Al-Imam As-Suyuthi berkata dalam Husnul Muhadhoroh 1/339:
وقد كنت في مبادئ الطلب قرأت شيئًا في
المنطق، ثم ألقى الله كراهته في قلبي، وسمعت ابن الصلاح أفتى بتحريمه
فتركته لذلك فعوضني الله تعالى عنه علم الحديث الذي هو أشرف العلوم.
“Dulu pada awal menuntut ilmu, aku
mempelajari sedikit ilmu mathiq, kemudian Allah menaruh kebencian
terhadapnya di dalam hatiku dan aku mendengar Ibnush Sholah berfatwa
tentang haromnya ilmu kalam, oleh karena itu Allah memberikan ganti
untukku dengan ilmu hadits yang merupakan ilmu yang paling utama.”
Husnul Muhadhoroh 1/339
Husnul Muhadhoroh 1/339
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Celakalah orang-orang yang berdalam-dalam.” (tiga kali)
Imam Al-Khoththobi -salah seorang ulama madzhab syafii- menerangkan hadits ini:
المتنطع المتعمق في الشيء المتكلف للبحث عنه على مذاهب أهل الكلام الداخلين فيما لا يعنيهم الخائضين فيما لا تبلغه عقولهم
“Al-Mutanaththu’ adalah orang yang berdalam-dalam dalam sesuatu,
membebani diri untuk membahasnya menurut madzhab ahli kalam yang masuk
kepada perkara yang tidak penting bagi mereka, membicarakan perkara yang
tidak dicapai akal mereka.” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud)
Asalnya tanaththu’ adalah berdalam-dalam dalam pembicaraan
untuk menampakkan kefasihan. Ini asal makna tanaththu’ secara etimologi.
Dan tanaththu’ itu ada beberapa macam: dalam pembicaraan, dalam
istidlal, dan dalam ibadah. Yang berkaitan dengan uraian di sini bahwa salah satunya adalah
tanaththu’ (berdalam-dalam) dalam masalah istidlal. Inilah jalan ahli
kalam dan ahli manthiq yang menyimpang dari beristidlal dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah, tetapi malah beristidlal dengan kaedah-kaedah ilmu
manthiq dan istilah-istilah ahli kalam.
Ilmu mathiq (mantiq) itu berasal darimana? Kaedah-kaedah ilmu manthiq
itu berasal dari mana? Datang dari Al-Yunan. Mereka para ahli manthiq
mengambilnya dan menerapkannya dalam islam. Mereka tidak mau beristidlal
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan mengatakan: “Sesungguhnya
dalil-dalil naqli (sam’iyyah/wahyu) tidak memberi faedah keyakinan. Yang
memberi faedah keyakinan adalah dalil-dalil aqli” -menurut mereka-.
Sehingga mereka binasa dengan hal itu, sebagaimana dinyatakan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang wajib istidlal itu dengan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma para ulama muslimin, dan qiyas yang shahih, sebagaimana metode ahlussunnah wal jamaah.
Yang wajib istidlal itu dengan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma para ulama muslimin, dan qiyas yang shahih, sebagaimana metode ahlussunnah wal jamaah.
Oleh karena itu Imam Asy-Syafii sangat keras terhadap ahli kalam sebagaimana yang telah lalu. Sampai beliau mengatakan:
حُكْمِي فِي أَهْلِ الْكَلَامِ أَنْ يُضْرَبُوا بِالْجَرِيدِ وَيُحْمَلُوا
عَلَى الْإِبِلِ وَيُطَافَ بِهِمْ فِي الْقَبَائِل وَالْعَشَائِر ،
وَيُنَادَى عَلَيْهِمْ هَذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّة
وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلَامِ
“Hukumku pada ahlil kalam, mereka dipukul dengan pelepah kurma, dan
dinaikkan ke unta, kemudian diarak berkeliling di kabilah-kabilah dan
suku-suku, kemudian diserukan tentang mereka ‘Ini balasan orang yang
meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menghadap diri kepada Ilmu
Kalam’.”
(Manaqib Asy-Syafii karya Al-Baihaqi 1/462).
(Manaqib Asy-Syafii karya Al-Baihaqi 1/462).
Di antara ahli kalam ada yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah
dan menggantinya dengan kaedah-kaedah ilmu manthiq, sampaipun dalam
masalah aqidah, yang sekarang disebut ilmu tauhid, tetapi mereka
menyebutnya dengan ilmu manthiq dan ilmu kalm. Oleh karena itu mereka
terjatuh pada kebinasaan. Mereka sudah sesat, menyesatkan lagi. Mereka
sendiri berakhir pada kebingungan, sebagaimana disaksikan oleh para
pembesar mereka. Sebagian mereka ketika meninggal, meminta kesaksian
para hadirin bahwa dia meninggal dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, padahal dia telah menghabiskan umurnya dalam ilmu kalam,
jidal dan ilmu manthiq.
