(Dimulai dengan Khutbatul Haajjah)
Alhamdulillah, ama ba’du
Ikhwani fiddin a’azakumullah...
Disini ada pertanyaan yang berkaitan dengan fitnah Sururiyyah. Dan berkaitan pula dengan tokoh-tokohnya dan orang-orangnya. Ditanyakan disini dari mulai Abu Qatadah (Da'i Al Sofwah Jakarta, red), Abu Haidar (As Sunnah, Bandung, red),Yazid Jawwas (rekan Abdul Hakim Abdat, da'i Al Sofwah/Al Haramain, red), Abu Nida' (At Turots, Jogjakarta red), Aunurofiq Gufron (Ma'had Al Furqan, Gresik, red), Yusuf Bai’sa (Ma'had Al Irsyad, Tengaran, Salatiga, red), Abdurrahman Abdul Kholiq, Ainul Harits, Arifin, Abdul hakim Abdat (da'i Al Haramain/Al Sofwah), dan lain-lainnya. dan kemudian ditanyakan pula Al-Sofwa, At Turots, Al Irsyad, dan lain-lain.
Tentunya lebih tepat kalau saya jawab dari belakang dulu, dari organisasinya dulu, dan lebih bagus lagi kalau saya menerangkan pada antum tentang fikrohnya dulu, ya’ni fikroh sururiyyah dulu . Ya’ni Sururiyyah berasal dari kata Surur atau dari nama Muhammad Surur Nayif Zainal Abidin. Muhammad Surur adalah seorang yang tadinya Ikhwanul Muslimin (IM), kemudian dia keluar dari IM, dan kemudian mengaku Salafy. Orang yang sejenis Muhammad Surur ini banyak, seperti Abdurrohman Abdul Khaliq itupun dari IM kemudian keluar dan kemudian mensyiarkan dirinya sebagai salafy. Atau mengaku salafy.
Orang-orang jenis ini mereka keluar Ikhwanul Muslimin dari Harokah IM, atau partai politik IM atau keluar dari kelompok firqoh IM, dan menyatakan taubat dari IM, dan menyatakan taubat "saya keluar dan saya taubat" seperti juga Muhammad Quthub itu juga mengaku kelauar dan kembali kepada salaf , tetapi dalam perjalanan mereka yang katanya mau kembali kepada Salaf, ternyata masih memiliki fikroh ikhwaniyyah. Fikrohnya Ikhwanul Muslimin atau prinsip cara berfikir Ikhwanul Muslimin. Yang tentunya kita harus tahu bahwasannya prinsip IM ini berarti atau prinsip Sururiyyah ini berari sama dengan prinsip IM sesungguhnya, hanya beda istilah saja.
Apa yang dikatakan oleh para IM juga diucapkan pula oleh Sururiyyin, hakikatnya. Dengan cara dan bentuk istilah yang berbeda tapi intinya sama maka. Kalau begitu sururiyyah sama dengan ikhwaniyah dan kita perlu menerangkan tentang Ikhwanul Muslimin itu sendiri. Ikhwanul Muslimin, prinsip bid’ah mereka yang menjadikan mereka menjadi kelompok sempalan yang keluar dari Ahlus Sunnah adalah karena mereka memiliki prinsip “Nata’awan fima tafakna wa na’dziru ba’dina ba’don fi makhtalahna”, kata mereka, "Kita saling kerjasama apa yang kita sepakati dan kita hormat-menghormati saling memaklumi apa yang kita berbeda".
Iini prinsipnya IM, saya ulangi Nata’awan fima tafakna, "Kita saling kerja sama saling bantu membantu dalam apa yang kita sama, kita sepakati dan kita memaklumi hormat menghormati, dengan apa yang kita berbeda". Dengan prinsip ini IM tidak menganggap ada ahlil bid’ah sama sekali, semuanya kawan tidak ada lawan. "Ahlil bid’ah mereka sama-sama sholat dengan kita, maka kita tolong menolong dalam apa yang kita sepakati, mereka sama-sama…", pokoknya apa yang kita sama kita kerja sama, ini IM. Sehingga Hasan Al-Banna, At-Turobi, dan sekian banyak tokoh-tokoh mereka selalu berusaha menggabungkan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan mereka mengatakan yel-yel "Laa Syarqiyyah, Laa Gharbiyyah, Laa Sunniy, wa Laa Syi’ah, Islamiyyah, Islamiyyah," itu yel-yel yang selalu mereka dengungkan anasid dengan sair, dengan nyanyi dengan ikrar, "Tidak Timur tidak Barat, tidak Sunni tidak Syi’ah yang penting Islam" - kata mereka -, ini prinsip mereka yang kemudian ditebarkan pada masyarakat. "Kalian jangan ribut terus, sudahlah jangan saling menyalah-nyalahkan, semuanya apakah dia salaf apakah dia sufi, apakah dia mutazili, syiah, semua itu saudara, semua muslimin. Apa yang kita sama kita tolong menolong dan apa yang kita beda, kita hormat-menghormati", katanya begitu. Ini sepintas kilas perkaranya agak masuk akal, "Iya ya, kalau nggak gini gak akan bersatu ? ". Ya, sepintas kilas kalau kalau dipikir akal saja.
Padahal kata para ulama prinsip ini akan meruntuhkan agama secara keseluruhan dan prinsip ini menggugurkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. [ketika kamu] mau mengingkari kebid’ahan, [mereka katakan: ] “...jangan ya akhi kita harus saling menghormati, kita jangan menyalahkan mereka." Begitulah, sehingga tidak ada amar ma’ruf nahi munkar. Dan berarti membolehkan manusia berjalan di jalan bid’ah manapun, ini sudah jelas sesatnya. Sehingga di dalam Ikhwanul Muslimin, jangan kamu kira mereka sama statusnya, fikirannya, aqidahnya.
Di kalangan IM ada Sufi, Syi’ah,ada semua ahli bid’ah kecuali Salafy. Kenapa? Yang Salafy dalam masalah Aqidahnyapun prinsipnya tetap prinsip ikhwan. Prinsip Aqidahnya yang katanya Salafy, tetapi tetap menghormati Ahlul Bid’ah. Dan ternyata ini adalah yang namanya Sururiyyin. Dalam aqidah katanya mempelajari aqidah Salaf - katanya -, tetapi prinsipnya sama, sesama ahlul bid’ahpun harus saling menghormati dan sebagainya. Ini prinsip utamanya.
Namun sekarang ketika orang-orang yang dulunya keluar dari IM tadi apakah Muhammad Surur apakah Abdurrahman Abdul Kholiq apa Muhammad Qutub dan menyatakan "IM itu salah, IM itu sesat kami kembali kepada Salaf". Ternyata mereka mengajarkan aqidah Salaf, mengajarkan aqidah Salaf sehingga sama dengan Salafiyyin, tetapi mereka tetap mengatakan bahwa, "...ahlul bid’ah juga punya kebaikan, jadi jangan dimusuhi 100 persen, mereka juga punya kebaikan, kita bisa ambil kebaikan dari mana saja." Nah ini lihat, kalimat, "mereka juga punya kebaikan, kita bisa ambil kebaikan dari mana saja". Itulah sesungguhnya terjemahan dari apa yang dikatakan Ikhwanul Muslimin, yaitu saling hormat-menghormati, inilah yang akhirnya menjadi masalah.
Akhirnya segala macam orang-orang yang keluar dari IM yang dielu-elukan taubat - masya Allah-, sebagai seorang Salafy sekarang. Ternyata warnanya kok lama kelamaan agak berbeda kok aneh, kok agak beda, ketika tambah jauh, tambah kelihatan berpisahnya antara para Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, Salafiyyun dengan tokoh-tokoh mereka. Agak berbeda, terus begitu, kemudian dalam masalah sikap pemerintah juga berbeda, dalam masalah politik juga berbeda, mereka sama seperti IM.
Sekali lagi sama, cuma istilah-istilahnya yang berbeda. Mereka mengatakan pentingnya Tsaqofah Islamiyyah, ini Ikhwanul Muslimin. Tsaqofah Islamiyah adalah wawasan. Kata Ikhwanul Muslimin, "Kita jangan terpaku dengan Quran Sunnah saja, tetapi tidak mengerti situasi dan kondisi politik yang ada, kita harus ikut menyaksikan kondisi politik sepaya kita bisa bersikap supaya kita bisa berjuang dengan jihad politik", katanya. Itu IM, terang-terangan mengatakan jihad politik. Makanya banyak istilah-istilah yang dipakai oleh para politikus sekarang ini, ada jihad politik, ada apa segala macam itu, itu karena diantaranya mereka banyak terbawa dengan tokoh-tokoh IM di dalam partai Keadilan dan sejenisnya. Kemudian mereka yang telah keluar dari IM, ternyata fikrah-fikrah itu masih ada, tetapi istilahnya agak ganti dengan bahasa Fiqhul Waqi’. Salman Audah, A’idh Al Qorni, kemudian siapa lagi … Muhammad Surur dan sebagainya semuanya mengelu-elukan, “Jangan kita selalu Kitab Sunnah, Kitab Sunnah, tetapi tidak memperhatikan lingkungan kita, lingkungan situasi-kondisi kita tidak tahu, kita harus tahu, kita harus belajar satu ilmu namanya Fiqhul Waqi’, memahami kenyataan yang terjadi". Sama toh dengan yang tadi? Kalau tadi dengan istilah Tsaqofah, sekarang dengan istilah Fiqhul Waqi.
Abdurrahman Abdul Khaliq ketika Fiqhul Waqi’nya dibahas oleh para Ulama, lain lagi dia istilahnya bukan Fiqhul Waqi’, tetapi setali tiga uang, persis. Kata Abdurrahman Abdul Kholiq, "Kita dalam memahami, dalam berdakwah ini selain ini, kita harus punya Shifatul ‘Asr". Ini istilahnya Abdurrahman Abdul Kholiq. Apa shifatul ‘Ashr ? Al ashriyah dengan gaya bahasa dia bilang "Ashriye, kita harus tahu Al Ashriye", yakni 'keadaan kondisi situasi politik yang ada', begitu, sama ternyata. Dan ingat bukan berarti Ahlussunnah wal jamaah dan para Ulamanya menentang perlunya fiqhul waqi’ atau tsaqofah atau shifatul Ashr bukan menolak perlunya. Perlu tetapi itu berada di bawah, di bawah dan di bawahnya dan hukumnya fardu kifayah. Bukan harus apalagi wajib apalagi diutamakan di atas ilmu-ilmu lain. Ini mereka menggembar-gemborkan dengan keras dan mereka mengangkat setinggi-tingginya, ilmu yang besar, ilmu yang tinggi yaitu fiqhul waqi’, shifatul ashriye dan seterusnya.
Kenapa sih? Ada apa sih? Kok mereka menggembar-gemborkan itu. Sama dengan Salaf mereka, Salaf mereka lho ya, yang tidak shalih yaitu Ikhwanul Muslimin. Sama yaitu ingin mengangkat tokohnya tapi tidak punya ilmu yang menonjol, mau mengangkat tokohnya ini, ingin mengangkat Sayyid Qutub, dari sisi apa? Dia ahli dalam bidang apa? Ibn Katsir ahli dalam bidang tafsir sehingga disebut sebagai ahli tafsir dan seterusnya. Kemudian para Ulama, Syaikh Utsaimin, Syaikh Bin Baz, fuqoha ahli faqih - masya Allah-. Dan para ulama terkenal dengan ilmu mereka sehingga ada yang disebut sebagai Faqih, Ahli Tafsir, Muhadits seperti Syaikh Al-Albany, ada yang disebut sebagai Mufassir ahli tafsir, dan sebagainya. Lantas, mereka mau mengangkat tokoh-tokonya ini, mau mengangkat Sayyid Quthub. Ini mau dimasukkan ke golongan mana ? kepada Mufassirin, bukan ahli tafsir, mau digolongkan Muhaditsin, bukan ahli hadits, mau digolongkan Fuqoha bukan ahli fiqih, ini ahlinya apa? Akhirnya mereka muncul ide, 'ini orang walaupun dalam masalah itu tidak menonjol', tetapi ia memiliki ilmu yang penting, yaitu memahami situasi dan kondisi politik, situasi dan kondisi masyarakat dan sebagainya, ini ahli ini orang, jadi kita harus angkat Fiqhul Waqi.
