MENGENAL PENDIRI HAROKAH IKHWANUL MUFLISIN
Diringkas Oleh:
Abu Muhammad Abdurrahman Sarijan
Pendahuluan:
Pendiri
gerakan (harokah) Ikhwanul Muflisin adalah Hasan Al-Banna. Ia pernah
mengalami pendidikan di bawah asuhan orang-orang shufi. Untuk lebih
mengenal siapa dan bagaimana aqidah pendiri harokah ini, berikut kami
ketengahkan biografi singkatnya.
Kelahirannya
Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan As-Sa’ati.
Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan As-Sa’ati.
Pendidikannya
Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seo-rang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifat-sifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan kepemim-pinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut meninggalkan madrasah.
Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seo-rang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifat-sifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan kepemim-pinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut meninggalkan madrasah.
Selanjutnya
ia masuk ke Madrasah I’dadiyyah di Mahmudiyyah, setelah berjanji kepada
ayahnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur`an-nya di rumah. Tahun
ketiga di madrasah ini adalah awal perkenalannya dengan gerakan-gerakan
dakwah melalui sebuah organisasi, Jum’iyyatul Akhlaq Al-Adabiyyah, yang
dibentuk oleh guru matematika di madrasah tersebut. Bahkan Al-Banna
sendiri terpilih sebagai ketuanya. Aktivitasnya terus berlanjut hingga
ia bergabung dengan organisasi Man’ul Muharramat.
Kemudian
ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Mu’allimin Al-Ula di kota
Damanhur. Di sinilah ia berkenalan dengan tarekat shufi Al-Hashafiyyah.
Ia terkagum-kagum dengan majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yang
didendangkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut. Lebih
tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di antara pengikut tarekat
tersebut ada guru lamanya yang ia kagumi, Asy-Syaikh Zahran. Akhirnya
Al-Banna bergabung dengan tarekat tersebut. Sehingga ia pun aktif dan
rutin mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari. Tak
ketinggalan, acara maulud Nabipun rutin ia ikuti: “…Dan kami
pergi bersama-sama di setiap malam ke masjid Sayyidah Zainab, lalu
melakukan shalat ‘Isya di sana. Kemudian kami keluar dari masjid dan
membuat barisan-barisan. Pimpinan umum Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan
melantunkan sebuah nasyid dari nasyid-nasyid maulud Nabi, dan kamipun
mengikutinya secara bersamaan dengan suara yang nyaring, membuat orang
melihat kami,” ujar Mahmud Abdul Halim dalam bukunya. (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/109)
Di
antara aktivitas selama bergabung dengan tarekat ini ialah pergi
bersama teman-teman setarekat ke kuburan, untuk meng-ingatkan mereka
tentang kematian dan hisab (perhitungan amal). Mereka duduk di depan
kuburan yang masih terbuka, bahkan salah seorang mereka terkadang masuk
ke liang kubur tersebut dan berbaring di dalamnya agar lebih menghayati
hakekat kematian nanti.
Al-Banna
terus bergabung dengan tarekat tersebut sampai pada akhirnya ia
berbai’at kepada syaikh tarekat saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni
Al-’Abd. Jabir Rizq mengatakan: “…(Hasan Al-Banna) sangat
berkeinginan mengambil ajaran tarekat itu, sampai-sampai ia meningkat
dari sekedar simpatisan ke pengikut yang berbai’at.”
Sepeninggal
Basyuni, Al-Banna berbai’at kepada Asy-Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashafi,
pengganti pendiri tarekat tersebut. Ia diberi ijazah wirid-wirid tarekat
tersebut. Dengan bangga Al-Banna mengungkapkan: “Dan saya
berteman dengan saudara-saudara dari tarekat Al-Hashafiyyah di Damanhur.
Saya rutin mengikuti acara al-hadhrah di Masjid Taubah setiap malam…
Sayyid Abdul Wahhab-pun datang, dialah yang memberikan ijazah di
kelompok tarekat Hashafiyyah Syadziliyyah, dan saya menda-pat ajaran
tarekat ini darinya. Ia juga mem-beri saya wirid dan amalan tarekat
itu.”
Karena
faktor tertentu, akhirnya kelompok tarekat ini mendirikan sebuah
organisasi, bernama Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah yang diketuai
oleh teman lamanya, Ahmad As-Sukkari. Sementara Hasan Al-Banna menjadi
sekretarisnya. Al-Banna mengatakan: “Di saat-saat ini, nampak
pada kami untuk mendirikan organisasi perbaikan yaitu Al-Jum’iyyah
Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah, dan aku terpilih sebagai sekretarisnya…
Lalu dalam perjuangan ini, aku menggantikannya dengan organisasi
Ikhwanul Muslimin setelah itu.”
