الآيات وتفسيرها بإيجاز على هامش المصاحف أم لا؟
3 - هل يجوز وضع بعض الأرقام عند بعض الآيات ( الكلمات ) من القرآن بغرض عدها وتقييد غريبها في الرسم واللفظ؟
مثال ما نفعله من وضع رقم ( 3 ) فوق كلمة ( أيه ) من الآية سَنَفْرُغُ لَكُمْ أَيُّهَا الثَّقَلاَنِ دلالة على وجودها في ثلاثة مواضع من القرآن.


الجواب : الأصل الذي جرى عليه عمل الأمة هو تجريد كتاب الله تعالى من أي إضافة إليه، ويبقى تداول المصحف برسمه المتداول بين المسلمين دون إضافة أو نقص.
لهذا ننصحك بترك ما ذُكر من التحشية على المصحف، وبوسعك أن تكتب ما تحتاج إليه في أوراق خاصة تشير إلى اسم السورة ورقم الآية، فتجمع بين المحافظة على كتاب الله تعالى، وبين تقييد ما يفيدك ويعينك على فهمه.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو عضو عضو نائب الرئيس الرئيس
بكر أبو زيد صالح الفوزان عبد الله بن غديان عبد العزيز آل الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز
الفتوى رقم ( 18618 )

...............................

وقد سئل فضيلة الشيخ العلامة سماحة الوالد عبدالعزيز بن باز رحمه الله
وكان السؤال :هل تجوز كتابة بعض الأحكام التجويدية فوق الآيات في المصحف؟


لا يجوز أن يكتب شيء، المصحف لا يكتب فيه شيء، مجرد إلا من كلام الله- جل وعلا-، لا يكتب حواشي, ولا علامات تجويدية ولا غير ذلك؛ لأن المصحف يجب أن يجرده، ويكون خالصاً لكلام الله- عز وجل-.
مصدر الفتوى من هنا

..............................

وسئل أيضا فقيه العصر الشيخ العلامة محمد بن صالح العثيمين رحمه الله.
فكان السؤال :
فضيلة الشيخ! ظاهرة تظهر عند طلاب المدارس وعند طلاب جماعات تحفيظ القرآن؛ وهي الاستهانة في القرآن الكريم والكتابة عليه وكتابة أشياء لا تليق في هذا الكتاب العزيز، ما هي النصيحة للمسئولين عن هذه المدارس؟

الجواب:
الواجب على المسلمين أن يُعظِّمُوا كلام الله -عزَّ وجلَّ- وأن يحترموه؛ ولهذا وجب على من أراد أن يمس القرآن أن يتوضأ تكريمًا لهذا القرآن وتعظيمًا له، ولا يجوز أن يكتب على القرآن عبارات لا تليق؛ بل حتى العبارات التي تليق مثل أن تكون تفسيرًا لكلمة أو ما أشبهها الأفضل ألا تكتب على القرآن حتى? لا يختلط في القرآن غيره.
وإذا وقع هذا على الطلبة فواجب المسئولين على الطلبة من المراقبين والأساتذة أن يعاقبوا من فعل هذا بما يرونه رادعًا لهم ولأمثالهم.
المصدر: لقاء الباب المفتوح (اللقاء: 88/ الوجه الثاني السؤال الأول)

.............................

وسئل في هذا الشيخ العلامة عبدالعزيز الراجحي رحمه الله
وكان السؤال :
بعض الطلاب في المدارس يحتاجون إلى الكتابة على هامش المصحف يومياً، فهل يجوز ذلك، علماً بأن المصحف لا يحتفظ به الطالب بعد نهاية السنة؟


الجواب: لا ينبغي الكتابة على المصحف ولو في جوانبه، وإنما يُكتب في ورقة، والأوراق متوفرة وأما المصحف فينبغي الاحتفاظ به، فإذا استغنى عنه فليعطه من ينتفع به ويقرأ فيه، أو يوضع في المسجد، وإذا تمزق فيحرق أو يدفن في أرض طاهرة.

المصدر :( فتاوى منوعة الشريط [18] الدقيقة 14 :23 )

...............................

وسئل في هذا أيضا الشيخ العلامة زيد بن هادي المدخلي حفظه الله
والسؤال :
هل يجوز كتابة بعض الأحكام التي يلقيها الشيخ من التجويد على هامش المصحف؟

فأجاب حفظه الله :
يختار له كراسة , هذا الطالب يختار له كراسة, ولا يعلق على جوانب المصحف, فيشوش على
من قرأ في المصحف, عليه أن يتخذ كراسة مرافقة للمصحف ويقيد من أحكام التجويد
ما شاء أن يقيد فيها. هذا رأيي في الموضوع.
صوتيا هنا

..........................

وقد قمت بسؤال الشيخ الماهر الظافر القحطاني حفظه الله في ما مضى
وكان نص سؤالي له:
ماحكم الخط علي المصحف بقلم رصاص للتعلم فضيلة الشيخ ... علما بأن الخطوط
تكون للمتعلم لمعرفة أخطائه في القران وتداركها .... وبعد الحفظ يتم مسح الخطوط ؟


فأجاب حفظه الله:
ينبغي أن ينزه المصحف عن مثل هذا تكريما له وتزيها من العبث والتجرأ عليه
ولأن مثل هذه الخطوط قد تبقى فيتلبس أمرها على من يقرأ منه
قال تعالى ومن يعظم شعائر الله فإنها من تقوى القلوب
ولينقل من المصحف في ورقة وليتعلم فيها كما شاء وليدع المصحف مصانا عن مثل ذلك التخطيط
قال تعالى ومن يعظم شعائر الله فإنها من تقوى القلوب

ومن هنا صفحة الفتوى السؤال الثالث
بارك الله في مشائخنا ونسأل الله ان يدخلهم جنات النعيم
ومن كان لديه كلام لأهل العلم في هذه المسألة فليفيدنا به وجزاكم الله خيرا


Telah merata kebiasan di antara para penuntut ilmu (santri) madrasah tahfizh Al-Qur’an, menulis kesalahan dalam menghafal di pinggiran mushaf atau dengan memberi garis di bawah ayat, demikian juga menulis hukum tajwid pada pinggiran mushaf atau menulis tafsir kata-kata dalam al-qur’an atau memberi catatan jumlah ayat.
Aku melihat termasuk dari 'nasehat untuk kitabullah' untuk mengumpulkan bimbingan para ulama yang dimudahkan untukku tentang hal itu. Berikut ini merupakan jawaban mereka, semoga Allah merahmati yang sudah meninggal dari mereka dan menjaga yang masih hidup dari mereka.
-  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -
 
 
 
Lajnah ad-Daimah ditanya: kami sekumpulan penuntut ilmu senang dengan pelajaran ahkam tartil dengan riwayat Warsy dari jalan al-Azraq, dan mushaf-mushaf yang ada di sisi kami juga demikian. Akan tetapi pelajaran kami butuh pada mendaftar hukum-hukum tersebut pada pinggiran mushaf agar kami bisa mengingatnya pada saat qiraah (membaca mushaf). Kami membaca al-Qur’an sebagaimana diturunkan sebagai pelaksanaan firman Allah:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا
“Bacalah al-Qur’an dengan tartil.”
Yang semisal dengan itu firman Allah ta’ala:
مَا لَكَ لاَ تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ
Maka kami meletakkan garis di bawah (تَأْمَنَّا) dan kami menulis berhadapan dengan itu di pinggiran mushaf: ditemukan padanya al-Isymam dan ar-Raum.