Jadi kata syaikh Robi dan kata ulama lain yang mengatakan bahwa istilah Fiqhul Waqi, adalah untuk mengangkat tokoh-tokohnya, jadi diapun ‘alim minal ulama'. Ahli di bidang apa? Ahli di bidang Fiqhul Waqi’. Jadi kamu 'ngertinya' fiqhul syari’ah, fiqhul ahkam, ini fiqhul waqi’ ??? Dan - subhanallah - ini diikuti oleh para sururiyyin.
Diantaranya Haddatsana Umar Jawwas, qola sami’tu Abdul Malik (seorang Surury yang belajar di Riyadh sama tokoh sururi disana namanya Abdul Karim, yang ini turunannya membikin pondok 'Alamus Sunnah di Bogor dan As-Sunnah di Cirebon), katanya : "Bahwasanya Ulama itu ada dua, ada Ulama Syumul, ada Ulama Takhossus". Dan ada sanad lain, sanadnya saya dengar dari Yahya Ba’adil (kakak Yazid Ba’adil, Jember), ini sanadnya lebih 'ali (tinggi), dia pulang dari Riyadh, duduk sepesawat dengan Abdul Karim (tokoh yang tadi itu), setelah tanya jawab, dia masih belum kenal betul siapa dia. Terus cerita kepada saya : "Kemarin ketemu orang namanya Abdul Karim, begini-begini… "; [ana bilang: ] "Hah, ente ketemu, ngomong apa dia [Yahya Ba'adil] ?", dia bilang katanya : "Ulama itu ada dua ada ulama Takhosus dan ada ulama Syumul".
Ulama Takhosus itu ulama dalam bidang fiqih, ya (yang diketahui) fiqih saja, ahlu tafsir, tafsir saja, ahli hadits, hadits saja, tapi tidak mengerti yang lain. Adapun Ulama Syaamil (katanya), ulama lengkap, yaitu ulama yang mengerti semuanya itu dan mengerti Fiqhul Waqi'. Jadi ...? Ustadz Muhammad : "Siapa yang dimaksud itu, ente nggak tanya?", jawab Yahya : "Iya saya nggak tanya". Ustadz Muhammad, "Coba tanya…". Ustadz Muhammad :"Ana bilang, sesungguhnya kalau dia ditanya yang dimaksud takhosus tuh, Syaikh Albani hadits saja, Syaikh bin Baz,… karena sudah dikatakan dalam majlis-majlis lain mereka bilang begitu, "Syaikh bin Baz itu ngerti apa tentang politik", begitu katanya. "Mereka tuh ngerti apa, sehingga percuma fatwanya gak diterima", jadi mereka menganggap ulama yang Syumul itu Qaradlawi (Yusuf Qardlawi, red), Muhammad Ghozali, Sayyid Qutub (pengarang Fi Dhilalil Qur'an, red) dan sebagainya itu tadi.
(Ulama yang) dikatakan lengkap, karena dia mengikuti apa yang terjadi. sedangkan ulama-ulama tadi itu ulama Takhosus khusus itu saja di bidangnya, sehingga, kata orang tadi, "Kalau kita meminta fatwa tentang politik jangan sama mereka, jangan tanya sama mereka karena fatwanya nggak bisa diterima, mereka nggak ngerti Fiqhul Waqi', karena mereka nggak ngerti shifatul 'ashr, karena mereka nggak, mengerti apa itu tadi, tsaqofah".
Jadi tanyanya sama… akhirnya ditulislah buku Dalilut-Tholibah oleh Muhammad Kholaf, judul bukunya Dalilut Tholibah, Bimbingan untuk pelajar Putri, isinya ? Ketika masalah ahkam dan sebagainya dari Syaikh Muhammad Al Utsaimin yang dinukil, dan habis itu ada tanya jawab dalam masalah Da’wah dijawab oleh Salman bin Fahd Al Audah. Ini menunjukkan prinsipnya dia Muhammad Khalaf adalah pendiri Al-Sofwa, nah terjawablah (apa dan siapa itu) Al Sofwah.
Jadi dia menulis buku itu dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tidak tahu apa judulnya dalam bahasa Indonesia. Jadi begitu ketika masalah fiqih, syaikh Utsaimin, ketika masalah dakwah, nggak terima Syaikh Utsaimin, "Salman Audah yang lebih mengerti Fiqhul Waqi'". Inilah model-model sururiyin. Apakah Ikhwanul Muslimin, ataupun Sururiyyin, atau nanti ada nama lainnya, jenis lainnya, maka mereka semua prinsipnya sama bahwa mereka akan menjauhkan para Salafiyyin dari Ulamanya dan mereka berusaha mentaqrib (mendekatkan) Ahlus Sunnah dengan Ahlul bid’ah. Maka kamu lihat tokoh-tokohnya, satu-satu tadi itu, bagaimana keadaannya, bagaimana Yazid Jawwas dengan tokoh-tokoh Dewan Da’wah (DDII, red) dan tokoh-tokoh IM, bagaimana Yusuf Ba’isa dengan Salim Bajri, yang mu’tazilah yang menolak Hadits Shahih Bukhari.Katanya (Salim Bajri) : “Jangan taqlid dengan Imam Bukhari!”. Ini (si Salim) masih tetep bareng dengan Yusuf Ba'isa sekarang ini. Lalu, apa lagi yang lebih besar dari itu !!?.
Kita yang kemarin terpaksa ketemu dengan ahlul bid’ah itu gemetarnya sampai hari ini belum hilang."Wa atuubu ilallah", karena masalah kemarin sampai Laskar Jihad yang sudah besar kita beberkan, karena masalah itu tadi yang kita takuti. Bagaimana kita bergaul dengan ahlul bid’ah, "Tidak !!!, coret !!?. Silang!!! Habis.!!!" Masa-masa itu kita tutup!. Kalau sampai jihad membawa kita kepada pergaulan dengan ahlul bid’ah seperti itu, tidak ada jihad-jihadan. Bathil (keliru), bubar, khan begitu !!! Ini…? Tidak dalam keadaan jihad atau bukan jihad bukan dalam perjuangan, bukan perang, bukan dalam keadaan apapun, sama mereka 'ahlan-ahlanan' (lemah-lembut, red). Buat acara bersama, bikin pertemuan bersama dan seterusnya!!?.
Dan kemudian, baru setelah kita jawab beberapa tokoh, Muhammad Sururnya, Abdurrahman Abdul Kholiqnya, dan kemudian Salman Audah, kemudian Abdul Karim Al Katsiri dari Riyadh, nah ini mereka !. Kemudian dari sisi politiknya, mereka membolehkan masuk ke dalam parleman atau masuk dalam partai-partai. Tidak mesti diantara mereka sampai masuk ke dalam marhalah ini. Diantara mereka masih marhalah satu, ada yang marhalah dua ada yang ketiga ada yang sudah keempat. Tetapi ciri yang umum adalah itu tadi, yaitu mereka bergampang-gampang dengan dengan Ahlul Bid’ah, meremehkan ahlul bid'ah, maksudnya meremehkan itu, meremehkan bahayanya.
Bukan artinya kita mengecilkan, jelas kita juga mengecilkan mereka, tetapi yang dimaksud adalah mereka meremehkan bahayanya ahlul bid'ah. "Mereka juga punya kebaikan, mereka juga punya suatu kelebihan, kita diperintahkan oleh Allah untuk mengambil ilmu dari mana saja, jangan lihat siapa yang berbicara, lihat ucapannya bagaimana ?" Jadi ucapannya yang kita lihat, orangnya siapa saja ahlul bid'ah atau Ahlus Sunnah", begitu ? Ini sudah terucap dari Yusuf Ba'isa banyak, entah dari yang lain saya belum tahu. Maka mereka ini ada ternyata turunannya Abdul Karim Al Katsiri turunannya mendirikan pondok, membiayai di 'Alamus Sunnah Bogor dan di Cirebon ini, As Sunnah. Kemudian Abdurrahman Abdul Khaliq, Tengaran, membiayai, membantu, mengirimkan orangnya dan datang ke Tengaran. Jadi sudah tidak bisa diingkari lagi, tidak bisa diingkari lagi, kalau mereka ini grupnya Abdurrahman Abdul Kholiq yang sudah dibantah oleh para Ulama.
Bukan satu-dua Ulama, tetapi para Ulama, termasuk Syaikh Muqbil yang di Yaman atau Syaikh Rabi' Ibn Hadi yang di Saudi, yang (keduanya) berjauhan, keduanya membantah Abdurrahman Abdul Kholiq. Demikian pula ulama yang lain, banyak. Ini…??? Datang ke indonesia ke Tengaran itu disambut diberi tempat dan dibikin dauroh oleh Yusuf Utsman Ba’isa - yang sesungguhnya masih misan saya - anaknya paman saya. Seperti itu, (Abdurahman) datang, dikasih tempat, dikasih kesempatan untuk bicara, (lantas) diundang semua para da'i. Waktu itu kita sudah tahu Abdurrahman Abdul Kholiq, tetapi ada berita dia taubat menulis surat kepada Syaikh bin Baz dan menyatakan pernyataan taubatnya, maka pada waktu itu (Ustadz) Ja’far menyuruh saya, "Coba kamu lihat, betulkah sudah taubat !". Maka saya hadir dalam keadaan bertanya-tanya benar sudah taubat atau tidak. Saya duduk dia berbicara, ini pada da’i semua nih, da'i kumpul semua, Abu Nida ada, Sholeh Su’aidi ada, siapa lagi…, semua... Yusuf yang mengundangnya, Ahmas Faiz ada, lengkap, Abu Haidar ada. Kemudian bertanya,"Syaikh, bagaimana mengatakan Yusuf Qardhawi dengan Yusuf Al-Quradly, apa boleh itu ?" - maksudnya ingin menjelekkan Ustadz Ja'far yang pada waktu itu menyebut Yusuf Qordhowi dengan Yusuf Al Qurodly- . Abdurrahman Abdul Khaliq ngamuk, ngamuk besar, saya sampai bengong, dibela mati-matian Yusuf Qordowi. "Afna hayatahu fi da'wah".
Saya mendengar sendiri, ya'ni tidak pakai sanad, sami'tu, tinggal kalian percaya sama saya atau tidak. "Asma biudinayya", saya mendengar dengan telinga saya sendiri. Dia (Abdurahman) mengatakan,"Afna hayatahu fi da'wah, Yusuf Qardhawy ini menghabiskan umurnya dalam dakwah, kemudian kamu cela seperti itu? Wallahi hadza adalah perbuatan Khawarij", kata dia, khawarij itu adalah kafir, kemudian disebutkan tentang kafirnya Khawarij !!!
Saya bingung, satu pembelaannya terhadap Qardhawi mati-matian padahal Qaradhawi adalah aqlani. Sampai Syaikh Muqbil menulis kitab "Iskatu kalbun awi fi roddi ala Yusuf Qordowi, “Mendiamkan anjing yang mengonggong, sebagai bantahan kepada Yusuf Qardhawy”. Disebutkan 'Iskatu kalbun awi fi roddi ala Yusuf Qordowi', ini dibela mati-matian oleh Abdurrahman Abdul Kholiq. Itu yang pertama !!! Dan kemudian yang kedua dia mengkafirkan Khawarij, padahal Ali bin Abi Thalib sendiri mengatakan 'minal kufri farru', justru dari kekufuran mereka lari, kata Ali bin Abi Thalib ketika ada yang mengatakan kufar. Tidak, justru karena takut kafir sampai mereka ekstrim, sampai melampaui batas, kemudian yang ketiga celaannya terhadap Salafiyyin sehabis itu, "Memang salafiyyin itu kaku…" dan seterusnya.