Inilah tempat kembalinya orang-orang yang berdalam-dalam. Kita berlindung kepada Allah dari hal demikian. Persaksian diri mereka sendiri ada. Dan itu menunjukkan kebenaran sabda Nabi di atas.
(Aunul Ma’bud, I’anatul Mustafid (1/279-280)
Ibnu Rusyd Al-Hafid -beliau juga termasuk orang yang paling tahu dengan madzhab dan pendapat ahli filsafat, di kitabnya Tahafut At-Tahafut berkata:
(ومَن الذي قال في الإلَهيات شيئاً يعتدُّ به؟)،
“Siapakah orangnya yang berkata sesuatu tentang ilahiyah, kemudian dianggap pendapatnya?”
Demikian juga Al-Amidi -orang termulia di masanya- dia diam berhenti bingung dalam permasalahan yang besar. Demikian juga Abu ‘Abdillah Muhammad bin Umar Ar-Rozi berkata dalam kitabnya tentang macam-macam dzat:
Inilah tempat kembalinya orang-orang yang berdalam-dalam. Kita berlindung kepada Allah dari hal demikian. Persaksian diri mereka sendiri ada. Dan itu menunjukkan kebenaran sabda Nabi di atas.
(Aunul Ma’bud, I’anatul Mustafid (1/279-280)
Ilmu kalam yang mengandalkan logika daripada Al-Qur’an dan As-Sunnah itu
berasal dari luar Islam. Kemudian masuk tersebar ke kalangan kaum
muslimin dengan perantaraan masuknya terjemahan buku-buku filsafat
Yunani pada masa Al-Ma’mun dari Pulau Ciprus yang berada di bawah
kekuasaan Romawi Timur waktu itu. Sehingga dari itu tersebarlah ilmu
kalam, apalagi ilmu kalam dipegang sebagai madzhab negara sejak masa
Kholifah Al-Ma’mun sampai Al-Watsiq, bahkan orang-orang dipaksa dengan
hal itu. Bila tidak mereka dibunuh atau dipenjara atau dihukum dengan
hukuman lainnya.
Imam Adz-Dzahabi Asy-Syafii tentang Penyebaran Ilmu Kalam:
Beliau berkata di dalam As-Siyar (11/236):
كان الناس أمة واحدة، ودينهم قائما في خلافة أبي بكر وعمر.
فلما استشهد قفل باب الفتنة عمر رضي الله عنه، وانكسر الباب، قام رؤوس الشر على الشهيد عثمان حتى ذبح صبرا.
وتفرقت الكلمة وتمت وقعة الجمل، ثم وقعة صفين.
فظهرت الخوارج، وكفرت سادة الصحابة، ثم ظهرت الروافض والنواصب.
وفي آخر زمن الصحابة ظهرت القدرية، ثم ظهرت المعتزلة بالبصرة، والجهمية
والمجسمة بخراسان في أثناء عصر التابعين مع ظهور السنة وأهلها إلى بعد
المئتين، فظهر المأمون الخليفة – وكان ذكيا متكلما، له نظر في المعقول –
فاستجلب كتب الاوائل، وعرب حكمة اليونان، وقام في ذلك وقعد، وخب ووضع،
ورفعت الجهمية والمعتزلة رؤوسها، بل والشيعة، فإنه كان كذلك.
وآل به الحال إلى أن حمل الامة على القول بخلق القرآن، وامتحن العلماء، فلم يمهل.
وهلك لعامه، وخلى بعده شرا وبلاء في الدين.
فإن الامة ما زالت على أن القرآن العظيم كلام الله تعالى ووحيه وتنزيله، لا
يعرفون غير ذلك، حتى نبغ لهم القول بأنه كلام الله مخلوق مجعول، وأنه إنما
يضاف إلى الله تعالى إضافة تشريف، كبيت الله، وناقة الله.
فأنكر ذلك العلماء.
ولم تكن الجمهية يظهرون في دولة المهدي والرشيد والامين فلما ولي المأمون، كان منهم، وأظهر المقالة.
روى أحمد بن إبراهيم الدورقي، عن محمد بن نوح: أن الرشيد، قال: بلغني أن
بشر بن غياث المريسي، يقول: القرآن مخلوق، فلله علي إن أظفرني به، لاقتلنه.
قال الدورقي: وكان متواريا أيام الرشيد فلما مات الرشيد، ظهر، ودعا إلى الضلالة.
“Dulu kaum muslimin satu padu, agama mereka tegak di masa kekhalifahan
Abu Bakr dan Umar. Namun ketika Umar meninggal secara syahid (karena
dibunuh), terbukalah pintu fitnah setelahnya. Bangkitlah para tokoh
kejelekan yang memberontak kepada Utsman bin Affan sampai membunuh
beliau tanpa perlawanan.