  1. Apakah boleh memberikan tulisan pada pinggiran kitab? Perlu diketahui bahwa kami telah membaca pada penutup mushaf cetakan al-Malik Fahd apa yang dinukil oleh Syaikh al-Hudzaifi tentang ijma’ salaf untuk tidak menulis apapun dalam mushaf selain al-Qur’an. Dan kami telah memberikan peringatan pada mushaf ini untuk tidak menulis jumlah ayat-ayat karena alasan hal itu. Jika hal itu tidak boleh, maka apa cara yang kami mampu untuk mengajarkan hukum-hukum tartil?
  2. Apakah boleh menulis asbab nuzul sebagian dan menafsirkannya secara ringkas pada pinggiran mushaf atau tidak boleh?
  3. Apakah boleh meletakkan nomor-nomor pada ayat-ayat (kata-kata) dari al-Qur’an dengan tujuan untuk menghitung dan membatasi yang gharib baik pada rasm atau lafadz? Seperti kami memberi angka 3 di atas kata (أيه) dari ayat (سَنَفْرُغُ لَكُمْ أَيُّهَا الثَّقَلاَنِ) untuk menunjukkan hal itu ada di tiga tempat di al-Qur’an.
Jawab:
Asalnya yang diamalkan oleh ummat Islam adalah tidak menambahi apapun pada kitabullah, dan mushaf al-Qur’an diwariskan diantara kaum muslimin tanpa tambahan atau pengurangan.
Oleh karena itu kami menasehatimu untuk meninggalkan perbuatan yang telah disebutkan yaitu memberi catatan pinggiran pada mushaf, dan engkau bisa menulis apa yang kau butuhkan pada lembaran khusus, dimana engkau mengisyaratkan nama surat dan nomor ayat, sehingga engkau menggumpulkan (dua hal, yaitu) menjaga kitabullah dan mencatat yang memberimu faedah serta membantumu untuk memahami kitabullah.
Dan taufik hanya dengan pertolongan Allah. Semoga shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para shahabatnya.
Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-Ilmiyyah Wal Ifta
Anggota: Bakr Abu Zaid
Anggota: Shalih al-Fauzan
Anggota: Abdullah bin Ghudyan
Wakil: Abdul Aziz Alu asy-Syaikh
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Fatwa No. 18618
 -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -
 
 
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya: Apakah boleh menulis sebagian hukum tajwid di mushaf al-Qur’an?
Jawab:
Tidak boleh ditulis apapun pada mushaf. Mushaf tidak ditulis padanya sesuatupun. Mushaf itu bersih kecuali dari kalamullah. Tidak ditulis catatan pinggiran, tidak juga tanda-tanda tajwid dan lainnya, karena mushaf itu wajib untuk dimurnikan dan khusus untuk kalamullah. 
Sumber Fatwa :  Klik Disini

-  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  - 
 
 
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Wahai Syaikh Yang Mulia, satu fenomena yang muncul di kalangan para penuntut ilmu madrasah dan jamaah tahfizhul qur’an, yaitu melakukan sikap peremehan al-Qur’an al-Karim dan memberikan tulisan padanya dan memberikan tulisan yang tidak pantas pada al-Qur’an ini. Apa nasehat anda kepada para penanggung jawab madrasah-madrasah ini?
Jawab:
Wajib atas kaum muslimin untuk mengagungkan kalamullah dan menghormatinya. Oleh karena itu wajib bagi orang yang ingin menyentuh al-Qur’an untuk berwudhu sebagai pemuliaan dan pengagungan untuknya. Tidak boleh untuk memberikan tulisan dengan catatan-catatan yang tidak pantas pada al-Qur’an. Bahkan walaupun catatan-catatan itu pantas, seperti tafsir satu kata atau yang semisalnya. Yang lebih utama untuk tidak memberikan tulisan pada al-Qur’an sehingga al-Qur’an tidak tercampur dengan yang lainnya.
Jika ini terjadi pada para penuntut ilmu (santri), kewajiban para penanggung jawab seperti ustadz-ustadz atau pengawas untuk memberikan hukuman orang yang melakukan demikian dengan perkara yang mereka pandang bisa menyadarkan mereka dan orang semisal mereka. (Liqa Bab al-Maftuh, pertemuan 88 side B soal 1)
 
-  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -
 
 
Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi rahimahullah pernah ditanya: Sebagian penuntut ilmu (santri) madrasah butuh untuk menulis pada pinggiran mushaf secara harian. Apakah itu boleh, padahal telah diketahui bahwa mushaf itu tidak diperhatikan penuntut ilmu (santri) setelah selesai tahun?
Jawab:
Tidak sepantasnya untuk memberikan tulisan pada mushaf meskipun di sisi-sisinya. Tetapi hendaknya diberikan catatan pada satu kertas. Dan kertas itu tersedia banyak sedangkan mushaf seharusnya dijaga. Jika mushaf tidak dibutuhkan seseorang hendaknya diberikan kepada orang yang bisa memanfaatkannya dan membacanya atau diletakkan di masjid. Jika robek, hendaknya dibakar atau dipendam di tanah yang suci. (Fatawa Munawwa’ah Kaset 18 detik 14:23)
-  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -



Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah pernah ditanya: Apakah boleh memberikan tulisan sebagian hukum-hukum tajwid yang diberikan seorang guru pada pinggiran mushaf?
Jawab:
Dia hendaknya memilih buku tulis, santri ini hendaknya memilih satu buku tulis dan tidak memberikan catatan pada sisi mushaf yang bisa megacaukan orang yang membaca mushaf. Hendaknya dia mengambil satu buku tulis yang diiringkan dengan mushaf dan mencatat hukum-hukum tajwid yang dia kehendaki pada buku tulis itu. Ini pendapatku dalam masalah ini.
Dengarkan Fatwanya: Di Sini
-  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -



Aku (Abu Muhammad Abdud Daim Al-Atsari) pernah bertanya kepada Syaikh al-Mahir Azh-Zhafir Al-Qahtani hafizhahullah: Apa hukum memberikan tulisan pada mushaf dengan pensil untuk belajar, wahai syaikh, dan perlu diketahui tulisan itu oleh para pelajar (santri) untuk mengetahui kesalahan-kesalahannya pada al-Qur’an dan koreksinya. Setelah hafalannya sempurna dia menghapus tulisan itu?
Jawab:
Sepantasnya untuk membersihkan mushaf dari semisal ini untuk memuliakannya dan mensucikannya dari sikap sia-sia dan lancang terhadapnya.
Karena kadang tulisan ini kadang masih ada, sehingga menyamarkan orang yang membacanya. Allah berfirman:
ومن يعظم شعائر الله فإنها من تقوى القلوب
“Barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka itu termasuk dari ketakwaan hati.”
Hendaknya dia memindahkan dari mushaf ke satu lembar dan hendaknya dia mencatat pelajaran padanya dan membiarkan mushaf terjaga dari catatan-catatan semisal ini. Allah berfirman: (yang artinya) “Barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka itu termasuk dari ketakwaan hati.”  
 
Sumber:  Klik Di Sini (Lihat Pertanyaan ke3)
 
-  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -  -   -
 
 
 
Semoga Allah memberkahi syaikh-syaikh kita. Dan kami memohon Allah untuk memasukkan mereka ke dalam surga.
Dan barangsiapa yang memiliki ucapan para ulama dalam masalah ini, hendaknya memberikan faedah kepada kami. Semoga Allah membalas kebaikan kalian.
Dicuplik dari kumpulan fatwa ulama oleh Abu Muhammad Abdud Daim Al-Atsari, 
 

Kamis, 29 Maret 2012

Download Kajian Manhaj: Istiqomah Di Atas Manhaj Salaful Ummah, Ustadz Usamah Mahri

Download Kajian Manhaj { Dauroh kota Bantul }
Istiqomah Di Atas Manhaj Salaful Ummah
Bersama: Ustadz Usamah Faishal Mahri hafizhahullah (dari Malang Jawa Timur)
Pengasuh Ma’had as-Sunnah Malang
Tempat: Masjid Agung Manunggal Kota Bantul
Ahad, 4 Maret 2012 / 10 Rabi’uts Tsani 1433 H
Jam: 09.00 – selesai (ba’da zhuhur)

Link Download:
Sesi 1 MP3 14,8 MB durasi 121 menit: disini.
Sesi 2 MP3 4,9 MB durasi 41 menit: disini.

Sumber:  
 http://audiosalafy.wordpress.com/2012/03/04/download-kajian-manhaj-istiqomah-di-atas-manhaj-salaful-ummah-ustadz-usamah-mahri/

Kamis, 22 Maret 2012

Bolehkah Menyingkat Shalawat dan Salam (SAW)

Hukum Menyingkat Penulisan Shalawat Dengan ‘SAW’

Penulisan shalawat kepada Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak selayaknya untuk disingkat dengan ‘SAW’ atau yang semisalnya. Termasuk dalam hukum ini juga adalah penulisan subhanahu wata’ala disingkat menjadi SWT, radhiyallahu ‘anhu menjadi RA, ‘alaihissalam menjadi AS, dan sebagainya.

Berikut penjelasan Al-Imam Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah disertai dengan perkataan ulama salaf terkait dengan permasalahan ini.
Sebagaimana shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu disyari’atkan ketika tasyahhud di dalam shalat, disyari’atkan pula di dalam khuthbah-khuthbah, do’a-do’a, istighfar, setelah adzan, ketika masuk masjid dan keluar darinya, ketika menyebut nama beliau, dan di waktu-waktu yang lain, maka shalawat ini pun juga ditekankan ketika menulis nama beliau, baik di dalam kitab, karya tulis, surat, makalah, atau yang semisalnya.

Dan yang disyari’atkan adalah shalawat tersebut ditulis secara sempurna sebagai realisasi dari perintah Allah ta’ala kepada kita, dan untuk mengingatkan para pembacanya ketika  melalui bacaan shalawat tersebut.
Tidak seyogyanya ketika menulis shalawat kepada Rasulullah dengan singkatan ‘SAW’ atau yang semisal dengan itu, yang ini banyak dilakukan oleh sebagian penulis dan pengarang, karena yang demikian itu terkandung penyelisiahan terhadap perintah Allah subhanahu wata’ala di dalam kitabnya yang mulia:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
“Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Bersamaan dengan itu tidaklah tercapai dengan sempurna maksud disyari’atkannya shalawat dan hilanglah keutamaan yang terdapat pada penulisan shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sempurna. Dan bahkan terkadang pembaca tidak perhatian dengannya atau tidak paham maksudnya (jika hanya ditulis ‘SAW’). Dan perlu diketahui bahwa menyingkat shalawat dengan singkatan yang seperti ini telah dibenci oleh sebagian ahlul ‘ilmi dan mereka telah memberikan peringatan agar menghindarinya.

Ibnush Shalah di dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits’ atau yang dikenal dengan ‘Muqaddamah Ibnish Shalah’ pada pembahasan yang ke-25 tentang ‘penulisan hadits dan bagaimana menjaga kitab dan mengikatnya’ berkata:
“Yang kesembilan: hendaknya menjaga penulisan shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyebut nama beliau dan jangan merasa bosan untuk mengulanginya (penulisan shalawat tersebut) jika terulang (penyebutan nama beliau) karena sesungguhnya hal itu merupakan faidah terbesar yang tergesa-gesa padanya para penuntut hadits dan para penulisnya (sehingga sering terlewatkan,). Dan barangsiapa yang melalaikannya, maka sungguh dia telah terhalangi dari keberuntungan yang besar. Dan kami melihat orang-orang yang senantiasa menjaganya mengalami mimpi yang baik, apa yang mereka tulis dari shalawat itu merupakan do’a yang dia panjatkan dan bukan perkataan yang diriwayatkan. Oleh sebab itu tidak ada kaitannya dengan periwayatan, dan tidak boleh mencukupkan dengan apa yang ada di dalam kitab aslinya.

Demikian juga pujian kepada Allah subhanahu wata’ala ketika menyebut nama-Nya seperti ‘azza wajalla, tabaraka wata’ala, dan yang semisalnya.”
Sampai kemudian beliau mengatakan:
“Kemudian hendaknya ketika menyebutkan shalawat tersebut untuk menghindari dua bentuk sikap mengurangi. Yang pertama, ditulis dengan mengurangi tulisannya, berupa singkatan dengan dua huruf atau yang semisalnya. Yang kedua, ditulis dengan mengurangi maknanya, yaitu dengan tanpa menuliskan ‘wasallam’.