"Wallahi, demi Allah saya mengeluarkan air mata waktu itu, nangis, kenapa ?" Bukan hanya ucapan Abdurrahman Abdul Kholiq yang bejat, tetapi dengan senyum-senyumnya para du'at, kenapa mereka koq senyum senyum melihat ucapan yang kayak gini ini, melihat ini kenapa? Sholeh Su'aidi, kemudian Abu Nida dan sebagainya, seakan-akan tidak ada masalah dan merasa menang bisa mengalahkan Ustadz Ja’far dan Ustadz Muhammad. Nah…, kena lo!!, seakan-akan begitu, senyum-senyum dengan jawaban Qordowi sambil gini-gini, sambil gerakkan badannya, Ajib (aneh, red). Ini juga yang membikin kita sedih. Maka ini dosanya Yusuf Ba’isa menyebarkan kesesatan melalui Abdurrahman Abdul kholiq dan mengundang orang-orangnya. Lantas da'i itu pulang, da'i pulang itu akan disampaikan kepada murid-muridnya, itu Tengaran !!! (markas Al Irsyad, Tengaran, Salatiga, red)
Dan juga termasuk turunannya dari Abdurrahman Abdul Khaliq, karena dia pemimpin organisasi dana bantuan Ihya ut Turots, maka diapun mengucurkan dananya kepada berbagai macam pihak untuk menjadi corongnya, diantaranya Abu Nida cs di Yogya yang kemudian bikin pondoknya, "Bin Baz atau apa ? Kemudian yang di Solo, Ponpes Imam Bukhari dan seterusnya. Kkemudian membiayai untuk menerbitkan majalah As-Sunnah, Al-Furqon, kalau Al Furqon dengan majalahnya mereka, mereka punya majalah Al Furqon, majalahnya sururi Abdurrahman Abdul Kholiq, Abdurrahmaniyun.
Kemudian yang ketiga, turunannya Muhammad Surur. Muhammad Surur punya yayasan di London, di Birmingham, Punya Yayasan namanya Al-Muntada, grupnya, kalau bukan Muhammad Sururnya grupnya, ya.. dan menerbitkan majalah As-Sunnah, sama (namanya) dengan yang di Solo.
Kemudian As-Sunnah ini pertama dipuji oleh Ulama, karena biasa, sururiyun pertama menyebutkan yang bagus-bagus, salafi semua salaf, wah… bagus, dan kemudian bergeser kepada apa yang mereka mau sampai pada titik puncaknya ucapan mereka yang jahat kepada Ulama, yaitu mengatakan bahwa Taghut itu bermacam-macam, ini kata muhammad Surur di dalam majalah As Sunnah, Toghut itu bertingkat tingkat. Toghut yang paling adalah Clinton dan sebentar lagi Bush katanya, menujukkan kalau mereka tahu Fiqhul Waqi’. Jadi setelah Clinton itu pasti Bush, padahal belum diganti pada waktu itu!! Dan Toghut tingkat keduanya adalah para pimpinan-pimpinan negara Arab !! Apa semua pimpinan negara Arab kufar semua ? Atau ada yang kufar? Atau tidak kufar semua? Kok dikatakan Toghut !!? Toghut itu lebih dari kafir sudah. Dikatakan toghut selanjutnya adalah para raja-raja Arab, karena apa? Karena mereka menyembah taghut Bush atau Clinton itu tadi, dan mereka berkiblatnya adalah ke Gedung Putih, bukan ke Kab’ah katanya, termasuk raja Saudi yang dimaksud ? Dan kemudian tingkatan yang ketiga dari Toghut adalah para Ulama-ulamanya, Ulama-ulama Arab, ini yang dimaksud adalah Saudi, kelihatan... Yaitu yang mencarikan fatwa untuk para thaghut-thagutnya. Kalau Toghutnya ingin halal, maka mencarikan dalil untuk menghalalkannya, kalau mereka ingin haram, maka mereka mencari dalil-dalil untuk mengharamkannya. Kalau mereka sedang bertikai dengan Iran maka mereka para ulama-ulamanya mengumpulkan dalil tentang jeleknya Syi'ah, jelaskan maksudnya kemana walaupun disebutnya Arab.
Akan tetapi jelas maksudnya adalah Saudi dan berarti ulamanya adalah ulama yang kita kenal, apakah Syaikh Bin Baz, apakah Syaikh Utsaimin itui yang dimaksud dan lain-lainnya. Kalau berseteru dengan Iran mereka cari dalil tentang jeleknya Syi'ah, dan kalau berseteru dengan Irak, nah ini mulai tambah dekat, karena pada waktu itu kejadian Irak, baru, maka mereka ramai-ramai mencari dalil jeleknya Ba’tsi, dst, Sosialisme. "Mereka ini adalah para penjilat-penjilat munafiqun", katanya.
Dengan tulisan inilah hancur As-Sunnah dan grupnya, sampai para Ulama membantah dengan keras, habis sudah, ditahdzir. Setelah ditahdzir, sebagaimana biasanya mereka selalu berganti pakaian. Ditahdzir ganti pakaian itu biasa. Maka mereka mengatakan, " Memang As-Sunnah itu jelek, As-Sunnah itu ekstrim,… " dan sebagainya.
Akhirnya (mereka) bikin yayasan baru, namanya nama baru, bikin majalah, majalah baru. Yayasannya Al-Muntada, majalahnya adalah Al-Bayan, bukan lagi As-Sunnah tetapi Al Bayan. Sehingga Salafiyyin di Saudi kalau sedang menjelekkan Sururiyyin, mengatakan 'Lakumul Bayan was Sunnah wa lanal Kitab was Sunnah !' “Kamu itu punya Al-Bayan dan As-Sunnah, sedangkan kami berpegang kepada Al-Kitab dan Sunnah.” Maksudnya Al Bayan dan As-Sunnah artinya majalah Al-Bayan, kemudian As-Sunnah. Dan yayasan Al-Muntada London ini membuka cabang di Indonesia. Dan ini tidak pakai sanad lagi, dan saya langsung diajak untuk mendirikannya. Pada saat itu saya tidak tahu apa-apa sama sekali nggak ngerti. Karena seperti biasa mengaku Salaf, saya tidak pernah denger yang namanya Al-Muntada sama sekali, wala (tidak) di London wala di indonesia wala dimanapun !!?
"Ana gak paham makanan apa itu, gak tau". Orangnya. "kita, dakwah Salafiyah di Indonesia perlu diberi dukungan dan sebagainya, kita perlu bikin yayasan dana bantuan untuk membantu Ssalafiyin, untuk membantu salafiyin." Thoyyib (baiklah) kita bikin, saya termasuk pendirinya. Namanya Al-Muntada, persis sama dengan apa yang di London jadi jangan pura-pura, saksinya masih hidup sampai sekarang. Kemudian dalam keadaan saya masih di situ, mereka ganti menjadi Al-Sofwa, lho kok diganti Al-Sofwa ??? Padahal saya gak pernah ikut rapat dan sebagainya. "Tidak, mereka minta ganti nama", selalu demikian setiap ada keputusan. "Apa kita tidak bisa punya pendapat ?". Padahal kita pendiri waktu itu, tetapi semua keputusan Muhammad Kholaf yang bilang, "mereka…, mereka…." Atau dia istilahkan dengan "Ashabi…, ashabi….". “Sahabat-sahabatku minta begini, sahabat-sahabatku minta begini…”, Siapa? Saya berfikir berarti ini ada atasannya, berarti ini adalah cabang dari sana.
Sampai kemudian saya datang kepada Syaikh Rabi’, waktu saya tugas di Qosim di Unaizah saya ada kesempatan ke Madinah mampir, saya ke tempat syaikh Rabi' tanya langsung tentang Al-Sofwah. Dulunya namanya Al-Muntada, " Ah…, Al Muntada?", "Ya, terus ganti dengan Al-Sofwa" . "Al-Muntada sama dengan yang di London?". "Na'am, ya syaikh, katanya begini dan begini", saya terangkan, "Kalau itu betul dari mereka, lihat nanti, mereka akan menjadi penghalang pertama dakwah Salafiyyah". Dan saya tidak ke sana lagi selamanya abadan, abidiina. Dan saya bukan lagi pendirinya Alhamdulillah. Karena dulu kita mendirikan Al-Muntada, kemudian dirubah oleh mereka diganti dan entah tidak mengerti lagi saya pada waktu itu, sudah lain sama sekali.
Dan didalamnya, waktu saya di situ saja pernah kita tegur adanya orang dari IM," Syaikh ini orang dari ikhwan?", "La (tidak, red).., kita tarik supaya jadi Salafy", katanya. Ya sampai hari ini dia masih tetap. Orang Lampung, pada waktu itu da’i Ikhwani, di Lampung digaji oleh Al-Sofwa. Kenapa tahu? Ya, karena sama saya sekelas orang itu di LIPIA dan tahu betul dia ini IM !!?
Sehingga Ikhwana fiddin a'azzakumullah
Sudah ada tiga jalur. Jalurnya Abdul Karim jalurnya ke Alamus Sunnah dan As Sunnah Cirebon dan Abdurrahman Abdul Khaliq, ke Tengaran dan kemudian ke Jogja dan Solo itu, Abu Nida dan Ahmas Faiz. Kemudian Muhammad Surur nya langsung dengan As-Sunnah dan Al-Bayannya masuk ke Al-Sofwah, dan kemudian dari Al-Sofwah ini disebarkanlah majalah Al-Bayan tadi. Dan itu terang-terangan, bundelnya Al-Bayan di Al-Sofwa itu lengkap dan disebarkan di seluruh Indonesia, termasuk ke Solo ke grupnya Ahmas Fais dan grupnya Abu Nida termasuk yang dikirimi, entah itu apakah masih berlanjut, karena saya tidak tahu, ataukah tidak.
Kemudian ternyata mereka juga membantu dana kepada segala macam Ahlul bid’ah, termasuk Ngruki (Ponpes AL Mu'min, Ngruki, kelompok Abu Bakar Ba'asyir, red), Ngruki yang jelas-jelas seperti itu ya'ni pemikirannya pemikiran NII. Kalaupun apakah asli ataukah pecahan saya gak tahu, pokoknya pemikirannya seperti itu, pemikiran Khawarij, KGB, Khawarij Gaya Baru. Itu dibantu, sampai kita tegur, waktu itu.
Itu dalam keadaan masih kita tegur oleh kita, apalagi ketika sudah diboikot, sudah ditahdzir mungkin tambah bebas mereka. Dengan alasan "O.. tidak, kita tidak menyumbang gerakannya mereka, kita hanya menyumbang kitab. Jadi menyumbang kitab itu supaya mereka baca kitab". Ternyata ketika ada seorang yang ke sana, ada gedung baru, gedung perpustakaan bertingkat, gedung besar, tanya : “Ini dibangun dari mana dananya?”, "Anu… dikasih sama Al-Sofwa". Ternyata bukan buku tapi dikasih betul-betul berupa gedung yang alasannya buat perpustakaan. Ini juga dari kedustaan dia, membangun masjidnya ahlul bid'ah, banyak ya…. Hadza Al-Sofwah!!!
Dan Yazid Jawwas mengatakan "Al-Sofwah itu Salafy", padahal tadinya ketika dia masih sama kita dia mengatakan bahwa Al-Sofwa itu ikhwani, Surury, tapi ketika dia bersama mereka sudah meninggalkan Salafiyyin, terus omongnya sudah lain. Jalur apalagi yang belum saya sebut? Sudah ya?.
Dari Al-Sofwa menyebarkan kepada diantaranya yang dibangun Al-Sofwah, dengan da’i-da’inya, dengan biayanya dari A sampai Z adalah pondoknya Asmuji, di Cilacap (Ma'had Imam Syafi'i, red), bahkan sampai diadakan dauroh,yang pengajar-pengajarnya diambil dari grupnya mereka Sururiyin di Riyadh, asli !!! Ini orang Arab mengajarkan bagaimana pemikiran-pemikiran Sururiyyin, (langsung) diajarkan oleh mereka. Yang juga dibantu oleh Al-Sofwa dan dan da'inya dari Al-Sofwah, sampai diadakan dauroh yang mengisi daurohnya adalah IM, IM Arab!!!
Bayangkan yang IM Indonesia saja bahaya apalagi IM Arab, yang biasa pakai bahasa Arab dan pakai dalil-dalil, itu adalah Aunur Rofiq Ghufron, Gresik, yang sampai Sururiyyin sendiri yang hadir ngomong, “Kok yang ngisinya Ikhwan ya?”, (sudah) tahu mereka yang mengisinya adalah Ikhwanul Muslimin, yang menyampaikan adalah anak buahnya Abu Nida yang di Jogja, yang pernah di Pakistan, Abu siapa itu…? Itu yang mengatakan, "Iya, diantara mereka ada ikhwan", katanya.