Kemudian terpecah-belah persatuan kaum muslimin, dan terjadi Perang
Al-Jamal dan Perang Shiffin. Muncullah Khowarij yang mengkafirkan para
tokoh shohabat. Kemudian muncullah Syiah Rofidhoh dan Nashibah.
Pada akhir masa shohabat muncullah Al-Qodariyyah, kemudian muncullah
Al-Mu’tazilah di Bashroh, dan Al-Jahmiyyah serta Al-Mujassimah di
Khurosan pada pertengahan masa tabiin. Meskipun begitu, sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang memegangnya
tetap nampak jelas sampai setelah tahun 200-an. Kemudian muncul Kholifah Al-Makmun. Dia dulunya adalah orang yang cerdas
dan ahli kalam. Dia mempunyai perhatian dengan masalah logika. Kemudian
dia mendatangkan buku-buku orang-orang dulu dan menerjemahkan filsafat
manthiq Yunani. Dia semakin tenggelam dan larut dalam hal itu. sehingga
Al-Jahmiyyah dan Al-Mu’tazilah menampakkan kepalanya, bahkan syiah juga
demikian.
Bahkan keadaannya berubah, sampai Al-Makmun memaksa ummat Islam untuk
berpendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Dia juga menguji para ulama dan
tidak memberi tenggang.
Kemudian Al-Makmun meninggal pada tahun itu, tetapi dia meninggalkan
kepada orang yang setelahnya kejelekan dan musibah dalam perkara agama.
Karena dulunya ummat Islam senantiasa di atas prinsip bahwa Al-Qur’an
adalah kalamullah, wahyu-Nya dan diturunkan oleh Allah. Mereka tidak
mengetahui selain hal itu, hingga Al-Makmun menyebarkan kepada mereka
pendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk yang dibuat dan mengatakan bahwa
penisbatan Al-Qur’an sebagai kalam (ucapan) Allah itu hanyalah sebagai
bentuk pemuliaan makhluk, seperti baitullah (Rumah Allah) dan untanya
Allah (unta mukjizat Nabi Sholih ‘alaihis salam). Kemudian para ulama
mengingkari hal itu.
Padahal sebelumnya firqoh Al-Jahmiyyah tidak nampak di masa kekuasaan
Al-Mahdi, Harun Ar-Rosyid dan Al-Amin. Namun ketika Al-Makmun berkuasa,
dia menjadi golongan mereka dan menampakkan pendapat Al-Jahmiyyah.
Bahkan Ahmad bin Ibrohim Ad-Dauroqi meriwayatkan dari Muhammad bin Nuh:
bahwa Harun Ar-Rosyid berkata: “Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr
bin Ghoyats Al-Marisi (tokoh jahmiyyah) berkata bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk. Demi Allah, wajib aku jika bisa menangkapnya untuk
membunuhnya.”
Ad-Dauroqi berkata: Bisyr Al-Marisi ini sembunyi-sembunyi pada masa
kekuasaan Harun Ar-Rosyid, ketika Harun Ar-Rosyid meninggal, dia muncul
dan menyerukan kesesatannya.”
Selesai nukilan dari Al-Imam Adz-Dzahabi rohimahulloh. As-Siyar (11/236)
Sesungguhnya aqidah ahlussunnah dibangun di atas dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dan
prinsip yang dipegang oleh para shohabat yang mulia, semoga Allah
meridhai mereka semua. Aqidah yang bersih dan sangat jelas, tidak susah
dipahami dan rumit.
Beda dengan lainnya yang bersandar kepada logika akal dan menakwil dalil-dalil naql (wahyu). Dimana mereka membangun aqidah keyakinan mereka di atas ilmu kalam. Itupun akhirnya para ahli kalam menjelaskan bahaya yang ada dalam ilmu kalam. Mereka menyesal karena habis waktu mereka dengan ilmu kalam, namun tidak sampai kepada kebenaran. Ujung kesudahan mereka adalah kebingungan dan penyesalan. Di antara mereka ada yang diberi taufik untuk meninggalkan ilmu kalam dan mengikuti jalan salaf. Mereka juga mencela ilmu kalam.
Abu Hamid Al-Ghozali rahimahullah termasuk dari orang-orang yang mapan menguasai ilmu kalam. Namun bersamaan dengan itu dia mencela ilmu kalam, bahkan sangat keras celaannya. Dia menjelaskan bahaya ilmu kalam, dia mengatakan dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin hal 91-92:
Beda dengan lainnya yang bersandar kepada logika akal dan menakwil dalil-dalil naql (wahyu). Dimana mereka membangun aqidah keyakinan mereka di atas ilmu kalam. Itupun akhirnya para ahli kalam menjelaskan bahaya yang ada dalam ilmu kalam. Mereka menyesal karena habis waktu mereka dengan ilmu kalam, namun tidak sampai kepada kebenaran. Ujung kesudahan mereka adalah kebingungan dan penyesalan. Di antara mereka ada yang diberi taufik untuk meninggalkan ilmu kalam dan mengikuti jalan salaf. Mereka juga mencela ilmu kalam.