Diriwayatkan dari Hamzah Al-Kinani rahimahullahu ta’ala, sesungguhnya dia berkata:
“Dahulu saya menulis hadits, dan ketika menyebut Nabi, saya menulis ’shallallahu ‘alaihi’ tanpa menuliskan ‘wasallam’. Kemudian saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam mimpi, maka beliau pun bersabda kepadaku: ‘Mengapa engkau tidak menyempurnakan shalawat kepadaku?’ Maka beliau (Hamzah Al-Kinani) pun berkata: ‘Setelah itu saya tidak pernah menuliskan ’shallallahu ‘alaihi’ kecuali saya akan tulis  pula ‘wasallam’.

Ibnush Shalah juga berkata:
“Saya katakan: Dan termasuk yang dibenci pula adalah mencukupkan dengan kalimat ‘alaihis salam’, wallahu a’lam.”
-Selesai maksud dari perkataan beliau rahimahullah secara ringkas-.


Al-’Allamah As-Sakhawi rahimahullahu ta’ala di dalam kitabnya ‘Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi’ berkata:
“Jauhilah -wahai para penulis- dari menyingkat shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tulisan engkau dengan dua huruf atau yang semisalnya sehingga penulisannya menjadi kurang sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Kattani dan orang-orang bodoh dari kebanyakan kalangan anak-anak orang ‘ajam dan orang-orang awam dari kalangan penuntut ilmu. Mereka hanya menuliskan “ص”, “صم”, atau “صلم” sebagai ganti shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang demikian itu di samping mengurangi pahala karena kurangnya penulisannya, juga menyelisihi sesuatu yang lebih utama.”



As-Suyuthi rahimahullah di dalam kitabnya ‘Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin Nawawi’ berkata:
“Dan termasuk yang dibenci adalah menyingkat shalawat atau salam di sini dan di setiap tempat/waktu yang disyari’atkan padanya shalawat, sebagaimana yang diterangkan dalam Syarh Shahih Muslim dan yang lainnya berdasarkan firman Allah ta’ala:

“>يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)”

Beliau juga berkata:
“Dan dibenci pula menyingkat keduanya (shalawat dan salam) dengan satu atau dua huruf sebagaimana orang yang menulis “صلعم”, akan tetapi seharusnya dia menuliskan keduanya dengan sempurna.”
-Selesai maksud perkataan beliau rahimahullah secara ringkas-.


Asy-Syaikh bin Baz kemudian mengatakan:
Dan wasiatku untuk setiap muslim, para pembaca, dan penulis agar hendaknya mencari sesuatu yang afdhal (lebih utama) dan sesuatu yang padanya ada ganjaran dan pahala yang lebih, serta menjauhi hal-hal yang membatalkan atau menguranginya.
Kita memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar memberikan taufiq untuk kita semua kepada sesuatu yang diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah dan Maha Mulia.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه.
 
(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Al-Imam Ibni Baz, II/397-399)
Diterjemahkan dari: http://sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=871

Selasa, 20 Maret 2012

Download Mp3 Quran Murottal Syaikh Hani ar-Rifai

Download Mp3 Quran Murottal Hani ar-Rifai 30 Juz

29. Al-Ankabuut
30. Ar-Ruum 
31. Luqman 
32. As-Sajadah 
33. Al-Ahzab 
34. Saba 
35. Faathir 
36. Yaasin 
37. Ash-Shaffaat 
38. Shaad
39. Az Zumar 
40. Al Mu'min 
41. Fushilat 
42. Asy Syuura 
43. Az Zukhruf 
44. Adh Dhukhaan 
45. Al-Jaatsiyah 
46. Al-Ahqaaf 
47. Muhammad 
48. Al-Fat-h 
49. Al Hujurat 
50. Qaaf 
51. Adz Dzaariyaat 
52. At h-Thuur 
53. An-Najm 
54. Al-Qamar 
55. Ar-Rahman 
56. Al-Waaqi'ah 
57. Al-Hadiid 
58. Al-Mujaadilah
59. Al-Hasyr 
60. Al-Mumtahanah 
61. Ash-Shaff 
62. Al-Jumu'ah 
63. Al-Munaafiquun 
64. At Taghaabun 
65. Ath Thalaaq 
66. At Tahrim 
67. Al- Mulk  
68. Al-Qalam 
69. Al- Haaqqah 
70. Al-Ma'aarij 
71. Nuh 
72. Al-Jin
73. Al - Muzzammil
74. Al-Muddatstsir
75. Al- Qiyaamah
76. Al-Insaan
77. Al- Mursalaat
78. An-Naba
79. An Naazi´aat 
80. ´Abasa 
81. At Takwiir 
82. Al Infithaar 
83. Al Muthaffifin 
84. Al Insyiqaaq 
85. Al Buruuj 
86. Ath Thaariq 
87. Al A´laa 
88. Al Ghaasyiyah 
89. Al Fajr 
90. Al Balad 
91. Asy Syams 
92. Al Lail 
93. Adh Dhuhaa 
94. Alam Nasyrah 
95. At Tiin 
96. Al 'Alaq 
97. Al Qadr 
98. Al Bayyinah 
99. Al Zalzalah 
100. Al ´Aadiyaat 
101. Al Qaari´ah 
102. At Takatsur 
103. al Ashr 
104. Al Humazah 
105. Al Fil 
106. Al Quraisy 
107. Al Humazah
108. Al Kautsar
109. Al Kaafirun
110. An Nasr
111. Al lahab
112. Al Ikhlas
113. Al Falaq
114. An Nas






 

Jumat, 16 Maret 2012

Ulama Salaf

Pepatah mengatakan “Tak Kenal maka Tak Sayang,“. Mari kita mengenal para ‘Ulama Ahlus sunnah (Ahlulhadits) dari zaman sahabat hingga sekarang yang masyhur :