Bayangkan bukan lagi sururi, tapi ikhwan ini yang mengisi, karena masalah fulus. Diberi mobil, diberi dauroh, diberi bangunan, apa lagi...? Dan ini rasanya sudah terjawab atau paling tidak tersebut semua rangkaiannya dan orang-orangnya juga kan berarti...?
Aunur Rofiq Gufron sudah, Yusuf Baisa sudah kamu tahu, Abu Nida sudah disinggung, Abu Haidar sama dengan Al-Sofwa, karena bekerjasama dengan Al-Sofwa sampai sekarang. Bahkan Al-Sofwa bikin cabang di Bandung dan yang mengurusnya Abu Haidar cs. Adapun Abdul Hakim Amir Abdat dari satu sisi lebih parah dari mereka, dan sisi lain sama saja. Bahwasannya dia ini, dari satu sisi lebih parah karena dia otodidak dan tidak jelas belajarnya, sehingga lebih parah karena banyak menjawab dengan pikirannya sendiri.
Memang (Abdul Hakim) dengan hadits tetapi kemudian hadits diterangkan dengan pikirannya sendiri, sehingga terlalu berbahaya, mengerikan, sampai-sampai dia melepas hijab ketika kajian, "Tidak ada…, mana ? Hijab itu...?", begitu ? Jadi akhwat tidak pakai hijab dengan ikhwan, kemudian dia menertawakan gamis. Ini 'ihtiza bi Sunnah !!! memperolok-olokan Sunnah !!!. Keras sekali hukumnya dalam hukum Islam. Sururiy yang tadi itu tidak sampai separah ini, dia mengatakan kepada teman-teman yang pakai jubah itu bahwa mereka pakai rok katanya. "Ada apa kamu pakai rok? Kayak perempuan"!!! Maksudnya mau membantah, kalau kamu katakan "Inikan Sunnah". Dan dia akan bantah bahwa ini bukan Sunnah, sekalian menonjolkan ilmunya, "nih saya tahu", dengan cara memperolok-olokkan Sunnah !!!
Padahal kalaupun itu adalah Jibliyyah, karena paling sedikitnya adalah Jibiliyyah (sesuatu yang dipakai oleh Rasulullah, namun tidak dianjurkan pada ummatnya dan bukan Sunnah). Itupun para Ulama mengatakan, "Tidak boleh diperolok-olokkan". Kenapa? Karena kalau memperolok-olokan berarti memperolok-olokan apa yang dipakai Rasul. "Hadza adzim, besar sekali di sisi Allah!!! Ini kekurangan ajarannya Abdul Hakim ini disebabkan karena dia menafsirkan seenak sendiri dan memahami seenaknya sendiri. Tafsirnya dengan Qultu, "saya katakan, saya katakan", begitu. "Ya.., di dalam riwayat ini…ini… dan saya katakan...", seakan-akan dia kedudukannya seperti para ulama, padahal dari mana dia belajarnya !!?
Ini yang jadi masalah sehingga banyak yang disaksikan oleh teman-teman yang perlu diteliti lagi, itu banyak berita-berita tentang Abdul Hakim, yang dia ngobrol dengan perempuan tanpa hijab sama sekali, pakai celana panjang, pakai kaos ketat, ketika ditegur, "Saya sedang menasehati", terus juga dia masih merokok, kemudian juga masih sering musbil, masih sering pakai pantalon, karena dia mencela gamis dia pakai pantalon, celana ketat yang sampai disebutkan oleh Syaikh Yahya Al Hajuri di Yaman. Ketika ditanyakan tentang Abdul Hakim, "Siapa ?" lalu diterangkan kemudian sampai pada pantalon (celana tipis yang biasa dipakai untuk acara resmi ala Barat, red). “Hah huwa Mubanthal (pemakai panthalon, celana panjang biasa yang memperlihatkan pantatnya dan kemaluannya itu) ?. Dijawab, "Iya syaikh". "Allah, yakfi, yakfi, yakfihi annahu mubanthal." Cukup kamu katakan dengan dia memakai panthalon saja untuk dikatakan 'Jangan mengaji sama dia”. Sudah cukup bagi saya, apalagi yang lebih dari itu.
Seorang da'i Seorang yang mengajarkan Sunnah maka harus dimulai dari dirinya untuk memakai yang tidak membentuk pahanya dan pantatnya, itu sudah harus. Ini ketika ditanyakan kepada Syaikh Yahya Al Hajuri, ada catatannya, ada kasetnya. Ini Abdul Hakim Abdad !!?.
Jadi ikhwana fiddin a'azzakumullah, maka untuk selebihnya kalian harus mengkaji kitab-kitab bagaimana sikap Ulama terhadap ahlul bid’ah, karena ini yang paling ditakuti oleh Sururiyyin. Kalau saja disini ada seratus orang, diantara mereka ada Surury, tapi kita nggak tahu yang mana lalu antum ajarkan kitab-kitab Manhaj, dia akan panas, gelisah seperti jin diruqyah, 'imma (bisa jadi) lari, imma membantah'. Protes, imma dia bingung, atau yang paling baiknya sadar saat itu - Alhamdulillah kalau begitu-.
Sehingga kajian manhaj itu sangat penting, atau khususnya. Karena manhaj itu luas sekali, semua kitab-kitab para Ulama semuanya manhaj. Kitab-kitab yang berbicara tentang sikap Ahlus Sunnah terhadap ahlul bid’ah. Nanti kita akan melihat betapa jahatnya tokoh-tokoh yang ditanyakan tadi ini. Jahat, sangat. Para ulama sedemikian kerasnya terhadap ahlul bid'ah dan begitu hati-hatinya sampai memperingatkan ummat untuk hati-hati terhadap mereka, ini malah mengatakan, "Tidak apa-apa, mereka punya kebaikan", sehingga terlihat 180 derajat antara para ulama dengan sururiyyin ini.
Setelah kita membaca seperti apakah kitabnya Lamuddurul Mantsur, atau kitab yang baru saya dapatkan ini Ijma’ dari Para Ulama tentang Tahdzir terhadap ahlul bid'ah terus kitab…
Bahkan sesungguhnya pada kitab-kitab para Ulama yang berbicara tentang Manhaj Ahlus Sunnah itu selalu ada bab khusus tentang Bab Wajibnya Kita untuk Menjauhi Ahlil Bid'ah. Mesti, hampir setiap kitab As-Sunnahnya Al Barbahari ada keterangan tentang masalah itu, kemudian Abu Utsman Ashabuni, Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, ada bab itu. Bahwa ciri Ahlus Sunnah adalah benci terhadap ahlul bid’ah, dan menjauhi ahlil bid'ah dan mentahdzir ahlul bid’ah.
Dalam Syarhus Sunnah dalam Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, kemudian dalam Syariah Al-Ajurry, kemudian Minhaj Firqatun Najiyah Ibnu Baththah, itu semua ada. Yang menunjukkan mereka semua sepakat untuk memperingatkan ummat dari ahlul bid'ah dan mentahdzir ahlul bid'ah, membenci mereka, menghajr mereka, memboikot mereka dan tidak bermajlis dengan mereka, itu sepakat. Sehingga apa yang mereka sebarkan dari prinsip-prinsip ikhwaniyyah dan Sururiyyah ini, adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan Sunnah Rasulullah, dan bertentangan dengan 180 derajat.
Wallahu Ta'ala A'lam bish Showab.
Subhanaka Allahuma wabihamdika, asyadu anlaa ilaaha illa anta, astaghfiruka, wa atubu ilaik.
Sekali lagi untuk lebih jelasnya dengan kajian kitab tadi.
Pertanyaan :
Bagaimana tentang subhat mereka yang menyatakan, “Bahwa mereka salafy, kenapa tidak mau menghadiri daurah di Surabaya yang mendatangkan Syaikh Ali Hasan?”. Itu syubhat yang sering mereka lontarkan kepada kita.
Jawaban Ustadz Muhammad:
Pernah ditanyakan tentang kepada Syaikh Yahya Al Hajuri tentang masalah syaikh Ali Hasan Abdul Hamid yang datang ke Surabaya. Ditanyakan, "Bagaimana Syaikh, ada suatu majelis yang didatangi Ali Hasan dan sebagainya, dari Urdun dan yang hadir disana campur, ada Ahlus Sunnah. ada ahlul bid’ah, ada berbagai macam kelompok, sururi dan sebagainya. Apakah dibenarkan kami tidak datang ke sana, karena tidak mau ketemu dengan mereka, dengan ahlil bid'ah ini?
Kata Syaikh: “Ada mereka di sana? Wallahi, saya berpendapat bahwa bukan saja boleh, tidak perlu kamu duduk disana untuk hadir di majelis seperti itu. Kamu bisa hadiri majlis-majlis lain dari para Ulama dan kamu bisa membaca kitab para Ulama, kamu bisa mendengarkan kasetnya, dengan berbagai macam cara daripada kamu duduk dengan ahlil bid'ah.” Sampai seperti itu, dan beliau terheran-heran dengan syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
Wallahu ta’ala a’lam.
Pertanyaan :
Bagaimana dengan Abu Qatadah yang sedang mereka elu-elukan?
Jawaban Ustadz Muhammad:
Abu Qatadah ini sebuah contoh yang bagus untuk menunjukkan akibat duduk dengan ahlul bid’ah. Abu Qatadah ini datang dari Yaman, dari Yaman mereka sudah sama-sama paham, sampai datang ke Indonesia, diajak kakaknya ketemu Abu Nida dan kemudian di sana ngobrol, kemudian hilang nggak balik lagi. Abu Qatadah. Jadi mereka merasa bangga punya lulusan Yaman, lulusan Syaikh ini.
Karena merasa dapat satu orang dari Yaman, karena yang belajar dari Yaman Salafiyyin semuanya, adapun Sururiyyin, tidak cocok di Syaikh Muqbil, akhirnya pindah ke tempat Abul Hasan, seperti Sholeh Su’aidi, akhirnya sekarang. Abul Hasan ditahdzir, jadi nasib mereka tetap tidak berubah, mereka ingin mendapat stempel Salafiyyin, namun setelah duduk di Syaikh tidak betah karena dibantai terus sama teman-teman, kemudian pindahnya ke Abul Hasan. Ternyata dengan bangga ditulis, akan diisi oleh Sholeh Su’aidi, murid Abul Hasan Al-Misri, na'am, daurah di Purwokerto. Ana bilang kasihan mereka nggak tahu, Abul Hasan sudah ditahdzir dengan keras oleh para Ulama, mereka mengelu-elukan orang yang sudah ditahdzir oleh para Ulama. Abul Hasan kasar sekali ucapannya terhadap Syaikh Rabi’ dan kurang ajar betul. Dan para Ulama sudah marah kepada Abul Hasan, bahkan bukan Abul Hasannya, pembela-pembelanya kena dan ikut jatuh, jatuh bareng, termasuk di antaranya adalah da’i Yordan. Wallahu a’lam siapa yang dimaksud, karena yang disebutkan hanya da’i Yordan, Urduniyyin, Yordan setelah ditinggal Syaikh Albany lemah katanya. Sedang ramai pula di tingkat tinggi para Ulama, tentang Abul Hasan.
(Ceramah ini ditranskrip oleh ikhwan Bandung, dari kaset Ustadz Muhammad Umar As Sewed yang direkam saat beliau ditanya oleh Abu Tsumamah, ikhwan Tangerang di rumah kediaman beliau, beberapa bulan yang lalu. Transkrip ini sudah dikonfirmasikan kepada Ustadz Muhammad As-Sewed seusai beliau Khutbah Iedul Adha di Perumnas Guntur, Cirebon, 10 Dzulhijjah 1424 H. Ustadz Muhammad Umar As Sewed adalah Pengajar di PonPes Dhiyaus Sunnah Cirebon. Kaset/CDnya ada di TASJILAT AS-SALAFIYYAH, Jl. Sekelimus VII No.11 Bandung, Telp. (022) 7563451). [Sumber Asli : http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=496])
Alhamdulillah, ama ba’du
Ikhwani fiddin a’azakumullah...