Abu Hamid Al-Ghozali rahimahullah termasuk dari orang-orang yang mapan menguasai ilmu kalam. Namun bersamaan dengan itu dia mencela ilmu kalam, bahkan sangat keras celaannya. Dia menjelaskan bahaya ilmu kalam, dia mengatakan dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin hal 91-92:
“أمَّا مضرَّته، فإثارةُ الشبهات وتحريك العقائد، وإزالتها عن الجزم
والتصميم، فذلك مِمَّا يحصل في الابتداء، ورجوعُها بالدليل مشكوك فيه،
ويختلف فيه الأشخاص، فهذا ضررُه في الاعتقاد الحقِّ، وله ضررٌ آخر في تأكيد
اعتقاد المبتدعة للبدعة، وتثبيته في صدورهم، بحيث تنبعث دواعيهم، ويشتدُّ
حرصُهم على الإصرار عليه، ولكن هذا الضرر بواسطة التعصُّب الذي يثور من
الجدل”.
“Adapun bahaya ilmu kalam manthiq, yaitu akan memberikan kerancuan dan
menggoyangkan aqidah, dan menghilangkan penetapan aqidah. Itulah
diantara bahaya pada permulaannya. Dan kembalinya dengan dalil
diragukan. Dalam hal ini orang berbeda-beda. Ini bahayanya dalam
keyakinan yang benar. Dan ilmu kalam mantiq punya bahaya yang lain dalam
mengokohkan keyakinan ahli bid’ah pada bid’ah dan mengokohkan keyakinan
itu dalam dada-dada mereka, dimana faktor-faktor pendorongnya akan
bangkit dan bertambah kuat semangat mereka di atas ilmu kalam. Namun
bahaya ini dengan perantaraan fanatik yang muncul dari jidal (debat).” ( Ihya’ Ulumuddin hal 91-92:)
Sampai dia mengatakan:
“وأمَّا منفعتُه، فقد يُظنُّ أنَّ فائدَتَه كشفُ الحقائق ومعرفتُها على ما
هي عليه، وهيهات؛ فليس في الكلام وفاء بهذا المطلب الشريف، ولعلَّ التخبيط
والتضليل فيه أكثر من الكشف والتعريف، وهذا إذا سمعته من محدِّث أو حشوي
ربَّما خطر ببالك أنَّ الناسَ أعداءُ ما جهلوا، فاسمع هذا مِمَّن خَبَر
الكلامَ ثم قلاه بعد حقيقة الخبرة وبعد التغلغل فيه إلى منتهى درجة
المتكلِّمين، وجاوز ذلك إلى التعمُّق في علوم أخر تناسبُ نوع الكلام، وتحقق
أنَّ الطريقَ إلى حقائق المعرفة من هذا الوجه مسدود، ولعمري لا ينفكُّ
الكلام عن كشف وتعريف وإيضاح لبعض الأمور، ولكن على الندور في أمور جليَّة
تكاد تفهم قبل التعمُّق في صنعة الكلام”.
“Adapun manfaat ilmu kalam, disangka bahwa faedahnya adalah menyingkap
dan mengetahui hakekat sebenar-benarnya. Jauh, jauh sekali persangkaan
itu. Dalam ilmu kalam tidak ada yang memenuhi tujuan yang mulia ini.
Bahkan pengacauan dan penyesatan dalam ilmu kalam itu lebih banyak
daripada penyingkapan dan pengenalan hakekat. Ini jika engkau
mendengarnya dari seorang muhaddits atau hasyawi. Kadang terbetik di
benakmu bahwa manusia adalah musuh selama mereka tidak mengetahui.
Dengarkan ini dari orang yang telah mendalami ilmu kalam, kemudian
membencinya setelah mengetahui dengan sebenarnya dan sampai dengan susah
payah kepada puncak derajat ahli kalam, lalu melewati hal itu menuju
ilmu-ilmu yang lain yang sesuai dengan jenis ilmu kalam, kemudian yakin
bahwa jalan menuju hakekat ma’rifat (pengenalan) dari sisi ini tertutup.
Sungguh, ilmu kalam itu tidak memberi manfaat kepadamu untuk
menyingkap, mengenalkan dan memperjelas sebagian perkara. Namun
kadang-kadang dalam perkara yang jelas, hampir engkau paham sebelum
engkau mendalami ilmu kalam.” ( Ihya’ Ulumuddin hal 91-92:)
Ibnu Rusyd Al-Hafid -beliau juga termasuk orang yang paling tahu dengan madzhab dan pendapat ahli filsafat, di kitabnya Tahafut At-Tahafut berkata:
(ومَن الذي قال في الإلَهيات شيئاً يعتدُّ به؟)،
“Siapakah orangnya yang berkata sesuatu tentang ilahiyah, kemudian dianggap pendapatnya?”