Al-Banna
menghabiskan waktunya di madrasah Al-Mu’allimin dari tahun 1920-1923 M.
Di sela-sela masa itu, ia juga banyak membaca majalah Al-Manar yang
diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, salah seorang tokoh gerakan
Ishlahiyyah yang banyak dipengaruhi pemikiran Mu’tazilah. Di sisi lain,
iapun suka mendatangi Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib di perpustakaan
salafinya.
Al-Banna,
ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, sempat bimbang
antara melanjutkan atau menekuni dakwah dan amal. Ini dikarenakan
interaksinya dengan buku Ihya‘ Ulumuddin. Namun bermodalkan nasehat dari
salah seorang gurunya, ia mantap untuk melanjutkan pendidikan.
Ia
akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum. Di sini,
ia sangat giat membentuk jamaah-jamaah dakwah, sehingga di tengah-tengah
aktivitasnya tercetus dalam benaknya ide untuk menjalin hubungan dengan
orang-orang yang duduk di warung-warung kopi dan di desa-desa terpencil
untuk mendakwahi mereka. Pada akhirnya Al-Banna lulus dari Darul Ulum
pada tahun 1927 M.
Usai
pendidikannya di Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah
Al-Isma’iliyyah. Iapun mengajar di sekolah dasar selama 19 tahun.
Sebelumnya, ia datang ke daerah itu pada tanggal 19 September 1927 dan
tinggal di sana selama 40 hari untuk mempelajari seluk-beluk lingkungan
tersebut. Ternyata, ia dapati banyak terjadi perselisihan di antara
masyarakat, sementara ia berkehendak agar dapat berkomunikasi, bergaul
dengan semua pihak, dan mempersatukannya. Usai berpikir panjang,
akhirnya ia memutuskan untuk menjauh dari semua kelompok yang ada dan
berkonsentrasi mendakwahi mereka yang berada di warung-warung kopi.
Lambat laun dakwahnya-pun tersebar dan semakin bertambah jumlah
pengikutnya.
Pembentukan Gerakan Ikhwanul Muslimin
Pada
bulan Dzulqa’dah 1347 H yang bertepatan dengan Maret 1928, enam orang
dari pengikutnya mendatangi rumahnya, membai’atnya demi beramal untuk
Islam dan sama-sama bersumpah untuk menjadikan hidup mereka untuk dakwah
dan jihad. Dengan itu muncullah tunas pertama gerakan Ikhwanul
Muslimin. Selang empat tahun, dakwahnya meluas, sehingga ia pindah ke
ibukota Kairo, bersama markas besar Ikhwanul Muslimin. Dengan
bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar. Kini saatnya bagi
Al-Banna untuk mengajak anggotanya melakukan jihad amali. Dengan situasi
yang ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untuk melindungi
jamaahnya. Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untuk
mencalonkan dirinya dalam pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah
maju, karena ada ancaman dari Musthafa Al-Basya, yang waktu itu menjabat
sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana Menteri, ed.). Dua tahun kemudian,
ia mencalonkan diri kembali, namun Inggris memanipulasi hasil pemilihan
umum.
Wafatnya
Pada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di kantor pusat organisasi Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.
Pada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di kantor pusat organisasi Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.
Demikian
sejarah ringkas Hasan Al-Banna bersama gerakan dakwah yang ia dirikan.
Pembaca mungkin berbeda-beda dalam menanggapi sejarah tersebut, sesuai
dengan sudut pandang yang digunakan. Namun bila kita melihatnya dengan
kacamata syar’i, menimbangnya dengan timbangan Ahlus Sunnah, maka kita
akan mendapatinya sebagai sejarah yang suram. Mengapa? Karena kita
melihat, ternyata gerakan tersebut lahir dari sebuah sosok yang berlatar
belakang aliran shufi Hashafi dengan berbagai kegiatan bid’ahnya,
seperti bai’at kepada syaikh tarekat dan kepada Al-Banna sendiri sebagai
pimpinan gerakan, amalan wirid-wirid Ruzuqiyyah yang diada-adakan,
dzikir berjamaah, maulud Nabi, ziarah-ziarah kubur dengan cara bid’ah
sampai pada praktek politik praktis di atas asas demokrasi. Gurunyapun
campur aduk, dari syaikh tarekat, seorang yang terpengaruh madzhab
Mu’tazilah, dan seorang yang berakidah salafi.
Warna-warni
sosok pendiri tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan corak
gerakan tersebut, sehingga warnanyapun tidak jelas, buram. Tidak seperti
Ash-Shirathul Mustaqim yang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam katakan:
تَرَكْتُكُمْ عَلىَ مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا
“Aku tinggalkan kalian di atas yang putih bersih, malamnya seperti siangnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Hakim, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah no. 33)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.