Disini ada pertanyaan yang berkaitan dengan fitnah Sururiyyah. Dan berkaitan pula dengan tokoh-tokohnya dan orang-orangnya. Ditanyakan disini dari mulai Abu Qatadah (Da'i Al Sofwah Jakarta, red), Abu Haidar (As Sunnah, Bandung, red),Yazid Jawwas (rekan Abdul Hakim Abdat, da'i Al Sofwah/Al Haramain, red), Abu Nida' (At Turots, Jogjakarta red), Aunurofiq Gufron (Ma'had Al Furqan, Gresik, red), Yusuf Bai’sa (Ma'had Al Irsyad, Tengaran, Salatiga, red), Abdurrahman Abdul Kholiq, Ainul Harits, Arifin, Abdul hakim Abdat (da'i Al Haramain/Al Sofwah), dan lain-lainnya. dan kemudian ditanyakan pula Al-Sofwa, At Turots, Al Irsyad, dan lain-lain.
Tentunya lebih tepat kalau saya jawab dari belakang dulu, dari organisasinya dulu, dan lebih bagus lagi kalau saya menerangkan pada antum tentang fikrohnya dulu, ya’ni fikroh sururiyyah dulu . Ya’ni Sururiyyah berasal dari kata Surur atau dari nama Muhammad Surur Nayif Zainal Abidin. Muhammad Surur adalah seorang yang tadinya Ikhwanul Muslimin (IM), kemudian dia keluar dari IM, dan kemudian mengaku Salafy. Orang yang sejenis Muhammad Surur ini banyak, seperti Abdurrohman Abdul Khaliq itupun dari IM kemudian keluar dan kemudian mensyiarkan dirinya sebagai salafy. Atau mengaku salafy.
Orang-orang jenis ini mereka keluar Ikhwanul Muslimin dari Harokah IM, atau partai politik IM atau keluar dari kelompok firqoh IM, dan menyatakan taubat dari IM, dan menyatakan taubat "saya keluar dan saya taubat" seperti juga Muhammad Quthub itu juga mengaku kelauar dan kembali kepada salaf , tetapi dalam perjalanan mereka yang katanya mau kembali kepada Salaf, ternyata masih memiliki fikroh ikhwaniyyah. Fikrohnya Ikhwanul Muslimin atau prinsip cara berfikir Ikhwanul Muslimin. Yang tentunya kita harus tahu bahwasannya prinsip IM ini berarti atau prinsip Sururiyyah ini berari sama dengan prinsip IM sesungguhnya, hanya beda istilah saja.
Apa yang dikatakan oleh para IM juga diucapkan pula oleh Sururiyyin, hakikatnya. Dengan cara dan bentuk istilah yang berbeda tapi intinya sama maka. Kalau begitu sururiyyah sama dengan ikhwaniyah dan kita perlu menerangkan tentang Ikhwanul Muslimin itu sendiri. Ikhwanul Muslimin, prinsip bid’ah mereka yang menjadikan mereka menjadi kelompok sempalan yang keluar dari Ahlus Sunnah adalah karena mereka memiliki prinsip “Nata’awan fima tafakna wa na’dziru ba’dina ba’don fi makhtalahna”, kata mereka, "Kita saling kerjasama apa yang kita sepakati dan kita hormat-menghormati saling memaklumi apa yang kita berbeda".
Iini prinsipnya IM, saya ulangi Nata’awan fima tafakna, "Kita saling kerja sama saling bantu membantu dalam apa yang kita sama, kita sepakati dan kita memaklumi hormat menghormati, dengan apa yang kita berbeda". Dengan prinsip ini IM tidak menganggap ada ahlil bid’ah sama sekali, semuanya kawan tidak ada lawan. "Ahlil bid’ah mereka sama-sama sholat dengan kita, maka kita tolong menolong dalam apa yang kita sepakati, mereka sama-sama…", pokoknya apa yang kita sama kita kerja sama, ini IM. Sehingga Hasan Al-Banna, At-Turobi, dan sekian banyak tokoh-tokoh mereka selalu berusaha menggabungkan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan mereka mengatakan yel-yel "Laa Syarqiyyah, Laa Gharbiyyah, Laa Sunniy, wa Laa Syi’ah, Islamiyyah, Islamiyyah," itu yel-yel yang selalu mereka dengungkan anasid dengan sair, dengan nyanyi dengan ikrar, "Tidak Timur tidak Barat, tidak Sunni tidak Syi’ah yang penting Islam" - kata mereka -, ini prinsip mereka yang kemudian ditebarkan pada masyarakat. "Kalian jangan ribut terus, sudahlah jangan saling menyalah-nyalahkan, semuanya apakah dia salaf apakah dia sufi, apakah dia mutazili, syiah, semua itu saudara, semua muslimin. Apa yang kita sama kita tolong menolong dan apa yang kita beda, kita hormat-menghormati", katanya begitu. Ini sepintas kilas perkaranya agak masuk akal, "Iya ya, kalau nggak gini gak akan bersatu ? ". Ya, sepintas kilas kalau kalau dipikir akal saja.
Padahal kata para ulama prinsip ini akan meruntuhkan agama secara keseluruhan dan prinsip ini menggugurkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. [ketika kamu] mau mengingkari kebid’ahan, [mereka katakan: ] “...jangan ya akhi kita harus saling menghormati, kita jangan menyalahkan mereka." Begitulah, sehingga tidak ada amar ma’ruf nahi munkar. Dan berarti membolehkan manusia berjalan di jalan bid’ah manapun, ini sudah jelas sesatnya. Sehingga di dalam Ikhwanul Muslimin, jangan kamu kira mereka sama statusnya, fikirannya, aqidahnya.
Di kalangan IM ada Sufi, Syi’ah,ada semua ahli bid’ah kecuali Salafy. Kenapa? Yang Salafy dalam masalah Aqidahnyapun prinsipnya tetap prinsip ikhwan. Prinsip Aqidahnya yang katanya Salafy, tetapi tetap menghormati Ahlul Bid’ah. Dan ternyata ini adalah yang namanya Sururiyyin. Dalam aqidah katanya mempelajari aqidah Salaf - katanya -, tetapi prinsipnya sama, sesama ahlul bid’ahpun harus saling menghormati dan sebagainya. Ini prinsip utamanya.
Namun sekarang ketika orang-orang yang dulunya keluar dari IM tadi apakah Muhammad Surur apakah Abdurrahman Abdul Kholiq apa Muhammad Qutub dan menyatakan "IM itu salah, IM itu sesat kami kembali kepada Salaf". Ternyata mereka mengajarkan aqidah Salaf, mengajarkan aqidah Salaf sehingga sama dengan Salafiyyin, tetapi mereka tetap mengatakan bahwa, "...ahlul bid’ah juga punya kebaikan, jadi jangan dimusuhi 100 persen, mereka juga punya kebaikan, kita bisa ambil kebaikan dari mana saja." Nah ini lihat, kalimat, "mereka juga punya kebaikan, kita bisa ambil kebaikan dari mana saja". Itulah sesungguhnya terjemahan dari apa yang dikatakan Ikhwanul Muslimin, yaitu saling hormat-menghormati, inilah yang akhirnya menjadi masalah.
Akhirnya segala macam orang-orang yang keluar dari IM yang dielu-elukan taubat - masya Allah-, sebagai seorang Salafy sekarang. Ternyata warnanya kok lama kelamaan agak berbeda kok aneh, kok agak beda, ketika tambah jauh, tambah kelihatan berpisahnya antara para Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, Salafiyyun dengan tokoh-tokoh mereka. Agak berbeda, terus begitu, kemudian dalam masalah sikap pemerintah juga berbeda, dalam masalah politik juga berbeda, mereka sama seperti IM.
Sekali lagi sama, cuma istilah-istilahnya yang berbeda. Mereka mengatakan pentingnya Tsaqofah Islamiyyah, ini Ikhwanul Muslimin. Tsaqofah Islamiyah adalah wawasan. Kata Ikhwanul Muslimin, "Kita jangan terpaku dengan Quran Sunnah saja, tetapi tidak mengerti situasi dan kondisi politik yang ada, kita harus ikut menyaksikan kondisi politik sepaya kita bisa bersikap supaya kita bisa berjuang dengan jihad politik", katanya. Itu IM, terang-terangan mengatakan jihad politik. Makanya banyak istilah-istilah yang dipakai oleh para politikus sekarang ini, ada jihad politik, ada apa segala macam itu, itu karena diantaranya mereka banyak terbawa dengan tokoh-tokoh IM di dalam partai Keadilan dan sejenisnya. Kemudian mereka yang telah keluar dari IM, ternyata fikrah-fikrah itu masih ada, tetapi istilahnya agak ganti dengan bahasa Fiqhul Waqi’. Salman Audah, A’idh Al Qorni, kemudian siapa lagi … Muhammad Surur dan sebagainya semuanya mengelu-elukan, “Jangan kita selalu Kitab Sunnah, Kitab Sunnah, tetapi tidak memperhatikan lingkungan kita, lingkungan situasi-kondisi kita tidak tahu, kita harus tahu, kita harus belajar satu ilmu namanya Fiqhul Waqi’, memahami kenyataan yang terjadi". Sama toh dengan yang tadi? Kalau tadi dengan istilah Tsaqofah, sekarang dengan istilah Fiqhul Waqi.
Abdurrahman Abdul Khaliq ketika Fiqhul Waqi’nya dibahas oleh para Ulama, lain lagi dia istilahnya bukan Fiqhul Waqi’, tetapi setali tiga uang, persis. Kata Abdurrahman Abdul Kholiq, "Kita dalam memahami, dalam berdakwah ini selain ini, kita harus punya Shifatul ‘Asr". Ini istilahnya Abdurrahman Abdul Kholiq. Apa shifatul ‘Ashr ? Al ashriyah dengan gaya bahasa dia bilang "Ashriye, kita harus tahu Al Ashriye", yakni 'keadaan kondisi situasi politik yang ada', begitu, sama ternyata. Dan ingat bukan berarti Ahlussunnah wal jamaah dan para Ulamanya menentang perlunya fiqhul waqi’ atau tsaqofah atau shifatul Ashr bukan menolak perlunya. Perlu tetapi itu berada di bawah, di bawah dan di bawahnya dan hukumnya fardu kifayah. Bukan harus apalagi wajib apalagi diutamakan di atas ilmu-ilmu lain. Ini mereka menggembar-gemborkan dengan keras dan mereka mengangkat setinggi-tingginya, ilmu yang besar, ilmu yang tinggi yaitu fiqhul waqi’, shifatul ashriye dan seterusnya.
Kenapa sih? Ada apa sih? Kok mereka menggembar-gemborkan itu. Sama dengan Salaf mereka, Salaf mereka lho ya, yang tidak shalih yaitu Ikhwanul Muslimin. Sama yaitu ingin mengangkat tokohnya tapi tidak punya ilmu yang menonjol, mau mengangkat tokohnya ini, ingin mengangkat Sayyid Qutub, dari sisi apa? Dia ahli dalam bidang apa? Ibn Katsir ahli dalam bidang tafsir sehingga disebut sebagai ahli tafsir dan seterusnya. Kemudian para Ulama, Syaikh Utsaimin, Syaikh Bin Baz, fuqoha ahli faqih - masya Allah-. Dan para ulama terkenal dengan ilmu mereka sehingga ada yang disebut sebagai Faqih, Ahli Tafsir, Muhadits seperti Syaikh Al-Albany, ada yang disebut sebagai Mufassir ahli tafsir, dan sebagainya. Lantas, mereka mau mengangkat tokoh-tokonya ini, mau mengangkat Sayyid Quthub. Ini mau dimasukkan ke golongan mana ? kepada Mufassirin, bukan ahli tafsir, mau digolongkan Muhaditsin, bukan ahli hadits, mau digolongkan Fuqoha bukan ahli fiqih, ini ahlinya apa? Akhirnya mereka muncul ide, 'ini orang walaupun dalam masalah itu tidak menonjol', tetapi ia memiliki ilmu yang penting, yaitu memahami situasi dan kondisi politik, situasi dan kondisi masyarakat dan sebagainya, ini ahli ini orang, jadi kita harus angkat Fiqhul Waqi.