Demikian juga Al-Amidi -orang termulia di masanya- dia diam berhenti bingung dalam permasalahan yang besar. Demikian juga Abu ‘Abdillah Muhammad bin Umar Ar-Rozi berkata dalam kitabnya tentang macam-macam dzat:
نِهايةُ إقدام العقول عِقالُ … وغايةُ سعي العالمين ضلالُ
وأرواحنا في وحشة من جسومنا … وحاصلُ دنيانا أذَى ووبالُ
ولم نستفد من بحثنا طول عمرنا … سوى أن جمعنا فيه: قيل وقالوا
فكم قد رأينا من رجال ودولةٍ … فبادوا جميعاً مسرعين وزالوا
وكم من جبال قد عَلَت شُرُفاتِها … رجالٌ فزالوا والجبالُ جبالُ
لقد تأمَّلتُ تلك الطرق الكلامية والمناهج الفلسفية، فما رأيتُها تشفي عليلاً، ولا تُروي غليلاً، ورأيتُ أقربَ الطرق طريق القرآن، اقرأ في الإثبات {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى}، {إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ}، واقرأ في النفي {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ}، {وَلا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْماً}، ثم قال: “ومَن جرَّب مثلَ تجربَتِي، عرف مثل معرفتِي”.
وأرواحنا في وحشة من جسومنا … وحاصلُ دنيانا أذَى ووبالُ
ولم نستفد من بحثنا طول عمرنا … سوى أن جمعنا فيه: قيل وقالوا
فكم قد رأينا من رجال ودولةٍ … فبادوا جميعاً مسرعين وزالوا
وكم من جبال قد عَلَت شُرُفاتِها … رجالٌ فزالوا والجبالُ جبالُ
لقد تأمَّلتُ تلك الطرق الكلامية والمناهج الفلسفية، فما رأيتُها تشفي عليلاً، ولا تُروي غليلاً، ورأيتُ أقربَ الطرق طريق القرآن، اقرأ في الإثبات {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى}، {إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ}، واقرأ في النفي {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ}، {وَلا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْماً}، ثم قال: “ومَن جرَّب مثلَ تجربَتِي، عرف مثل معرفتِي”.
“Akhir dari mendahuluan akal adalah belenggu
Dan puncak usaha orang-orang yang tahu adalah kesesatan
Ruh-ruh kita liar dalam jasad-jasad kita
Dan hasil dunia kita adalah kesusahan dan bencana
Kita tak memperoleh dari pembahasan kita sepanjang umur kita
Selain kita mengumpulkan: katanya dan katanya
Betapa banyak kita melihat para tokoh dan negara
Kemudian mereka semua binasa dan musnah
Betapa banyak gunung (ilmu kalam) yang telah didaki puncaknya
Oleh orang-orang, kemudian mereka binasa, sedang gunung itu tetap gunung
Dan puncak usaha orang-orang yang tahu adalah kesesatan
Ruh-ruh kita liar dalam jasad-jasad kita
Dan hasil dunia kita adalah kesusahan dan bencana
Kita tak memperoleh dari pembahasan kita sepanjang umur kita
Selain kita mengumpulkan: katanya dan katanya
Betapa banyak kita melihat para tokoh dan negara
Kemudian mereka semua binasa dan musnah
Betapa banyak gunung (ilmu kalam) yang telah didaki puncaknya
Oleh orang-orang, kemudian mereka binasa, sedang gunung itu tetap gunung
Aku telah memperhatikan berbagai metode ilmu kalam dan manhaj-manhaj
ahli filsafat, namun aku memandang ia tidak bisa menyebuhkan dan
memuaskan. Aku memandang jalan yang paling dekat adalah metode
Al-Qur’an. Dan bacalah dalam penetapan sifat mulia untuk Allah: “Allah
Yang Maha Penyayang istiwa di atas ‘Arsy”, “Dan kepada-Nya lah naik
ucapan-ucapan yang baik”. Dan bacalah dalam peniadaan: “Tiada sesuatupun
yang semisal dengan-Nya”, “Dan ilmu mereka tidak dapat meliputi
ilmu-Nya.” … Barangsiapa yang mengalami seperti aku, dia akan tahu
seperti aku.” (Lihat Tobaqot Asy-Syafiiyah 8/96 karya As-Subki)
Demikian juga Asy-Syaikh Abu Abdillah bin Abdil Karim Asy-Syihristani, dia tidak mendapati di sisi ahli filsafat dan ahli kalam selain kebingungan dan penyesalan. Dia berkata:
Demikian juga Asy-Syaikh Abu Abdillah bin Abdil Karim Asy-Syihristani, dia tidak mendapati di sisi ahli filsafat dan ahli kalam selain kebingungan dan penyesalan. Dia berkata:
لعمري لقد طُفت المعاهد كلها … وسَيَّرتُ طرفي بين تلك المعالم
فلم أر إلاَّ واضعاً كفَّ حائر … على ذقن أو قارعاً سنَّ نادم
فلم أر إلاَّ واضعاً كفَّ حائر … على ذقن أو قارعاً سنَّ نادم
“Demi umurku, sungguh aku telah mendatangi ma’had-ma’had semua
dan aku jalankan kedua mataku antara petunjuk-petunjuk itu
Namun aku tak melihat kecuali dengan meletakkan tangan orang yang bingung
Di dagu, atau menggertakkan gigi orang yang menyesal.”