  • 1. Khalifah ar-Rasyidin :
  • • Abu Bakr Ash-Shiddiq
  • • Umar bin Al-Khaththab
  • • Utsman bin Affan
  • • Ali bin Abi Thalib
  • 2. Al-Abadillah : Para Sahabat
  • • Ibnu Umar
  • • Ibnu Abbas
  • • Ibnu Az-Zubair
  • • Ibnu Amr
  • • Ibnu Mas’ud
  • • Aisyah binti Abubakar
  • • Ummu Salamah
  • • Zainab bint Jahsy
  • • Anas bin Malik
  • • Zaid bin Tsabit
  • • Abu Hurairah
  • • Jabir bin Abdillah
  • • Abu Sa’id Al-Khudri
  • • Mu’adz bin Jabal
  • • Abu Dzarr al-Ghifari
  • • Sa’ad bin Abi Waqqash
  • • Abu Darda’
  • 3. Para Tabi’in :
  • • Sa’id bin Al-Musayyab wafat 90 H
  • • Urwah bin Zubair wafat 99 H
  • • Sa’id bin Jubair wafat 95 H
  • • Ali bin Al-Husain Zainal Abidin wafat 93 H
  • • Muhammad bin Al-Hanafiyah wafat 80 H
  • • Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud wafat 94 H
  • • Salim bin Abdullah bin Umar wafat 106 H
  • • Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash Shiddiq
  • • Al-Hasan Al-Bashri wafat 110 H
  • • Muhammad bin Sirin wafat 110 H
  • • Umar bin Abdul Aziz wafat 101 H
  • • Nafi’ bin Hurmuz wafat 117 H
  • • Muhammad bin Syihab Az-Zuhri wafat 125 H
  • • Ikrimah wafat 105 H
  • • Asy Sya’by wafat 104 H
  • • Ibrahim an-Nakha’iy wafat 96 H
  • • Aqamah wafat 62 H
  • 4. Para Tabi’ut tabi’in :
  • • Malik bin Anas wafat 179 H
  • • Al-Auza’i wafat 157 H
  • • Sufyan bin Said Ats-Tsauri wafat 161 H
  • • Sufyan bin Uyainah wafat 193 H
  • • Al-Laits bin Sa’ad wafat 175 H
  • • Syu’bah ibn A-Hajjaj wafat 160 H
  • • Abu Hanifah An-Nu’man wafat 150 H
  • 5. Atba’ Tabi’it Tabi’in : Setelah para tabi’ut tabi’in:
  • • Abdullah bin Al-Mubarak wafat 181 H
  • • Waki’ bin Al-Jarrah wafat 197 H
  • • Abdurrahman bin Mahdy wafat 198 H
  • • Yahya bin Sa’id Al-Qaththan wafat 198 H
  • • Imam Syafi’i wafat 204 H
  • 6. Murid-Murid atba’ Tabi’it Tabi’in :
  • • Ahmad bin Hambal wafat 241 H
  • • Yahya bin Ma’in wafat 233 H
  • • Ali bin Al-Madini wafat 234 H
  • • Abu Bakar bin Abi Syaibah Wafat 235 H
  • • Ibnu Rahawaih Wafat 238 H
  • • Ibnu Qutaibah Wafat 236 H
  • 7. Kemudian murid-muridnya seperti:
  • • Al-Bukhari wafat 256 H
  • • Muslim wafat 271 H
  • • Ibnu Majah wafat 273 H
  • • Abu Hatim wafat 277 H
  • • Abu Zur’ah wafat 264 H
  • • Abu Dawud : wafat 275 H
  • • At-Tirmidzi wafat 279
  • • An Nasa’i wafat 234 H
  • 8. Generasi berikutnya : orang-orang generasi berikutnya yang berjalan di jalan mereka adalah:
  • • Ibnu Jarir ath Thabary wafat 310 H
  • • Ibnu Khuzaimah wafat 311 H
  • • Muhammad Ibn Sa’ad wafat 230 H
  • • Ad-Daruquthni wafat 385 H
  • • Ath-Thahawi wafat 321 H
  • • Al-Ajurri wafat 360 H
  • • Ibnu Hibban wafat 342 H
  • • Ath Thabarany wafat 360 H
  • • Al-Hakim An-Naisaburi wafat 405 H
  • • Al-Lalika’i wafat 416 H
  • • Al-Baihaqi wafat 458 H
  • • Al-Khathib Al-Baghdadi wafat 463 H
  • • Ibnu Qudamah Al Maqdisi wafat 620 H
  • 9. Murid-Murid Mereka :
  • • Ibnu Daqiq Al-led wafat 702 H
  • • Ibnu Taimiyah wafat 728 H
  • • Al-Mizzi wafat 742 H
  • • Imam Adz-Dzahabi (wafat 748 H)
  • • Imam Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah (wafat 751 H)
  • • Ibnu Katsir wafat 774 H
  • • Asy-Syathibi wafat 790 H
  • • Ibnu Rajab wafat 795 H
  • 10. Ulama Generasi Akhir :
  • • Ash-Shan’ani wafat 1182 H
  • • Muhammad bin Abdul Wahhab wafat 1206 H
  • • Muhammad Shiddiq Hasan Khan wafat 1307 H
  • • Al-Mubarakfuri wafat 1427 H
  • • Abdurrahman As-Sa`di wafat 1367 H
  • • Ahmad Syakir wafat 1377 H
  • • Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh wafat 1389 H
  • • Muhammad Amin Asy-Syinqithi wafat 1393 H
  • • Muhammad Nashiruddin Al-Albani wafat 1420 H
  • • Abdul Aziz bin Abdillah Baz wafat 1420 H
  • • Hammad Al-Anshari wafat 1418 H
  • • Hamud At-Tuwaijiri wafat 1413 H
  • • Muhammad Al-Jami wafat 1416 H
  • • Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin wafat 1423 H
  • • Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i wafat 1423 H
  • • Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah
  • • Abdul Muhsin Al-Abbad hafidhahullah
  • • Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah
  • Sumber: Makanatu Ahli Hadits karya Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama dengan sedikit tambahan:
    Dikutip dari: http://qurandansunnah.wordpress.com/ulama-ahlussunnah/

    Sabtu, 10 Maret 2012

    Tajribaat Tahsinil Ayah

    "Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-Quran dan yang mengajarkannya" (HR. Bukhori – Muslim)