Jadi kata syaikh Robi dan kata ulama lain yang mengatakan bahwa istilah Fiqhul Waqi, adalah untuk mengangkat tokoh-tokohnya, jadi diapun ‘alim minal ulama'. Ahli di bidang apa? Ahli di bidang Fiqhul Waqi’. Jadi kamu 'ngertinya' fiqhul syari’ah, fiqhul ahkam, ini fiqhul waqi’ ??? Dan - subhanallah - ini diikuti oleh para sururiyyin.
Diantaranya Haddatsana Umar Jawwas, qola sami’tu Abdul Malik (seorang Surury yang belajar di Riyadh sama tokoh sururi disana namanya Abdul Karim, yang ini turunannya membikin pondok 'Alamus Sunnah di Bogor dan As-Sunnah di Cirebon), katanya : "Bahwasanya Ulama itu ada dua, ada Ulama Syumul, ada Ulama Takhossus". Dan ada sanad lain, sanadnya saya dengar dari Yahya Ba’adil (kakak Yazid Ba’adil, Jember), ini sanadnya lebih 'ali (tinggi), dia pulang dari Riyadh, duduk sepesawat dengan Abdul Karim (tokoh yang tadi itu), setelah tanya jawab, dia masih belum kenal betul siapa dia. Terus cerita kepada saya : "Kemarin ketemu orang namanya Abdul Karim, begini-begini… "; [ana bilang: ] "Hah, ente ketemu, ngomong apa dia [Yahya Ba'adil] ?", dia bilang katanya : "Ulama itu ada dua ada ulama Takhosus dan ada ulama Syumul".
Ulama Takhosus itu ulama dalam bidang fiqih, ya (yang diketahui) fiqih saja, ahlu tafsir, tafsir saja, ahli hadits, hadits saja, tapi tidak mengerti yang lain. Adapun Ulama Syaamil (katanya), ulama lengkap, yaitu ulama yang mengerti semuanya itu dan mengerti Fiqhul Waqi'. Jadi ...? Ustadz Muhammad : "Siapa yang dimaksud itu, ente nggak tanya?", jawab Yahya : "Iya saya nggak tanya". Ustadz Muhammad, "Coba tanya…". Ustadz Muhammad :"Ana bilang, sesungguhnya kalau dia ditanya yang dimaksud takhosus tuh, Syaikh Albani hadits saja, Syaikh bin Baz,… karena sudah dikatakan dalam majlis-majlis lain mereka bilang begitu, "Syaikh bin Baz itu ngerti apa tentang politik", begitu katanya. "Mereka tuh ngerti apa, sehingga percuma fatwanya gak diterima", jadi mereka menganggap ulama yang Syumul itu Qaradlawi (Yusuf Qardlawi, red), Muhammad Ghozali, Sayyid Qutub (pengarang Fi Dhilalil Qur'an, red) dan sebagainya itu tadi.
(Ulama yang) dikatakan lengkap, karena dia mengikuti apa yang terjadi. sedangkan ulama-ulama tadi itu ulama Takhosus khusus itu saja di bidangnya, sehingga, kata orang tadi, "Kalau kita meminta fatwa tentang politik jangan sama mereka, jangan tanya sama mereka karena fatwanya nggak bisa diterima, mereka nggak ngerti Fiqhul Waqi', karena mereka nggak ngerti shifatul 'ashr, karena mereka nggak, mengerti apa itu tadi, tsaqofah".
Jadi tanyanya sama… akhirnya ditulislah buku Dalilut-Tholibah oleh Muhammad Kholaf, judul bukunya Dalilut Tholibah, Bimbingan untuk pelajar Putri, isinya ? Ketika masalah ahkam dan sebagainya dari Syaikh Muhammad Al Utsaimin yang dinukil, dan habis itu ada tanya jawab dalam masalah Da’wah dijawab oleh Salman bin Fahd Al Audah. Ini menunjukkan prinsipnya dia Muhammad Khalaf adalah pendiri Al-Sofwa, nah terjawablah (apa dan siapa itu) Al Sofwah.
Jadi dia menulis buku itu dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tidak tahu apa judulnya dalam bahasa Indonesia. Jadi begitu ketika masalah fiqih, syaikh Utsaimin, ketika masalah dakwah, nggak terima Syaikh Utsaimin, "Salman Audah yang lebih mengerti Fiqhul Waqi'". Inilah model-model sururiyin. Apakah Ikhwanul Muslimin, ataupun Sururiyyin, atau nanti ada nama lainnya, jenis lainnya, maka mereka semua prinsipnya sama bahwa mereka akan menjauhkan para Salafiyyin dari Ulamanya dan mereka berusaha mentaqrib (mendekatkan) Ahlus Sunnah dengan Ahlul bid’ah. Maka kamu lihat tokoh-tokohnya, satu-satu tadi itu, bagaimana keadaannya, bagaimana Yazid Jawwas dengan tokoh-tokoh Dewan Da’wah (DDII, red) dan tokoh-tokoh IM, bagaimana Yusuf Ba’isa dengan Salim Bajri, yang mu’tazilah yang menolak Hadits Shahih Bukhari.Katanya (Salim Bajri) : “Jangan taqlid dengan Imam Bukhari!”. Ini (si Salim) masih tetep bareng dengan Yusuf Ba'isa sekarang ini. Lalu, apa lagi yang lebih besar dari itu !!?.
Kita yang kemarin terpaksa ketemu dengan ahlul bid’ah itu gemetarnya sampai hari ini belum hilang."Wa atuubu ilallah", karena masalah kemarin sampai Laskar Jihad yang sudah besar kita beberkan, karena masalah itu tadi yang kita takuti. Bagaimana kita bergaul dengan ahlul bid’ah, "Tidak !!!, coret !!?. Silang!!! Habis.!!!" Masa-masa itu kita tutup!. Kalau sampai jihad membawa kita kepada pergaulan dengan ahlul bid’ah seperti itu, tidak ada jihad-jihadan. Bathil (keliru), bubar, khan begitu !!! Ini…? Tidak dalam keadaan jihad atau bukan jihad bukan dalam perjuangan, bukan perang, bukan dalam keadaan apapun, sama mereka 'ahlan-ahlanan' (lemah-lembut, red). Buat acara bersama, bikin pertemuan bersama dan seterusnya!!?.
Dan kemudian, baru setelah kita jawab beberapa tokoh, Muhammad Sururnya, Abdurrahman Abdul Kholiqnya, dan kemudian Salman Audah, kemudian Abdul Karim Al Katsiri dari Riyadh, nah ini mereka !. Kemudian dari sisi politiknya, mereka membolehkan masuk ke dalam parleman atau masuk dalam partai-partai. Tidak mesti diantara mereka sampai masuk ke dalam marhalah ini. Diantara mereka masih marhalah satu, ada yang marhalah dua ada yang ketiga ada yang sudah keempat. Tetapi ciri yang umum adalah itu tadi, yaitu mereka bergampang-gampang dengan dengan Ahlul Bid’ah, meremehkan ahlul bid'ah, maksudnya meremehkan itu, meremehkan bahayanya.
Bukan artinya kita mengecilkan, jelas kita juga mengecilkan mereka, tetapi yang dimaksud adalah mereka meremehkan bahayanya ahlul bid'ah. "Mereka juga punya kebaikan, mereka juga punya suatu kelebihan, kita diperintahkan oleh Allah untuk mengambil ilmu dari mana saja, jangan lihat siapa yang berbicara, lihat ucapannya bagaimana ?" Jadi ucapannya yang kita lihat, orangnya siapa saja ahlul bid'ah atau Ahlus Sunnah", begitu ? Ini sudah terucap dari Yusuf Ba'isa banyak, entah dari yang lain saya belum tahu. Maka mereka ini ada ternyata turunannya Abdul Karim Al Katsiri turunannya mendirikan pondok, membiayai di 'Alamus Sunnah Bogor dan di Cirebon ini, As Sunnah. Kemudian Abdurrahman Abdul Khaliq, Tengaran, membiayai, membantu, mengirimkan orangnya dan datang ke Tengaran. Jadi sudah tidak bisa diingkari lagi, tidak bisa diingkari lagi, kalau mereka ini grupnya Abdurrahman Abdul Kholiq yang sudah dibantah oleh para Ulama.
Bukan satu-dua Ulama, tetapi para Ulama, termasuk Syaikh Muqbil yang di Yaman atau Syaikh Rabi' Ibn Hadi yang di Saudi, yang (keduanya) berjauhan, keduanya membantah Abdurrahman Abdul Kholiq. Demikian pula ulama yang lain, banyak. Ini…??? Datang ke indonesia ke Tengaran itu disambut diberi tempat dan dibikin dauroh oleh Yusuf Utsman Ba’isa - yang sesungguhnya masih misan saya - anaknya paman saya. Seperti itu, (Abdurahman) datang, dikasih tempat, dikasih kesempatan untuk bicara, (lantas) diundang semua para da'i. Waktu itu kita sudah tahu Abdurrahman Abdul Kholiq, tetapi ada berita dia taubat menulis surat kepada Syaikh bin Baz dan menyatakan pernyataan taubatnya, maka pada waktu itu (Ustadz) Ja’far menyuruh saya, "Coba kamu lihat, betulkah sudah taubat !". Maka saya hadir dalam keadaan bertanya-tanya benar sudah taubat atau tidak. Saya duduk dia berbicara, ini pada da’i semua nih, da'i kumpul semua, Abu Nida ada, Sholeh Su’aidi ada, siapa lagi…, semua... Yusuf yang mengundangnya, Ahmas Faiz ada, lengkap, Abu Haidar ada. Kemudian bertanya,"Syaikh, bagaimana mengatakan Yusuf Qardhawi dengan Yusuf Al-Quradly, apa boleh itu ?" - maksudnya ingin menjelekkan Ustadz Ja'far yang pada waktu itu menyebut Yusuf Qordhowi dengan Yusuf Al Qurodly- . Abdurrahman Abdul Khaliq ngamuk, ngamuk besar, saya sampai bengong, dibela mati-matian Yusuf Qordowi. "Afna hayatahu fi da'wah".
Saya mendengar sendiri, ya'ni tidak pakai sanad, sami'tu, tinggal kalian percaya sama saya atau tidak. "Asma biudinayya", saya mendengar dengan telinga saya sendiri. Dia (Abdurahman) mengatakan,"Afna hayatahu fi da'wah, Yusuf Qardhawy ini menghabiskan umurnya dalam dakwah, kemudian kamu cela seperti itu? Wallahi hadza adalah perbuatan Khawarij", kata dia, khawarij itu adalah kafir, kemudian disebutkan tentang kafirnya Khawarij !!!
Saya bingung, satu pembelaannya terhadap Qardhawi mati-matian padahal Qaradhawi adalah aqlani. Sampai Syaikh Muqbil menulis kitab "Iskatu kalbun awi fi roddi ala Yusuf Qordowi, “Mendiamkan anjing yang mengonggong, sebagai bantahan kepada Yusuf Qardhawy”. Disebutkan 'Iskatu kalbun awi fi roddi ala Yusuf Qordowi', ini dibela mati-matian oleh Abdurrahman Abdul Kholiq. Itu yang pertama !!! Dan kemudian yang kedua dia mengkafirkan Khawarij, padahal Ali bin Abi Thalib sendiri mengatakan 'minal kufri farru', justru dari kekufuran mereka lari, kata Ali bin Abi Thalib ketika ada yang mengatakan kufar. Tidak, justru karena takut kafir sampai mereka ekstrim, sampai melampaui batas, kemudian yang ketiga celaannya terhadap Salafiyyin sehabis itu, "Memang salafiyyin itu kaku…" dan seterusnya.