Dan juga Abul Ma’ali Al-Juwaini rahimahullah dia berkata:
يَا أَصْحَابَنَا لَا تَشْتَغِلُوا بِالْكَلَامِ فَلَوْ عَرَفْت أَنَّ الْكَلَامَ يَبْلُغُ بِي إلَى مَا بَلَغَ مَا اشْتَغَلْت بِهِ.
“Wahai para shababat kami, janganlah kalian sibuk dengan ilmu kalam. Kalau aku dulu tahu bahwa ilmu kalam itu akan menyampaikan kepada batas yang telah aku sampai sekarang, tentu aku tidak akan menyibukkan dengannya.”
Beliau juga berkata ketika mau meninggalnya:
“لقد خضتُ البحرَ الخِضَمَّ، وخلَّيتُ أهل الإسلام وعلومَهم، ودخلتُ في الذي نَهونِي عنه، والآن فإن لم يتداركنِي ربِّي برحمته، فالويل لابن الجوينِي، وها أنا ذا أموت على عقيدة أمِّي، أو قال: على عقيدة عجائز نيسابور”،
“Aku telah menyelami lautan besar (ilmu kalam). Aku juga meninggalkan kaum muslimin dan ilmu-ilmu mereka. Aku masuk dalam perkara yang mereka larang. Dan sekarang … jika Rabbku tidak memberikan rohmat-Nya kepadaku, maka celakalah Ibnul Juwaini… Inilah aku yang meninggal di atas keyakinan (aqidah) ibuku, atau dia berkata: di atas aqidah orang tua-orang tua Naisabur.”
Dan juga masih banyak lagi para tokoh ahli kalam yang bingung dan menyesal dengan ilmu kalam. Seperti Syamsuddin Al-Khosrusyahi –salah satu murid Fakhrur Rozi, Al-Khounji, dan lainnya.
Engkau dapati sebagian mereka ketika meninggalnya kembali kepada aqidah orang-orang tua biasa, dan menetapkan apa yang mereka tetapkan. Di antara ahli kalam tadi ada yang bingung dan goncang dalam masalah sifat Allah, kemudian kembali ke madzhab salaf.
Seperti Abu Hamid Al-Ghozali yang mempunyai i’tiqod menurut jalan para ahli kalam (mutakallimin). Sebagian ulama telah menukilkan perkataannya yang menunjukkan bahwa dia rujuk. Ini sebagaimana yang disebutkan Ibnu Abi Al-Izzi Al-Hanafi pensyarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah ketika membicarakan sekumpulan para ahli kalam dan kebingungan mereka:
“وكذلك الغزالي رحمه الله انتهى آخرُ أمرِه إلى الوقف والحيرة في المسائل الكلاميَّة، ثمَّ أعرَضَ عن تلك الطُّرُق، وأقبَل على أحاديث الرَّسول صلى الله عليه وسلم ، فمات و(البخاري) على صدره”.
“Demikian juga Al-Ghozali rahimahullah, akhir hidupnya berakhir pada sikap diam dan kebingungan dari permasalahan-permasalahan ilmu kalam. Kemudian dia berpaling dari jalan-jalan ilmu kalam itu dan menghadap kepada hadits-hasits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian meninggal dalam keadaan Shahih Al-Bukhari ada di dadanya.”
Dan di dalam kitabnya Iljam Al-‘Awam ‘An ‘Ilm Al-Kalam, Al-Ghozali memperingatkan agar tidak sibuk dengan ilmu kalam dan mendorong untuk sibuk dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan jalan yang ditempuh para salaf sholeh. (Ar-Rodd ‘Ala Ar-Rifai hal 99)
Di dalam Lisan Al-Mizan (4/427) dibawakan biografi Ar-Rozi –dia termasuk tokoh ahli kalam-:
“وكان مع تبحُّره في الأصول يقول: من التزم دينَ العجائز فهو الفائز
“Dia bersamaan dengan luasnya cakrawala /wawasan pengetahuan dia dalam ilmu ushul, dia mengatakan: ‘Barangsiapa yang memegang teguh agamanya orang-orang tua, maka dia beruntung.”