    بسم الله الرحمن الرحيم


    خيركم من تعلم القرآن وعلمه - لفضيلة الشيخ محمد ناصر الدين الألباني -رحمه الله-


    قال الإمام المحدث العلامة الشيخ محمد ناصر الدين الألباني -رحمه الله- في أحد أشرطته , معلقا على الحديث الذي رواه أبي عبد الرحمن السلمي عن عثمان بن عفان مرفوعا : (( خيركم من تعلم القرأن وعلمه )) :
    وفي هذا الحديث : إشارة إلى تعلم القرآن , وأن خير المعلمين هو معلم القرآن , وأن خير ما تعلم المرء هو تعلم القرآن , فياليت طلاب العلم يعلمون ذلك فإن فيه النفع العظيم , وإنه مما عمت به البلوى في زماننا هذا أنك تجد كثيرا من الدعاة أو المبتدئين في طلب العلم يتصدر للدعوة والفتيا والإجابة على أسئلة الناس وهو لا يحسن قراءة الفاتحة بالمخارج الصحيحة لكل حرف فتراه ينطق السين ضادا والطاء تاء والذال زايا والثاء سينا , ويقع في اللحن الجلي فضلا عن اللحن الخفي , والمفروض -بداهة - أن يحسن قراءة القرآن عن حفظه , لكي يحسن استخراج الآيات والإستدلال بها في مواعظه ودروسه ودعوته.
    فتراه ينشغل بالتصحيح والتضعيف والرد على العلماء والترجيح بينهم , وتسمع منه دائما كلمات هي أعلى من المستوى الذي هو عليه فتراه يقول : ’’ أرى , وقلت , وقولي في المسألة كذا , والرأي الراجح عندي كذا ... ‘‘.
    ومن عجيب الأمر أنك تجد مثل هؤلاء لا يتحدث عن مسألة من المسائل المتفق عليها , بل دائما - إلا من رحم الله- يتحدث في مسائل الخلاف حتى يدلي بدلوه فيها وإن تعسر عليه ذلك تراه يرجح بين الأقوال , أعوذ بالله من الرياء وحب السمعة والظهور . وأنصح نفسي أولا وهؤلاء ثانيا أن خير ما بدأ به طالب العلم هو حفظ القرآن لقوله تعالى : << فذكر بالقرآن من يخاف وعيد >>.
    وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما

    .
    http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=5348
     

     

    SEBAIK-BAIK KALIAN ADALAH ORANG YANG MEMPELAJARI AL-QUR’AN DAN MENGAJARKANNYA

    Al-Muhaddits Al-’Allaamah Asy-Syekh Muhamad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah menjelaskan di dalam salah satu kasetnya, mengomentari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Abdurrahman As-Sulamy dari Utsman bin Affan marfu’an (yang artinya), “Sebaik-baik kalian adalah orang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”.

    Beliau berkata, “Di dalam hadits ini ada isyarat yang memerintahkan mempelajari Al-Qur’an. Bahwasanya sebaik-baik pengajar adalah yang mengajarkan Al-Qur’an. Andai saja para penuntut ilmu mengetahui itu, sesungguhnya di dalamnya ada manfaat yang besar.

    Di antara fenomena yang tersebar luas di zaman kita bahwasanya engkau mendapatkan banyak da’i-da’I atau para pemula dalam menuntut ilmu, tampil untuk berdakwah, berfatwa dan menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia sementara dia tidak benar dalam membaca Al-Fatihah dengan makhraj-makhraj yang benar untuk setiap huruf. Sehingga engkau melihatnya mengucapkan sin seperti shod dan tho’ seperti ta’, dzal seperti zaai dan tsa’ sebagai siin. Jatuh dalam Lahan Al-Jalii (kesalahan yang jelas)  apalagi Lahan al-Khofii (kesalahan yang tersembunyi).

    Seharusnya -  adalah suatu keniscayaan – ia memperbaiki bacaan Al-Qur’an dan hapalannya. Agar ia membawakan ayat-ayat dengan baik dan berdalil dengannya dalam nasehat-nasehat, pelajaran-pelajaran dan dakwahnya.

    Engkau dapatkan ia sibut dengan menshohih dan mendho’ifkan, membantah ulama dan mentarjih diantara mereka. Dan engkau sering mendengar darinya kalimat-kalimat  yang lebih tinggi dari levelnya sendiri. Kadang ia berkata, “Menurut pandangan saya ..saya katakana ..pendapatku dalam masalah ini begini dan pendapat yang rojih menurutku begini”.

    Lebih mencengangkan lagi, orang-orang seperti mereka engkau dapatkan tidak berbicara dalam masalah-masalah yang telah disepakati. Akan  tetapi selalu  – kecuali yang dirahmati Allah – berbicara dalam masalah-masalah khilaf, sehingga ia turut pula memberikan pendapat padanya. Jika ia kesulitan ia merajihkan di antara pendapat-pendapat. Aku berlindung kepada Allah dari riya’, dan cinta ketenaran.
    Pertama aku nasehati diriku sendiri dan kedua untuk mereka; bahwasanya sebaik-baik perkara yang harus dimulai oleh seorang penuntut ilmu adalah menghapal Al-Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman,
    فذكر بالقرآن من يخاف وعيد
    “Maka berilah peringatan dengan Al-Qur’an orang-orang yang takut akan ancaman”.

    Insya Allah pada kesempatan ini kami akan membahas tentang Makharijul Hurf,,,, Dan memberikan contoh bagaimana melafadzkan hurf yang benar

    Pengertian Makharijul Huruf


    Kata makharijul huruf berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari dua kata, yaitu:
    1. Makharij(مخارج)
    Kata ini adalah jama’ dari kata makhraj(مخرج)yang berarti tempat keluar

    2. Al Huruf (الحروف)
    Kata ini adalah jama’ dari al-harfu (الحرف)yang berarti huruf.Jadi menurut bahasa yang dimaksud dengan makharijul huruf itu ialah tempat-tempat keluarnya huruf. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu tajwid, yang dimaksud dengan makharijul huruf yaitu tempat-tempat atau letak keluarnya huruf-huruf hijaiyah ketika membunyikannya.Sebagai seorang muslim, mempelajari ilmu tentang makharijul huruf ini sangatlah penting. Dengan mempelajari ilmu ini, akan dapat membunyikan huruf-huruf Arab dengan tepat sesuai dengan tempat keluarnya (makhraj-nya), sehingga dapat membaca al-Quran dengan fasih dan benar. Hal ini karena al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab.Tempat bunyi suatu huruf itu keluar, dapat kita ketahui dengan cara mematikan atau mensukunkan huruf tersebut yang sebelumnya didahului dengan huruf hidup.Contoh : untuk mengetahui makhraj “kaf (ك)”, maka huruf “kaf” tersebut disukun / dimatikan dengan didahului huruf hidup. 


    Download

    - Makhroj Huruf ا 
                                                                                    
    -  Makhroj Huruf ب

    -  Makhroj Huruf ت

    - Makhroj Huruf ث 

    - Makhroj Huruf ج 

    - Makhroj Huruf ح

    - Makhroj Huruf خ 

    - Makhroj Huruf د

    - Makhroj Huruf ذ

    - Makhroj Huruf ر

    - Makhroj Huruf ز  

    - Makhroj Huruf س

    - Makhroj Huruf ش

    - Makhroj Huruf ص 

    - Makhroj Huruf ض 

    - Makhroj Huruf ط     


    - Makhroj Huruf ظ


    - Makhroj Huruf ع


    - Makhroj Huruf غ


    - Makhroj Huruf ف


    - Makhroj Huruf ق


    - Makhroj Huruf ك


    - Makhroj Huruf ل


    - Makhroj Huruf م


    - Makhroj Huruf ن


    - Makhroj Huruf و


    - Makhroj Huruf ه


    - Makhroj Huruf ي










    Hukum Andilnya Wanita Dengan Tulisan Dalam Pelajaran Yang Diadakan Di Forum-Forum Salafiyah (Di INTERNET)

    يسأل عن حكم مشاركة المرأة كتابيًا في المدارسات التي تقام في المنتديات السلفية؟.