"Wallahi, demi Allah saya mengeluarkan air mata waktu itu, nangis, kenapa ?" Bukan hanya ucapan Abdurrahman Abdul Kholiq yang bejat, tetapi dengan senyum-senyumnya para du'at, kenapa mereka koq senyum senyum melihat ucapan yang kayak gini ini, melihat ini kenapa? Sholeh Su'aidi, kemudian Abu Nida dan sebagainya, seakan-akan tidak ada masalah dan merasa menang bisa mengalahkan Ustadz Ja’far dan Ustadz Muhammad. Nah…, kena lo!!, seakan-akan begitu, senyum-senyum dengan jawaban Qordowi sambil gini-gini, sambil gerakkan badannya, Ajib (aneh, red). Ini juga yang membikin kita sedih. Maka ini dosanya Yusuf Ba’isa menyebarkan kesesatan melalui Abdurrahman Abdul kholiq dan mengundang orang-orangnya. Lantas da'i itu pulang, da'i pulang itu akan disampaikan kepada murid-muridnya, itu Tengaran !!! (markas Al Irsyad, Tengaran, Salatiga, red)
Dan juga termasuk turunannya dari Abdurrahman Abdul Khaliq, karena dia pemimpin organisasi dana bantuan Ihya ut Turots, maka diapun mengucurkan dananya kepada berbagai macam pihak untuk menjadi corongnya, diantaranya Abu Nida cs di Yogya yang kemudian bikin pondoknya, "Bin Baz atau apa ? Kemudian yang di Solo, Ponpes Imam Bukhari dan seterusnya. Kkemudian membiayai untuk menerbitkan majalah As-Sunnah, Al-Furqon, kalau Al Furqon dengan majalahnya mereka, mereka punya majalah Al Furqon, majalahnya sururi Abdurrahman Abdul Kholiq, Abdurrahmaniyun.
Kemudian yang ketiga, turunannya Muhammad Surur. Muhammad Surur punya yayasan di London, di Birmingham, Punya Yayasan namanya Al-Muntada, grupnya, kalau bukan Muhammad Sururnya grupnya, ya.. dan menerbitkan majalah As-Sunnah, sama (namanya) dengan yang di Solo.
Kemudian As-Sunnah ini pertama dipuji oleh Ulama, karena biasa, sururiyun pertama menyebutkan yang bagus-bagus, salafi semua salaf, wah… bagus, dan kemudian bergeser kepada apa yang mereka mau sampai pada titik puncaknya ucapan mereka yang jahat kepada Ulama, yaitu mengatakan bahwa Taghut itu bermacam-macam, ini kata muhammad Surur di dalam majalah As Sunnah, Toghut itu bertingkat tingkat. Toghut yang paling adalah Clinton dan sebentar lagi Bush katanya, menujukkan kalau mereka tahu Fiqhul Waqi’. Jadi setelah Clinton itu pasti Bush, padahal belum diganti pada waktu itu!! Dan Toghut tingkat keduanya adalah para pimpinan-pimpinan negara Arab !! Apa semua pimpinan negara Arab kufar semua ? Atau ada yang kufar? Atau tidak kufar semua? Kok dikatakan Toghut !!? Toghut itu lebih dari kafir sudah. Dikatakan toghut selanjutnya adalah para raja-raja Arab, karena apa? Karena mereka menyembah taghut Bush atau Clinton itu tadi, dan mereka berkiblatnya adalah ke Gedung Putih, bukan ke Kab’ah katanya, termasuk raja Saudi yang dimaksud ? Dan kemudian tingkatan yang ketiga dari Toghut adalah para Ulama-ulamanya, Ulama-ulama Arab, ini yang dimaksud adalah Saudi, kelihatan... Yaitu yang mencarikan fatwa untuk para thaghut-thagutnya. Kalau Toghutnya ingin halal, maka mencarikan dalil untuk menghalalkannya, kalau mereka ingin haram, maka mereka mencari dalil-dalil untuk mengharamkannya. Kalau mereka sedang bertikai dengan Iran maka mereka para ulama-ulamanya mengumpulkan dalil tentang jeleknya Syi'ah, jelaskan maksudnya kemana walaupun disebutnya Arab.
Akan tetapi jelas maksudnya adalah Saudi dan berarti ulamanya adalah ulama yang kita kenal, apakah Syaikh Bin Baz, apakah Syaikh Utsaimin itui yang dimaksud dan lain-lainnya. Kalau berseteru dengan Iran mereka cari dalil tentang jeleknya Syi'ah, dan kalau berseteru dengan Irak, nah ini mulai tambah dekat, karena pada waktu itu kejadian Irak, baru, maka mereka ramai-ramai mencari dalil jeleknya Ba’tsi, dst, Sosialisme. "Mereka ini adalah para penjilat-penjilat munafiqun", katanya.
Dengan tulisan inilah hancur As-Sunnah dan grupnya, sampai para Ulama membantah dengan keras, habis sudah, ditahdzir. Setelah ditahdzir, sebagaimana biasanya mereka selalu berganti pakaian. Ditahdzir ganti pakaian itu biasa. Maka mereka mengatakan, " Memang As-Sunnah itu jelek, As-Sunnah itu ekstrim,… " dan sebagainya.
Akhirnya (mereka) bikin yayasan baru, namanya nama baru, bikin majalah, majalah baru. Yayasannya Al-Muntada, majalahnya adalah Al-Bayan, bukan lagi As-Sunnah tetapi Al Bayan. Sehingga Salafiyyin di Saudi kalau sedang menjelekkan Sururiyyin, mengatakan 'Lakumul Bayan was Sunnah wa lanal Kitab was Sunnah !' “Kamu itu punya Al-Bayan dan As-Sunnah, sedangkan kami berpegang kepada Al-Kitab dan Sunnah.” Maksudnya Al Bayan dan As-Sunnah artinya majalah Al-Bayan, kemudian As-Sunnah. Dan yayasan Al-Muntada London ini membuka cabang di Indonesia. Dan ini tidak pakai sanad lagi, dan saya langsung diajak untuk mendirikannya. Pada saat itu saya tidak tahu apa-apa sama sekali nggak ngerti. Karena seperti biasa mengaku Salaf, saya tidak pernah denger yang namanya Al-Muntada sama sekali, wala (tidak) di London wala di indonesia wala dimanapun !!?
"Ana gak paham makanan apa itu, gak tau". Orangnya. "kita, dakwah Salafiyah di Indonesia perlu diberi dukungan dan sebagainya, kita perlu bikin yayasan dana bantuan untuk membantu Ssalafiyin, untuk membantu salafiyin." Thoyyib (baiklah) kita bikin, saya termasuk pendirinya. Namanya Al-Muntada, persis sama dengan apa yang di London jadi jangan pura-pura, saksinya masih hidup sampai sekarang. Kemudian dalam keadaan saya masih di situ, mereka ganti menjadi Al-Sofwa, lho kok diganti Al-Sofwa ??? Padahal saya gak pernah ikut rapat dan sebagainya. "Tidak, mereka minta ganti nama", selalu demikian setiap ada keputusan. "Apa kita tidak bisa punya pendapat ?". Padahal kita pendiri waktu itu, tetapi semua keputusan Muhammad Kholaf yang bilang, "mereka…, mereka…." Atau dia istilahkan dengan "Ashabi…, ashabi….". “Sahabat-sahabatku minta begini, sahabat-sahabatku minta begini…”, Siapa? Saya berfikir berarti ini ada atasannya, berarti ini adalah cabang dari sana.
Sampai kemudian saya datang kepada Syaikh Rabi’, waktu saya tugas di Qosim di Unaizah saya ada kesempatan ke Madinah mampir, saya ke tempat syaikh Rabi' tanya langsung tentang Al-Sofwah. Dulunya namanya Al-Muntada, " Ah…, Al Muntada?", "Ya, terus ganti dengan Al-Sofwa" . "Al-Muntada sama dengan yang di London?". "Na'am, ya syaikh, katanya begini dan begini", saya terangkan, "Kalau itu betul dari mereka, lihat nanti, mereka akan menjadi penghalang pertama dakwah Salafiyyah". Dan saya tidak ke sana lagi selamanya abadan, abidiina. Dan saya bukan lagi pendirinya Alhamdulillah. Karena dulu kita mendirikan Al-Muntada, kemudian dirubah oleh mereka diganti dan entah tidak mengerti lagi saya pada waktu itu, sudah lain sama sekali.
Dan didalamnya, waktu saya di situ saja pernah kita tegur adanya orang dari IM," Syaikh ini orang dari ikhwan?", "La (tidak, red).., kita tarik supaya jadi Salafy", katanya. Ya sampai hari ini dia masih tetap. Orang Lampung, pada waktu itu da’i Ikhwani, di Lampung digaji oleh Al-Sofwa. Kenapa tahu? Ya, karena sama saya sekelas orang itu di LIPIA dan tahu betul dia ini IM !!?
Sehingga Ikhwana fiddin a'azzakumullah
Sudah ada tiga jalur. Jalurnya Abdul Karim jalurnya ke Alamus Sunnah dan As Sunnah Cirebon dan Abdurrahman Abdul Khaliq, ke Tengaran dan kemudian ke Jogja dan Solo itu, Abu Nida dan Ahmas Faiz. Kemudian Muhammad Surur nya langsung dengan As-Sunnah dan Al-Bayannya masuk ke Al-Sofwah, dan kemudian dari Al-Sofwah ini disebarkanlah majalah Al-Bayan tadi. Dan itu terang-terangan, bundelnya Al-Bayan di Al-Sofwa itu lengkap dan disebarkan di seluruh Indonesia, termasuk ke Solo ke grupnya Ahmas Fais dan grupnya Abu Nida termasuk yang dikirimi, entah itu apakah masih berlanjut, karena saya tidak tahu, ataukah tidak.
Kemudian ternyata mereka juga membantu dana kepada segala macam Ahlul bid’ah, termasuk Ngruki (Ponpes AL Mu'min, Ngruki, kelompok Abu Bakar Ba'asyir, red), Ngruki yang jelas-jelas seperti itu ya'ni pemikirannya pemikiran NII. Kalaupun apakah asli ataukah pecahan saya gak tahu, pokoknya pemikirannya seperti itu, pemikiran Khawarij, KGB, Khawarij Gaya Baru. Itu dibantu, sampai kita tegur, waktu itu.
Itu dalam keadaan masih kita tegur oleh kita, apalagi ketika sudah diboikot, sudah ditahdzir mungkin tambah bebas mereka. Dengan alasan "O.. tidak, kita tidak menyumbang gerakannya mereka, kita hanya menyumbang kitab. Jadi menyumbang kitab itu supaya mereka baca kitab". Ternyata ketika ada seorang yang ke sana, ada gedung baru, gedung perpustakaan bertingkat, gedung besar, tanya : “Ini dibangun dari mana dananya?”, "Anu… dikasih sama Al-Sofwa". Ternyata bukan buku tapi dikasih betul-betul berupa gedung yang alasannya buat perpustakaan. Ini juga dari kedustaan dia, membangun masjidnya ahlul bid'ah, banyak ya…. Hadza Al-Sofwah!!!
Dan Yazid Jawwas mengatakan "Al-Sofwah itu Salafy", padahal tadinya ketika dia masih sama kita dia mengatakan bahwa Al-Sofwa itu ikhwani, Surury, tapi ketika dia bersama mereka sudah meninggalkan Salafiyyin, terus omongnya sudah lain. Jalur apalagi yang belum saya sebut? Sudah ya?.
Dari Al-Sofwa menyebarkan kepada diantaranya yang dibangun Al-Sofwah, dengan da’i-da’inya, dengan biayanya dari A sampai Z adalah pondoknya Asmuji, di Cilacap (Ma'had Imam Syafi'i, red), bahkan sampai diadakan dauroh,yang pengajar-pengajarnya diambil dari grupnya mereka Sururiyin di Riyadh, asli !!! Ini orang Arab mengajarkan bagaimana pemikiran-pemikiran Sururiyyin, (langsung) diajarkan oleh mereka. Yang juga dibantu oleh Al-Sofwa dan dan da'inya dari Al-Sofwah, sampai diadakan dauroh yang mengisi daurohnya adalah IM, IM Arab!!!
Bayangkan yang IM Indonesia saja bahaya apalagi IM Arab, yang biasa pakai bahasa Arab dan pakai dalil-dalil, itu adalah Aunur Rofiq Ghufron, Gresik, yang sampai Sururiyyin sendiri yang hadir ngomong, “Kok yang ngisinya Ikhwan ya?”, (sudah) tahu mereka yang mengisinya adalah Ikhwanul Muslimin, yang menyampaikan adalah anak buahnya Abu Nida yang di Jogja, yang pernah di Pakistan, Abu siapa itu…? Itu yang mengatakan, "Iya, diantara mereka ada ikhwan", katanya.