Ja’far bin Burqon, dia berkata: seseorang datang kepada Umar bin Abdil Aziz, kemudian menanyainya tentang sesuatu dari pemikiran bid’ah, maka dia menjawab:
الزَم دينَ الصبِيِّ في الكُتَّاب والأعرابيِّ، والْهُ عمَّا سوى ذلك
“Pegangilah agama anak-anak kecil dalam madrasah dan orang-orang pedusunan. Dan abaikan yang selain itu.” (HR. Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 5/374 dengan sanad shohih menurut imam Muslim, sebagaimana dikatakan Imam An-Nawawi dalam Tahdzib Al-Asma wal Lughot 2/22)
Bagaimana sekarang dengan para mahasiswa IAIN – UIN – STAIN dan lainnya, yang mereka sibuk dengan ilmu kalam mengikuti pemahaman mu’tazilah (rasionalis) yang asal pemikiran mereka berasal dari filsafat Al-Yunan. Mereka nantinya juga akan bingung, atau na’udzu billah ada yang ragu tidak meyakini aqidah (keyakinan) kaum muslimin. Hendaknya mereka sadar bahwa ilmu kalam tidak akan memberi manfaat sedikitpun, bahkan akan membawa dirinya kepada kebinasaan. Wallahu a’lam.
(Lihat Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Ar-Rodd ‘Ala Ar-Rifai hal 99, dan Qothf Al-Jani hal 25-26, 30-31)
dan aku jalankan kedua mataku antara petunjuk-petunjuk itu
Namun aku tak melihat kecuali dengan meletakkan tangan orang yang bingung
Di dagu, atau menggertakkan gigi orang yang menyesal.”
Dan juga Abul Ma’ali Al-Juwaini rahimahullah dia berkata:
يَا أَصْحَابَنَا لَا تَشْتَغِلُوا بِالْكَلَامِ فَلَوْ عَرَفْت أَنَّ الْكَلَامَ يَبْلُغُ بِي إلَى مَا بَلَغَ مَا اشْتَغَلْت بِهِ.
“Wahai para shababat kami, janganlah kalian sibuk dengan ilmu kalam. Kalau aku dulu tahu bahwa ilmu kalam itu akan menyampaikan kepada batas yang telah aku sampai sekarang, tentu aku tidak akan menyibukkan dengannya.”
Beliau juga berkata ketika mau meninggalnya:
“لقد خضتُ البحرَ الخِضَمَّ، وخلَّيتُ أهل الإسلام وعلومَهم، ودخلتُ في الذي نَهونِي عنه، والآن فإن لم يتداركنِي ربِّي برحمته، فالويل لابن الجوينِي، وها أنا ذا أموت على عقيدة أمِّي، أو قال: على عقيدة عجائز نيسابور”،
“Aku telah menyelami lautan besar (ilmu kalam). Aku juga meninggalkan kaum muslimin dan ilmu-ilmu mereka. Aku masuk dalam perkara yang mereka larang. Dan sekarang … jika Rabbku tidak memberikan rohmat-Nya kepadaku, maka celakalah Ibnul Juwaini… Inilah aku yang meninggal di atas keyakinan (aqidah) ibuku, atau dia berkata: di atas aqidah orang tua-orang tua Naisabur.”
Dan juga masih banyak lagi para tokoh ahli kalam yang bingung dan menyesal dengan ilmu kalam. Seperti Syamsuddin Al-Khosrusyahi –salah satu murid Fakhrur Rozi, Al-Khounji, dan lainnya.
Engkau dapati sebagian mereka ketika meninggalnya kembali kepada aqidah orang-orang tua biasa, dan menetapkan apa yang mereka tetapkan. Di antara ahli kalam tadi ada yang bingung dan goncang dalam masalah sifat Allah, kemudian kembali ke madzhab salaf.
Seperti Abu Hamid Al-Ghozali yang mempunyai i’tiqod menurut jalan para ahli kalam (mutakallimin). Sebagian ulama telah menukilkan perkataannya yang menunjukkan bahwa dia rujuk. Ini sebagaimana yang disebutkan Ibnu Abi Al-Izzi Al-Hanafi pensyarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah ketika membicarakan sekumpulan para ahli kalam dan kebingungan mereka:
“وكذلك الغزالي رحمه الله انتهى آخرُ أمرِه إلى الوقف والحيرة في المسائل الكلاميَّة، ثمَّ أعرَضَ عن تلك الطُّرُق، وأقبَل على أحاديث الرَّسول صلى الله عليه وسلم ، فمات و(البخاري) على صدره”.
“Demikian juga Al-Ghozali rahimahullah, akhir hidupnya berakhir pada sikap diam dan kebingungan dari permasalahan-permasalahan ilmu kalam. Kemudian dia berpaling dari jalan-jalan ilmu kalam itu dan menghadap kepada hadits-hasits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian meninggal dalam keadaan Shahih Al-Bukhari ada di dadanya.”