    الجواب:

    أولًا: ليس من مسلك السلف مشاركة الرجال أو اشتراك الرجال والنساء فيما نسميه في عصرنا (الندوات).

    فالمرأة إذا حضرت ندوة استمعت وإذا أشكل عليها شيء كتبت سؤالها.

    أمَّا أن تشترك في تقرير المسائل وتحريرها وتقعيدها وتأصيلها فلم يكن هذا من ما هو معهود من مسلك السلف.

    ثانيًا: أنا أحذِّر المسلمات من المشاركة في المنتديات التي تعقد عبر الشبكة-العنقودية شبكة الإنترنت-.

    فقد بلغتنا أخبار موثقة أن المرضى من الطرفين يلتقون ببعضهم في هذه المنتديات.

    وقد سألت بعض المختصين: ألا يمكن الحيلولة بينهما؟، فأجابني بالنفي، لا يمكن، يصطحبها يعني: بالطريقة العنكبوتية ثم يخلوا بها ويحدثها بما شاء، مِمَّا يستميل المرأة المسلمة إلى الخضوع بالقول.

    ثم تبين لي أخيرًا: أنه إذا كانت إمرأة ذات علم ورسوخ في السنة أنشأت غرفة لنسوة مخصوصات تعلمهن من خلالها مغلقة عليهن لا يستطيع الدخول إليها غيرهن هذا أرجوا أنه لا بأس به إن شاء الله-تعالى-ما دام التجمع نسوي ويضمن أن لا يشاركهن الرجال عدد معين معروف لدى صاحب هذه الغرفة فأرجوا أنه لا بأس به إن شاء الله-تعالى-والله أعلم[1].




    Syaikh Ubaid ditanya tentang hukum andilnya wanita dengan tulisan dalam pelajaran yang diadakan di forum-forum salafiyah?

    Jawab

    Pertama:
    Bukanlah termasuk jalan salaf kerjasama atau bersekutunya laki-laki dan wanita dalam perkara yang kita sebut sekarang pada masa kita sebagai nadawat (forum-forum/symposium-simposium).

    Seorang wanita bila menghadiri satu forum, dia mendengar. Jika dia mempunyai satu musykilah dia menulis pertanyaannya.
    Adapun jika dia bergabung dalam menetapkan, meneliti, membuat kaidah dan landasan permasalahan-permasalahan, maka ini bukanlah termasuk yang ditempuh salaf.
     
    Kedua:
    Aku mengingatkan kaum wanita muslimah dari bergabung dalam forum-forum yang diadakan melalui jaringan-jaringan internet. Telah sampai kepada kami berita terpercaya bahwa orang-orang yang sakit hati dari dua pihak sebagian mereka bertemu di forum-forum ini.

    Aku telah bertanya kepada sebagian orang-orang khusus: tidakkah mungkin menghalangi antara keduanya? Kemudian dia menjawab dengan: tidak mungkin. Seorang lelaki berteman dengan wanita melalui jaringan internet kemudian berduaan dengannya dan berbincang dengan apa yang dia kehendaki. Ini termasuk dari perkara yang membuat wanita muslimah untuk merendahkan ucapan.

    Kemudian jelas bagiku terakhir: bahwa jika wanita itu mempunyai ilmu yang kokoh dalam as-sunnah, dia mengadakan satu ruang khusus bagi para wanita, dia mengajari mereka melalui ruang tersebut, tertutup khusus untuk mereka, yang selain mereka tidak bisa masuk. Ini aku harap tidak apa-apa Insya Allah, selama perkumpulan itu khusus wanita dan dijamin tidak ada lelaki yang bergabung dengan mereka. Jumlah tertentu yang dikenal oleh pemilik ruang ini. Maka aku berharap tidak apa-apa Insya Allah. Wallahu a’lam.


    Syaikh Al-Fauzan Tentang Syaikh Rabi' dan Kitab Sayyid Qutb

    السؤال:
    "ظهر في الساحة كتاب بعنوان: "أضواء إسلامية على عقيدة سيد قطب وفكره" لمؤلفه يدعى ربيع المدخلي ، ما رأيكم بهذا الكتاب وهل المؤلف من أهل العلم المعروفين لديكم؟

    الجواب:
    لا شك المؤلف من أهل العلم، وخِرّيج الجامعة الإسلامية، ومُتتلمذ على المشايخ ومعروف والحمد لله، وما ذَكره هذه أخطاء أنت تطبقها على –هو ذكر الصفحة- تطبقها على "ظلال القرآن" فإن أدركت أنه مخطئ تُبيّن خطأه ، وإلا الواجب قبول الحق، الواجب قبول الحق، هو ذكر الأخطاء التي فيه بصفحاتها ، حددها لك ، أنت ارجع إليها وطبق عليها الكلام فإن أدركت خطأ فنبه المؤلف عليه -جزاك الله خيرا- ، وإن أدركت صوابًا فالواجب أن تقبل الصواب . نعم" اهـ.*


    Pertanyaan: Telah muncul di medan dakwah satu kitab yang berjudul Adhwa al-Islamiyyah ‘ala ‘Aqidah Sayyid Quthb Wa Fikrih, yang ditulis seorang yang bernama Rabi’ al-Madkhali, apa pendapat engkau tentang kitab ini, dan apakah penulisnya adalah termasuk ulama yang dikenal?
     
    Jawaban:
    Tidak diragukan penulis adalah termasuk kalangan ulama, beliau lulusan al-Jami’ah al-Islamiyyah, murid para masyayikh dan telah dikenal. Segala puji bagi Allah.
    Apa yang beliau sebutkan “bahwa ini salah”, maka engkau cocokkan pada kitab Zhilal al-Qur’an sesuai dengan halamannya. Jika engkau mendapati beliau salah, maka engkau jelaskan kesalahannya. Jika tidak maka wajib menerima kebenaran. Yang wajib menerima kebenaran. Beliau telah menyebutkan kesalahan-kesalahan yang ada dalam Zhilalul Qur’an lengkap dengan menyebutkan halamannya. Beliau telah membatasinya untukmu. Maka engkau rujuklah ke sana dan mencocokkan ucapannya atas kitab itu. Jika beliau salah engkau mengingatkan penulis atas hal itu, semoga Allah membalas kebaikanmu. Jika engkau mendapati kebenaran, maka wajib engkau menerima kebenaran.