Bayangkan bukan lagi sururi, tapi ikhwan ini yang mengisi, karena masalah fulus. Diberi mobil, diberi dauroh, diberi bangunan, apa lagi...? Dan ini rasanya sudah terjawab atau paling tidak tersebut semua rangkaiannya dan orang-orangnya juga kan berarti...?
Aunur Rofiq Gufron sudah, Yusuf Baisa sudah kamu tahu, Abu Nida sudah disinggung, Abu Haidar sama dengan Al-Sofwa, karena bekerjasama dengan Al-Sofwa sampai sekarang. Bahkan Al-Sofwa bikin cabang di Bandung dan yang mengurusnya Abu Haidar cs. Adapun Abdul Hakim Amir Abdat dari satu sisi lebih parah dari mereka, dan sisi lain sama saja. Bahwasannya dia ini, dari satu sisi lebih parah karena dia otodidak dan tidak jelas belajarnya, sehingga lebih parah karena banyak menjawab dengan pikirannya sendiri.
Memang (Abdul Hakim) dengan hadits tetapi kemudian hadits diterangkan dengan pikirannya sendiri, sehingga terlalu berbahaya, mengerikan, sampai-sampai dia melepas hijab ketika kajian, "Tidak ada…, mana ? Hijab itu...?", begitu ? Jadi akhwat tidak pakai hijab dengan ikhwan, kemudian dia menertawakan gamis. Ini 'ihtiza bi Sunnah !!! memperolok-olokan Sunnah !!!. Keras sekali hukumnya dalam hukum Islam. Sururiy yang tadi itu tidak sampai separah ini, dia mengatakan kepada teman-teman yang pakai jubah itu bahwa mereka pakai rok katanya. "Ada apa kamu pakai rok? Kayak perempuan"!!! Maksudnya mau membantah, kalau kamu katakan "Inikan Sunnah". Dan dia akan bantah bahwa ini bukan Sunnah, sekalian menonjolkan ilmunya, "nih saya tahu", dengan cara memperolok-olokkan Sunnah !!!
Padahal kalaupun itu adalah Jibliyyah, karena paling sedikitnya adalah Jibiliyyah (sesuatu yang dipakai oleh Rasulullah, namun tidak dianjurkan pada ummatnya dan bukan Sunnah). Itupun para Ulama mengatakan, "Tidak boleh diperolok-olokkan". Kenapa? Karena kalau memperolok-olokan berarti memperolok-olokan apa yang dipakai Rasul. "Hadza adzim, besar sekali di sisi Allah!!! Ini kekurangan ajarannya Abdul Hakim ini disebabkan karena dia menafsirkan seenak sendiri dan memahami seenaknya sendiri. Tafsirnya dengan Qultu, "saya katakan, saya katakan", begitu. "Ya.., di dalam riwayat ini…ini… dan saya katakan...", seakan-akan dia kedudukannya seperti para ulama, padahal dari mana dia belajarnya !!?
Ini yang jadi masalah sehingga banyak yang disaksikan oleh teman-teman yang perlu diteliti lagi, itu banyak berita-berita tentang Abdul Hakim, yang dia ngobrol dengan perempuan tanpa hijab sama sekali, pakai celana panjang, pakai kaos ketat, ketika ditegur, "Saya sedang menasehati", terus juga dia masih merokok, kemudian juga masih sering musbil, masih sering pakai pantalon, karena dia mencela gamis dia pakai pantalon, celana ketat yang sampai disebutkan oleh Syaikh Yahya Al Hajuri di Yaman. Ketika ditanyakan tentang Abdul Hakim, "Siapa ?" lalu diterangkan kemudian sampai pada pantalon (celana tipis yang biasa dipakai untuk acara resmi ala Barat, red). “Hah huwa Mubanthal (pemakai panthalon, celana panjang biasa yang memperlihatkan pantatnya dan kemaluannya itu) ?. Dijawab, "Iya syaikh". "Allah, yakfi, yakfi, yakfihi annahu mubanthal." Cukup kamu katakan dengan dia memakai panthalon saja untuk dikatakan 'Jangan mengaji sama dia”. Sudah cukup bagi saya, apalagi yang lebih dari itu.
Seorang da'i Seorang yang mengajarkan Sunnah maka harus dimulai dari dirinya untuk memakai yang tidak membentuk pahanya dan pantatnya, itu sudah harus. Ini ketika ditanyakan kepada Syaikh Yahya Al Hajuri, ada catatannya, ada kasetnya. Ini Abdul Hakim Abdad !!?.
Jadi ikhwana fiddin a'azzakumullah, maka untuk selebihnya kalian harus mengkaji kitab-kitab bagaimana sikap Ulama terhadap ahlul bid’ah, karena ini yang paling ditakuti oleh Sururiyyin. Kalau saja disini ada seratus orang, diantara mereka ada Surury, tapi kita nggak tahu yang mana lalu antum ajarkan kitab-kitab Manhaj, dia akan panas, gelisah seperti jin diruqyah, 'imma (bisa jadi) lari, imma membantah'. Protes, imma dia bingung, atau yang paling baiknya sadar saat itu - Alhamdulillah kalau begitu-.
Sehingga kajian manhaj itu sangat penting, atau khususnya. Karena manhaj itu luas sekali, semua kitab-kitab para Ulama semuanya manhaj. Kitab-kitab yang berbicara tentang sikap Ahlus Sunnah terhadap ahlul bid’ah. Nanti kita akan melihat betapa jahatnya tokoh-tokoh yang ditanyakan tadi ini. Jahat, sangat. Para ulama sedemikian kerasnya terhadap ahlul bid'ah dan begitu hati-hatinya sampai memperingatkan ummat untuk hati-hati terhadap mereka, ini malah mengatakan, "Tidak apa-apa, mereka punya kebaikan", sehingga terlihat 180 derajat antara para ulama dengan sururiyyin ini.
Setelah kita membaca seperti apakah kitabnya Lamuddurul Mantsur, atau kitab yang baru saya dapatkan ini Ijma’ dari Para Ulama tentang Tahdzir terhadap ahlul bid'ah terus kitab…
Bahkan sesungguhnya pada kitab-kitab para Ulama yang berbicara tentang Manhaj Ahlus Sunnah itu selalu ada bab khusus tentang Bab Wajibnya Kita untuk Menjauhi Ahlil Bid'ah. Mesti, hampir setiap kitab As-Sunnahnya Al Barbahari ada keterangan tentang masalah itu, kemudian Abu Utsman Ashabuni, Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, ada bab itu. Bahwa ciri Ahlus Sunnah adalah benci terhadap ahlul bid’ah, dan menjauhi ahlil bid'ah dan mentahdzir ahlul bid’ah.
Dalam Syarhus Sunnah dalam Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, kemudian dalam Syariah Al-Ajurry, kemudian Minhaj Firqatun Najiyah Ibnu Baththah, itu semua ada. Yang menunjukkan mereka semua sepakat untuk memperingatkan ummat dari ahlul bid'ah dan mentahdzir ahlul bid'ah, membenci mereka, menghajr mereka, memboikot mereka dan tidak bermajlis dengan mereka, itu sepakat. Sehingga apa yang mereka sebarkan dari prinsip-prinsip ikhwaniyyah dan Sururiyyah ini, adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan Sunnah Rasulullah, dan bertentangan dengan 180 derajat.
Wallahu Ta'ala A'lam bish Showab.
Subhanaka Allahuma wabihamdika, asyadu anlaa ilaaha illa anta, astaghfiruka, wa atubu ilaik.
Sekali lagi untuk lebih jelasnya dengan kajian kitab tadi.
Pertanyaan :
Bagaimana tentang subhat mereka yang menyatakan, “Bahwa mereka salafy, kenapa tidak mau menghadiri daurah di Surabaya yang mendatangkan Syaikh Ali Hasan?”. Itu syubhat yang sering mereka lontarkan kepada kita.
Jawaban Ustadz Muhammad:
Pernah ditanyakan tentang kepada Syaikh Yahya Al Hajuri tentang masalah syaikh Ali Hasan Abdul Hamid yang datang ke Surabaya. Ditanyakan, "Bagaimana Syaikh, ada suatu majelis yang didatangi Ali Hasan dan sebagainya, dari Urdun dan yang hadir disana campur, ada Ahlus Sunnah. ada ahlul bid’ah, ada berbagai macam kelompok, sururi dan sebagainya. Apakah dibenarkan kami tidak datang ke sana, karena tidak mau ketemu dengan mereka, dengan ahlil bid'ah ini?
Kata Syaikh: “Ada mereka di sana? Wallahi, saya berpendapat bahwa bukan saja boleh, tidak perlu kamu duduk disana untuk hadir di majelis seperti itu. Kamu bisa hadiri majlis-majlis lain dari para Ulama dan kamu bisa membaca kitab para Ulama, kamu bisa mendengarkan kasetnya, dengan berbagai macam cara daripada kamu duduk dengan ahlil bid'ah.” Sampai seperti itu, dan beliau terheran-heran dengan syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
Wallahu ta’ala a’lam.
Pertanyaan :
Bagaimana dengan Abu Qatadah yang sedang mereka elu-elukan?
Jawaban Ustadz Muhammad:
Abu Qatadah ini sebuah contoh yang bagus untuk menunjukkan akibat duduk dengan ahlul bid’ah. Abu Qatadah ini datang dari Yaman, dari Yaman mereka sudah sama-sama paham, sampai datang ke Indonesia, diajak kakaknya ketemu Abu Nida dan kemudian di sana ngobrol, kemudian hilang nggak balik lagi. Abu Qatadah. Jadi mereka merasa bangga punya lulusan Yaman, lulusan Syaikh ini.
Karena merasa dapat satu orang dari Yaman, karena yang belajar dari Yaman Salafiyyin semuanya, adapun Sururiyyin, tidak cocok di Syaikh Muqbil, akhirnya pindah ke tempat Abul Hasan, seperti Sholeh Su’aidi, akhirnya sekarang. Abul Hasan ditahdzir, jadi nasib mereka tetap tidak berubah, mereka ingin mendapat stempel Salafiyyin, namun setelah duduk di Syaikh tidak betah karena dibantai terus sama teman-teman, kemudian pindahnya ke Abul Hasan. Ternyata dengan bangga ditulis, akan diisi oleh Sholeh Su’aidi, murid Abul Hasan Al-Misri, na'am, daurah di Purwokerto. Ana bilang kasihan mereka nggak tahu, Abul Hasan sudah ditahdzir dengan keras oleh para Ulama, mereka mengelu-elukan orang yang sudah ditahdzir oleh para Ulama. Abul Hasan kasar sekali ucapannya terhadap Syaikh Rabi’ dan kurang ajar betul. Dan para Ulama sudah marah kepada Abul Hasan, bahkan bukan Abul Hasannya, pembela-pembelanya kena dan ikut jatuh, jatuh bareng, termasuk di antaranya adalah da’i Yordan. Wallahu a’lam siapa yang dimaksud, karena yang disebutkan hanya da’i Yordan, Urduniyyin, Yordan setelah ditinggal Syaikh Albany lemah katanya. Sedang ramai pula di tingkat tinggi para Ulama, tentang Abul Hasan.
(Ceramah ini ditranskrip oleh ikhwan Bandung, dari kaset Ustadz Muhammad Umar As Sewed yang direkam saat beliau ditanya oleh Abu Tsumamah, ikhwan Tangerang di rumah kediaman beliau, beberapa bulan yang lalu. Transkrip ini sudah dikonfirmasikan kepada Ustadz Muhammad As-Sewed seusai beliau Khutbah Iedul Adha di Perumnas Guntur, Cirebon, 10 Dzulhijjah 1424 H. Ustadz Muhammad Umar As Sewed adalah Pengajar di PonPes Dhiyaus Sunnah Cirebon. Kaset/CDnya ada di TASJILAT AS-SALAFIYYAH, Jl. Sekelimus VII No.11 Bandung, Telp. (022) 7563451). [Sumber Asli : http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=496])
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.