Dan di dalam kitabnya Iljam Al-‘Awam ‘An ‘Ilm Al-Kalam, Al-Ghozali memperingatkan agar tidak sibuk dengan ilmu kalam dan mendorong untuk sibuk dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan jalan yang ditempuh para salaf sholeh. (Ar-Rodd ‘Ala Ar-Rifai hal 99)
Di dalam Lisan Al-Mizan (4/427) dibawakan biografi Ar-Rozi –dia termasuk tokoh ahli kalam-:
“وكان مع تبحُّره في الأصول يقول: من التزم دينَ العجائز فهو الفائز
“Dia bersamaan dengan luasnya cakrawala /wawasan pengetahuan dia dalam ilmu ushul, dia mengatakan: ‘Barangsiapa yang memegang teguh agamanya orang-orang tua, maka dia beruntung.”
Ja’far bin Burqon, dia berkata: seseorang datang kepada Umar bin Abdil Aziz, kemudian menanyainya tentang sesuatu dari pemikiran bid’ah, maka dia menjawab:
الزَم دينَ الصبِيِّ في الكُتَّاب والأعرابيِّ، والْهُ عمَّا سوى ذلك
“Pegangilah agama anak-anak kecil dalam madrasah dan orang-orang pedusunan. Dan abaikan yang selain itu.” (HR. Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 5/374 dengan sanad shohih menurut imam Muslim, sebagaimana dikatakan Imam An-Nawawi dalam Tahdzib Al-Asma wal Lughot 2/22)
Bagaimana sekarang dengan para mahasiswa IAIN – UIN – STAIN dan lainnya, yang mereka sibuk dengan ilmu kalam mengikuti pemahaman mu’tazilah (rasionalis) yang asal pemikiran mereka berasal dari filsafat Al-Yunan. Mereka nantinya juga akan bingung, atau na’udzu billah ada yang ragu tidak meyakini aqidah (keyakinan) kaum muslimin. Hendaknya mereka sadar bahwa ilmu kalam tidak akan memberi manfaat sedikitpun, bahkan akan membawa dirinya kepada kebinasaan. Wallahu a’lam.
(Lihat Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Ar-Rodd ‘Ala Ar-Rifai hal 99, dan Qothf Al-Jani hal 25-26, 30-31)
Alangkah indah ucapan al-Imam asy-Syafii rahimahullah beliau berkata:
كما أن للعين حدا تقف عنده كذلك للعقل حد يقف عنده
Dan Sebagaimana mata memiliki keterbatasan yang ia pasti berhenti padanya, maka akal juga memiliki keterbatasan yang ia harus berhenti padanya (Adabus Syafii)
Sangat benar apa yang dinyatakan oleh
al-Imam asy-Syafii di atas. Masing-masing dari kita telah merasakan
keterbatasan mata kita. Bagaimana ketika di malam hari ketika tiba-tiba
listrik padam? Itulah keterbatasan mata kita. Seketika itu pula kita
tidak bisa melihat apapun. Demikianlah ketika mata tidak mendapatkan
cahaya. Tidak bisa melihat apapun. Ketika ada setitik cahaya ia bisa
melihat dengan remang-remang. Demikian pula halnya dengan akal manusia.
Sebagaimana tubuh manusia yang serba terbatas, akal juga memiliki
keterbatasan yang ia harus berhenti ketika itu. Sebagai bukti
terbatasnya akal, adakah orang yang bisa menjelaskan dimana ruhnya? Atau
seperti apa ruhnya?
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang
ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk perintah Rabb-ku, dan tidaklah kamu
diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS’ al-Isra’:85)
Inilah salah satu bukti akal manusia
terbatas. Sesuatu yang gaib yang ada dalam tubuhnya saja tidak ada yang
mengetahui, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala saja. Lalu bagaimana halnya dengan perkara gaib selainnya?
Sehingga manusia sangat butuh kepada petunjuk dari Allah ‘azza wa jalla
dalam menjalani kehidupan yang fana ini agar menjadi bekal kelak di
hari kiamat. Apabila tidak mendapatkan petunjuk, maka nasibnya akan
seperti mata di dalam kegelapan. Apabila tidak berjalan dengan ekstra
hati-hati, akan terjatuh dalam jurang atau menabrak tembok besar, lalu
mati.
Demikian juga halnya dengan akal, ketika tidak mendapatkan cahaya dan rahmat dari Allah azza jalla,
ia akan berjalan dengan serampangan. Terlebih ketika si pemilik akal
bukan orang yang memiliki kehati-hatian, sifat wara’, tidak takut kepada
Allah Yang Maha Perkasa, tidak memiliki perhatian kepada dirinya. Maka
yang muncul dari orang seperti ini hanyalah pendapat, perkataan, atau
pikiran-pikiran ‘nyeleneh’ yang hanya akan membuat dirinya sengsara dan
rusak sebelum membuat orang lain sengsara dan rusak.
Semoga Allah azza wa jalla
memberikan taufik, hidayah, rahmat, cahaya-Nya kepada kita, kepada kaum
muslimin secara umum, dan kaum muslimin di negeri ini secara khusus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.