    السؤال:
    "ظهر في الساحة كتاب بعنوان: "أضواء إسلامية على عقيدة سيد قطب وفكره" لمؤلفه يدعى ربيع المدخلي ، ما رأيكم بهذا الكتاب وهل المؤلف من أهل العلم المعروفين لديكم؟

    الجواب:
    لا شك المؤلف من أهل العلم، وخِرّيج الجامعة الإسلامية، ومُتتلمذ على المشايخ ومعروف والحمد لله، وما ذَكره هذه أخطاء أنت تطبقها على –هو ذكر الصفحة- تطبقها على "ظلال القرآن" فإن أدركت أنه مخطئ تُبيّن خطأه ، وإلا الواجب قبول الحق، الواجب قبول الحق، هو ذكر الأخطاء التي فيه بصفحاتها ، حددها لك ، أنت ارجع إليها وطبق عليها الكلام فإن أدركت خطأ فنبه المؤلف عليه -جزاك الله خيرا- ، وإن أدركت صوابًا فالواجب أن تقبل الصواب . نعم" اهـ.*

    Beliau juga pernah ditanya dengan pertanyaan berikut ini: Telah muncul pada masa ini kitab yang berjudul Adhwa’ Islamiyyah ‘ala ‘Aqidah Sayyid Quthb Wa Fikrih. Dan si penulis telah meringkas kepada pendapat bahwa Sayyid Quthb telah terjatuh pada kesalahan yang besar dalam masalah aqidah. Wahai yang mulia syaikh, kami berharap memberitahu kami pendapat anda tentang kitab tersebut!

    Jawaban:
    Amalannya baik dan penulisnya telah berbuat baik, karena beliau tidak mendatangkan dari dirinya sendiri. Beliau juga tidak menisbatkan perkataan dusta kepada Sayyid Quthb, beliau hanya menyebutkan kesalahan-kesalahan yang terjadi pada kitab-kitabnya dan memberikan peringatan atasnya dengan menyebutkan halaman dan teks ucapan Sayyid Quthb. Selama demikian maka tidak ada kritikan atas beliau, selama beliau menyebutkan, bersandar dan mengikat dari kitab Sayyid Quthb. Beliau telah menunaikan tanggung jawabnya.
    Setiap orang bisa salah, Sayyid Quthb bisa salah, selainnya juga bisa salah. Segala puji bagi Allah bahwa kebenaran itu sesuatu yang hilang dari seorang mukmin (bila dia mendapatinya dia pegang). Selama penulis tidak mengarang-ngarang, tidak berdusta atas Sayyid Quthb, tetapi dia menukil ucapan Sayyid Quthb secara teksnya dari kitabnya dan menyebutkan nomer halaman dan kitab, maka dia telah menunaikan kewajibannya. Hal ini harus dijelaskan karena kitab-kitab Sayyid Quthb banyak di tangan para pemuda dan para pemuda itu menganggap bahwa Sayyid Quthb adalah tokoh pemikiran.
    (Lihat Ma Yajibu fit Ta’amul ma’a al-Ulama hal. 32-33 Karya al-Furaidan.)


    Bantahan Yang Benar Mesti Berasal Dari Ahul Ilmi Ulama Dan Harus Disebarkan

    الردود الصحيحة لا بد أن تكون صادرة من أهل العلم ونشرها واجب وهذا علاج وإذا أخفيت انتشر الشر

     

    أحسن الله إليكم هذا الأخ أبو أحمد ، الحقيقة يا شيخ صالح الفوزان أرسل لي سؤال جيد وجميل ونريد أن نبسط فيه القول يقول فيه الأخ أحمد :
    أنا أحب السنة وأكره البدع والخرافات ، ولكن يا فضيلة الشيخ الردود على أهل البدع والزيغ يقول بعض الناس لم يكن من منهج السلف وأن كتب الردود لا ينبغي أن تنشر إلا بين طلبة العلم نرجو من الشيخ صالح أن يوجهنا في ضوء هذا السؤال ؟

    العلامة صالح الفوزان حفظه الله :
    ما ذكر السائل الردود ، لا بد أن تكون صادرة عن العلماء الذين يتقنون الرد يعرفون الخطأ ويُتقنون الرد عليه بالدليل من الكتاب والسنة ونشر الردود هذا واجب لأنه تعليم للمسلمين ، إذا نشر هو بدعته ونشر هو أخطاءه على الناس ، فلا بد أن تنشر الردود الصحيحة لإزالة ضرر البدعة والأخطاء لا بد من هذا ، هذا علاج .
    إذا أُخفيت الردود انتشر الشر في الناس وراجت البدع ! فلا بد من نشر الردود الصحيحة ما هو كل الردود !! الردود الصحيحة الصادرة عن أهل العلم الذين يعرفون البدعة ويعرفون الخطأ ويعرفون كيف يردون عليه من الكتاب والسنة . نعم .


    Pertanyaan: Semoga Allah berbuat baik kepada anda. Ini Saudara Abu Ahmad, wahai Syaikh Shalih al-Fauzan, dia mengirim kepadaku satu pertanyaan yang bagus. Dan kami ingin untuk menjabarkan perkataan tentangnya. Saudara Ahmad berkata: “Aku mencintai sunnah dan aku benci terhadap bid’ah dan khurafat. Tetapi, yang mulia Syaikh, bantahan terhadap ahli bid’ah dan orang yang menyimpang dikatakan oleh sebagian orang bahwa itu bukan termasuk manhaj salaf, dan kitab-kitab bantahan tidak sepantasnya tersebar kecuali di antara para penuntut ilmu.” Kami mengharapkan bimbingan untuk kami dari Syaikh Shalih sesuai dengan pertanyaan ini?

    Jawaban: Apa yang telah disebutkan penanya, bantahan-bantahan itu, mesti berasal dari ulama yang kokoh dalam memberikan bantahan, dimana mereka mengetahui kesalahan, dan mengokohkan bantahan atas kesalahan itu dengan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Dan menyebarkan bantahan ini wajib, karena itu mengajari kaum muslimin. Jika dia menyebarkan bid’ahnya dan dia menyebarkan kesalahan-kesalahannya kepada orang-orang, maka harus disebarkan bantahan-bantahan yang benar untuk menghilangkan bahaya bid’ah dan kesalahan-kesalahan. Ini harus. Inilah solusi.
    Jika bantahan disebunyikan maka akan tersebar kejelekan di antara manusia dan bid’ah-bid’ah menjadi laris. Maka harus disebarkan bantahan-bantahan yang benar, tidak semua bantahan!! Bantahan-bantahan yang benar berasal dari ahlul ilmi yang mengetahui bid’ah dan mengetahui kesalahan dan mengetahui bagaimana membantahnya dari al-Kitab dan as-Sunnah.
    (Dari Nur ‘Ala ad-Darb 28 Shafar 1433 H)